Nasional

Bandingkan Utang Indonesia dengan Negara Lain, Tidak `Aple to Aple` dan `Fair`

Oleh : very - Rabu, 07/06/2023 14:43 WIB

Diskusi Twitter Space INDEF bertema “Utang Meningkat, Kapasitas Fiskal Mengkeret” pada Selasa (6/6). (Foto: hasil tangkapan layar)

Jakarta, INDONEWS.ID - Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Misbakhun mengatakan pembicaraan terkait utang sebaiknya dilakukan dalam kerangka membangun sebuah konsep utuh yaitu “cara menghitung utang”. Selama ini pemerintah sepertinya belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya terkait konsep utang tersebut.

Yang dicatat dan diakui pemerintah dalam laporan keuangan pemerintah pusat yaitu terkait neraca keuangan. Padahal neraca keuangan tersebut harus menggambarkan semua jumlah utang negara.

Dalam setiap penjelasan tentang utang selama ini yaitu pemerintah belum melewati batas dan belum melanggar ketentuan konstitusi. Karena itu, konsep tersebut harus diperbaiki nalar berpikirnya.

“Jika Menteri Keuangan selalu mengatakan utang RI masih 39% dari PDB, dan membandingkanya dengan utang USA, Inggris, Jerman dan Jepang yang hampir 200% terhadap PDB Jepang, sebenarnya perbandingan itu tidak aple to aple dan tidak fair. Karena yang dicatat oleh pemerintah 39% PDB itu hanya utang terkait pembiayaan APBN. Sebetulnya pemerintah punya utang lain yang memberikan risiko kepada APBN dan keuangan negara,” ujar Misbakhun, dalam Diskusi Twitter Space INDEF bertema “Utang Meningkat, Kapasitas Fiskal Mengkeret” pada Selasa (6/6).

Dia mengatakan, harus diingat lagi, pada Pasal 12 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, ayat 3 menyebutkan rasio utang pemerintah maksimal 60% PDB. Rasio 60% itu tidak disebutkan rasio utang atas pembiayaan APBN, tapi dinyatakan rasio atas utang yang bersifat umum. Tercantum juga rasio defisit max 3 % APBN. Rasio 60% dan 3% tidak pada norma pasal, tapi dicantumkan dalam penjelasan Undang-undang. 

Karena itu, kata Misbakhun, pihaknya selalu mengusulkan agar penyebutan angka rasio utang itu disebutkan pada batang tubuh Undang-undang, dan bukan pada penjelasan UU. Namun hal tersebut ditolak pemerintah.

Mengapa kita perlu menghitung semua utang?

“Karena memitigasi risiko gagal bayar harus dimulai dari sistem pencatatan. Di Singapura, tabungan warga RI dicatat sebagai utang oleh negara. Pelajaran saat Krismon 1998, semua utang swasta tiba-tiba menjadi kewajiban pemerintah karena pemerintah memutuskan untuk mem-bailout utang swasta. Itu akibat kita tidak memitigasi risiko utang. Jadi utang jaman pak Harto yang semula hanya Rp900 triliun, tiba-tiba melonjak menjadi Rp1400 triliun lebih karena ada tambahan Rp600 triliun utang baru. Akibat bailout utang swasta di BLBI dan menerbitkan obligasi rekap untuk itu,” katanya.

Yang mengerikan, kata Misbakhun, apabila saat ini utang RI Rp7500 triliun akan berisiko mengalami pelonjakan utang karena ada angka utang yang tidak dicatat. Oleh karena itu pada utang BUMN harus diakui sebagaimana sistem akuntansi pemerintahan yang disepakati IFRS, sebagai pemegang saham kita mengakui saham tapi tidak mencatat utang di asset pemerintah.

Padahal kalau belajar dari sejarah risiko sebagai pemegang saham utang BUMN oleh pemerintah digolongkan sebagai continjence debt, sehingga dengan alasan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka tidak dicatat risiko pencatatan utangnya.

Istilah keuangan negara dipisahkan sebenarnya dalam pengelolaan. Tapi tidak dalam risiko. Contoh, dalam kasus BUMN-BUMN yang dipailitkan seperti pabrik Kertas Letjes, Merpati, kertas Basuki Rahmat, atau lain-lain, pemerintah bertanggung jawab penuh dan menggunakan skema APBN.

Yang terakhir adalah kasus Jiwasraya sebesar Rp20 triliun. Itu mempengaruhi postur belanja APBN melalui mekanisme PMN (Penyertaan Modal Negara) yang menjadi kunci, bahwa risiko utang itu mempengaruhi langsung cara kita mengelola ruang fiskal APBN. Kenapa kita hanya mencatat asset dan tidak mencatat utangnya? Padahal angka Rp20 triliun itu semula tidak nampak dalam neraca kita.

