Opini

Berkekuatan Hukum Tetap

Oleh : luska - Jum'at, 17/02/2023 13:50 WIB

Penulis : Abustan (Pengajar/Dosen Hukum Konstitusi & HAM Universitas Islam Jakarta)

EMPAT terpidana pembunuhan Yosua Hutabarat masing - masing: Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma,Ruf, dan Ricky Rizal. Secara kompak menyatakan banding atas putusan yang telah dibacakan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Publik yang sejak dari awal mengikuti jalannya persidangan, juga sudah memahami bahwa penerapan Pasal yang digunakan untuk menjerat terdakwa dari sanksi hukuman adalah mulai Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 dan Pasal 49 juncto Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat 1 ke- 1 KUHP sampai pada peraturan hukum lainnya yang di dakwakan kepada terdakwa.

Selain itu,  di vonis pula rata - rata melebihi dari tuntutan jaksa. Lagipula ke empat terdakwa ini dinilai pula oleh Majelis Hakim tak ada alasan pemaaf dan pembenar bagi terdakwa. Karena itu, vonis yang dijatuhkan lebih berat dibanding tuntutan jaksa.

Baca juga : Menggali Kenangan

Sementara itu, vonis 1,6 tahun terhadap Elliezer berkekuatan hukum tetap. Setelah pasca pembacaan putusan Kejagung menyatakan tidak melakukan upaya hukum banding atas putusan  Richard Elizer (RE). Artinya putusan majelis hakim yang memeriksa/mengadili perkara pidana itu sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Pihak Kejaksaan yang bertindak selaku penuntut umum memberi konklusi " Bahwa saudara RE yang lebih berterus terang (kooperatif) dari awal, itu merupakan contoh konkrit bagi penegak hukum (criminal justice sistem). Dengan demikian, jadi bahan pertimbangan bagi Kejagung untuk tidak menyatakan banding, sehingga inkcrahlah putusan ini," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).

Jadi, alasan dan dasar kejaksaan tidak menyatakan/mengajukan banding disebabkan karena sudah melihat keadilan dalam putusan hakim. Dianggap hakim sudah menggali nilai - nilai keadilan yang ada, tatkala keluarga korban Brigadir Yosua Hutabarat sudah memaafkan RE.

 Hal itu, juga nampak dalam ekspresi ibu korban yang hadir langsung dipersidangan sambil merangkul bingkai foto almarhum anaknya.

Atas dasar itulah, majelis hakim memvonis RE cuma 1,6 tahun. Putusan ini banyak menilai bahwa bisa menjadi "kerangka acuan" atau Role Model bagi saksi status Justice Collaborator (JC). Bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi "Yurisprudensi" yang bisa dijadikan pedoman/panduan oleh hakim dalam memutus perkara dengan kualitas hukum (posisi) sama dengan kasus ini.

Memang, harus diakui ada beberapa terobosan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam perkara ini. Diantaranya status Justice collaborator RE yang sudah dikabulkan hakim dan menjadi pertimbangan meringankan hukuman. Sementara terdakwa lain cenderung berbelit - belit dan mempersulit persidangan untuk mengungkap perkara yang sebenarnya atau substansi yang sesungguhnya.

Walhasil, dalam konteks kasus ini, memang keadilan substantif yang pada akhirnya menjadi parameter absolut (alat ukur) apakah hakekat keadilan itu sudah terwujud ?. Sebab, bagaimanapun pencarian dan pencapaian keadilan dalam perkara pidana "kebenaran materil" menjadi titik tumpuan dan tujuan  dari keseluruhan proses tahapan persidangan. 

Begitu pun realitas pada tataran publik, sejujurnya rata - rata memberikan respon positif atas putusan yang dijatuhkan kepada RS, sehingga dianggap putusan tersebut telah memperhatikan ketiga aspek penting dalam suatu putusan, yaitu aspek yuridis, sosiologis, dan philosofis .

Bahkan, dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap  jaksa di nilai telah menjalankan "arah politik hukum" yang sejalan dengan keinginan pemerintah ( negara ) yang disuarakan Menkopolkam sebagai refresentasi negara. Prihal keadilan juga diamini oleh John Rawls: bahwa keadilan seyogianya harus menjadi pusat perhatian demi tegaknya konstitusi secara umum.

Jakarta, 17 Feb 2023
Ketua DPN AAI 2022 - 2027

TAGS : Abustan

Artikel Terkait