Opini

Selamat Datang Puluhan Pesawat Terbang Tempur untuk Angkatan Udara

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 25/08/2023 22:47 WIB

Jakarta, INDONEWS.ID - Belakangan ini Angkatan Udara menjadi perhatian yang luar biasa, antara lain dengan akan dilengkapinya arsenal pesawat tempur dari berbagai negara antara lain dari Perancis dan Amerika Serikat.  

Tentu saja patut disukuri Angkatan Udara kini memperoleh perhatian khusus dalam proses perlengkapan sistem persenjataannya. Pesawat terbang tempur bagi sebuah Angkatan Udara adalah merupakan salah satu sub sistem yang penting dari sistem pertahanan udara nasional.   Kekuatan sebuah Angkatan Udara kerap kali “hanya” dihitung dari seberapa banyak pesawat terbang yang dimilikinya.  

Dengan demikian maka wajar sekali dengan terdengar berita mengenai pengadaan puluhan pesawat terbang bagi Angkatan Udara maka banyak pihak berpendapat bahwa hal tersebut sebagai sebuah proses dalam upaya memperkuat Angkatan Udara Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya, menjaga kedaulatan negara di Udara. 

Indonesia sebagai sebuah negara yang luas berbentuk kepulauan dan berada dalam posisi sangat strategis pasti memerlukan sebuah Angkatan Udara yang Kuat.   Ukuran dari seberapa kuat Angkatan Udara sebuah negara adalah seberapa banyak terjadi pelanggaran wilayah udara kedaulatannya oleh pesawat terbang dari negara lain.  

Sudah menjadi rahasia umum bahwa wilayah udara kita sangat sering terjadi penerbangan liar yang melintas wilayah udara kedaulatan tanpa ijin.   Hal tersebut merupakan sebuah refleksi dari betapa “terbatas” nya kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia.   Salah satu dari sekian banyak pelanggaran wilayah udara nasional adalah kejadian yang dikenal sebagai peritiwa Bawean.  

Ketika itu pesawat terbang Angkatan Laut Amerika Serikat sempat di intersep oleh Pesawat Terbang TNI AU di kawasan pulau Bawean karena melakukan penerbangan tanpa ijin dan tidak melapor ke Air Traffic Control sehingga di komplain oleh pesawat terbang sipil komersial yang merasa terganggu.  

Pesawat terbang US Navy itu terbang bermanuver terlalu dekat dengan Airways pesawat terbang sipil komersial.   Untuk diketahui bahwa kawasan yang paling sering terjadi pelanggaran wilayah udara kita adalah di perairan selat Malaka dan wilayah Udara yang berada diatas ALKI – Alur Laut Keplauan Indonesia.

Selain bersukur dengan perhatian besar terhadap Angkatan Udara dengan proses pengadaan puluhan pesawat terbang tempur, patut di perhatikan beberapa catatan berikut.

Sejatinya sekarang ini kita belum memerlukan banyak pesawat terbang tempur, karena wilayah udara Indonesia yang memerlukan pengawasan menggunakan banyak pesawat terbang tengah didelegasikan kewenangan pengelolaannya kepada negara lain untuk selama 25 tahun dan akan diperpanjang.  

Kawasan yang berbatasan dengan banyak negara yang berpotensi sering terjadinya pelanggaran wilayah udara  atau penerbangan liar adalah di kawasan Selat Malaka, kepulauan Riau dan Natuna. Seperti diketahui sejak tahun lalu kawasan tersebut sudah secara resmi didelegasikan kewenangan pengelolaannya kepada otoritas penerbangan negara lain.  

Hal itu tercantum dalam perjanjian antara kedua negara Indonesia dan Singapura  yang berisi antara lain bahwa kawasan wilayah udara tersebut didelegasikan kewenangan pengelolaannya untu jangka waktu 25 tahun dan akan diperpanjang.  

Mengelola wilayah udara dalam perspektif menjaga kedaulatan negara di udara  terdiri dari 3 unsur utama yaitu “Command of The Air”  yang fokusnya berorientasi kepada Border Protection (menjaga perbatasan) dan pelanggaran wilayah udara. 

Berikutnya, “Use of Airspace”  yang fokusnya adalah pada sektor ekonomi  dalam hal ini sebagai sumber pendapatan negara dari penggunaan wilayah udara dan “Law Enforcement” atau penindakan secara hukum bila terjadi penggaran wilayah udara nasional.

Kesimpulan sederhana adalah kita tidak lagi memiliki kewenangan sekaligus kewajiban menjaga kedaulatan negara di udara yang sudah didelegasikan tersebut untuk jangka waktu 25 tahun plus plus.  Artinya adalah bahwa kita tidak mungkin melaksanakan Command of the Air, Use of Airspace dan Law Enforcement di kawasan tersebut yang memerlukan banyak pesawat terbang.

 Sekali lagi, karena kewenangan pengelolaan wilayah udara di kawasan itu sudah kita delegasikan kepada negara lain.   Sebuah situasi kondisi yang agak janggal dan  tentu saja sangat mengandung pertanyaan besar tentang mengapa bisa sampai terjadi hal seperti itu.   Akan tetapi sekarang ini semua itu sudah menjadi sebuah realita, suka atau tidak suka.

Catatan berikutnya, mengalir dari catatan pertama tentang kawasan kritis yang di perairan Selat Malaka, kepulauan Riau dan Natuna didelegasikan untuk selama 25 tahun plus plus. Dari itu, maka perlu dipikirkan cara terbaik dalam hal  meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional kita kedepan.

Merujuk kepada lajunya kemajuan teknologi kedirgantaraan yang sangat pesat, maka kiranya perlu dipikirkan mengenai sistem pertahanan udara berbasis pada platform Cyber.   Penyebabnya adalah bahwa kini kita tengah memasuki era Cyber World yang sudah menjadi domain ke 5 setelah daratan, perairan, udara dan ruang angkasa.  

Dunia Siber yang ditandai dengan penggunaan sistem senjata berbentuk Drone yang sangat berkait dengan sistem autonomous dan atau  AI (Artificial Inteligence).  

Teknologi pertahanan dibidang kedirgantaraan sudah berkembang sampai dengan penggunaan Satellite Base Command and Control System, pesawat AWACS – Airborne Warning and Control System serta sistem pengintaian untuk kepentingan militer yang sudah menggunakan LEO – Low Earth Orbit Satellite.

Demikianlah, maka sejatinya kita di saat ini belum memerlukan banyak pesawat tempur, karena wilayah yang memerlukan banyak pesawat tempur sudah didelegasikan kewenangan pengelolaannya kepada negara lain untuk waktu 25 tahun plus plus.  Sebuah kenyataan pahit yang sudah terlanjur terjadi.  

Selanjutnya pada titik ini, bila kita memang memiliki cukup dana, maka sudah waktunya Indonesia memikirkan untuk menggelar sistem pertahanan udara nasional dalam menyongsong 25 tahun kedepan yang berbasis kepada platform Cyber.

Jakarta 26 Agustus 2023

Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesian

Artikel Terkait