Misbakhun mengatakan, hal ini sama dengan kasus BUMN Garuda yang gagal membayar leasing lalu di PKPU. Itu juga tidak tergambar sebelumnya dalam neraca APBN, hanya tergambar bahwa kita punya modal sekian triliun di Garuda. (Pengeluaran/belanja PMN itu digunakan untuk membayar BUMN yang bangkrut padahal itu membayar utang tapi dicatat sebagai PMN).

Selain itu, Dana Pensiun PNS juga tidak dicatat/dicadangkan, hanya mencadangkan kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo terkait ASABRI dan Jiwasraya yang jatuh masa manfaat simpanannya yang dibayar oleh APBN via ASABRI. Beban langsung bulanan pensiun dikeluarkan, tetapi tidak pernah dicadangkan sebelumnya. Padahal kalau tidak disediakan mekanismenya hal itu akan terus menjadi beban APBN terus-menerus.

Dia mengatakan, sampai sekarang Komisi XI DPR tidak pernah menemukan konsepsi-konsepsi keuangan tentang hal hal di atas. “Padahal kebutuhan perubahan sudah sangat urgent dibangun konstruksi dana pensiun itu dalam seperti apa, metode, penghitungan, ASN pusat seperti apa, dan ASN daerah seperti apa, begitu juga TNI/Polri. Itu akan mengoverhaul secara besar-besaran cara kita menghitung dana pensiun. Hal yang memberikan dampak aktuaria karena negara memang harus menanggung. Kalau dana pensiun terjadi gagal bayar, maka yang menanggung adalah APBN,” ujarnya.

Kasus-kasus aksi protes pensiun di luar negeri adalah kasus bagaimana metode menghitung pensiun tersebut. Contohnya di Perancis juga ramai dalam penetapan cara menghitung umur pensiun. Metodologi sudah selesai di masalah pensiun Perancis.

Karena itu, kata Misbakhun, pemerintah harus mengambil keputusan politik penting untuk memperbaiki cara kita mencatat. “Dari itu, kita akan tahu berapa persen rasio, risiko utang. Manfaatnya risiko gagal bayar bisa diantisipasi baik di BUMN, Surat utang negara, dan dana pensiun. Sayangnya Menteri Keuangan ketika disampaikan hal hal penting di atas tidak menyambut dengan baik,” katanya.

Saat ini utang terdapat 3 kategori yakni pertama, utang pembiayaan APBN. Kedua, utang BUMN – continjensi debt. Ketiga,utang aktuaria – kewajiban dana pensiun kepada ASN dan TNI/Polri.

 

Bukan Gali Lubang Tutup Lubang

Sementara itu, peneliti INDEF, Dr Eisha M Rachbini mengatakan, pada posisi rasio utang 38,65% dari PDB saat ini, jika dilihat dari struktur utang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp7,000 (2023) dan pinjaman SBN 81% domestik dan valas.

“Sampai pada periode ke-2 pemerintahan Jokowi ada peningkatan utang sebanyak 10% dari 2016 ke 2017. Memang agak melambat pada tahun-tahun belakangan. Tapi yang penting adalah penambahan utang seharusnya menjadi leverage pada pertumbuhan ekonomi. Apakah utang itu digunakan pada hal-hal produktif yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” tanya Eisha.

Eisha mengatakan, harus ada skema program pembangunan yang mangkrak dan hal itu tentu harus dikawal. Termasuk pembayaran utang setahun Rp1.000 triliun (pokok dan bunga) yang jika harus dibagi per populasi satu orang menanggung Rp28 juta.

“Yang jelas, ke depan seharusnya kapasitas fiskal kita harus meningkat bukannya berkurang dan bukan gali lubang tutup lubang. Bagaimana caranya penerimaan negara harus lebih besar dari pengeluaran,” ujarnya.

Peneliti INDEF, Riza Annisa Pujarama mengatakan, utang pemerintah pusat per April 2023 berada pada angka Rp7,800 triliun. Utang publik tercatat di Bank Indonesia (BI) per 2022 jumlah total Rp14.000 triliun. Di dalamnya terdapat utang pemerintah pusat dan daerah, utang BUMN karya dan BUMN finansial yang bergerak di keuangan/perbankan. “Jika banknya bangkrut maka risikonya kembali ke pemerintah,” ujarnya.

Karena itu, katanya, batasan defisit APBN pada pasal 12 UU No 17/2003 perlu diperjelas pada kalimat “batas pinjaman maksimal 60%”.

“Debt rasio yang biasa diperbandingkan adalah utang pemerintah pusat yang konteksnya perlu juga diperjelas apakah definisi pinjaman di UU tersebut. Apakah utang pemerintah pusat saja, atau termasuk utang pemda dan utang publik. Karena menurut kriteria IMF 2021 jumlah utang publik RI berada pada angka 79%,” ujarnya. *** 

 

Artikel Terkait