Bisnis

Faisal Basri: Proyek Kereta Cepat Akan Alami Nasib Sama Seperti Kereta Cepat Taiwan

Oleh : very - Selasa, 24/10/2023 11:15 WIB

Diskusi terkait infrastruktur yang digelar secara hybrid di Universitas Paramadina dan dimoderatori oleh M. Ikhsan, Selasa (17/10/2023). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Proyek Kereta Cepat Indonesia yang diberi nama WHOOSH mungkin akan mengalami fenomena seperti terjadi di Taiwan.

Setelah lima tahun beroperasi, akhirnya pemerintahan negara itu menasionalisasi proyek kereta api cepatnya.

“Nombok terus tidak pernah break even, tidak bisa menutup biaya operasi setiap tahun dan akhirnya dinasionalisasi,” ujar ekonom senior INDEF Faisal Basri, MA dalam seminar yang diselenggarakan secara hybrid di Universitas Paramadina dan dimoderatori oleh M. Ikhsan, Selasa (17/10/2023).

“Nah Proyek Kereta Cepat Indonesia juga kemungkinan besar dinasionalisasi, seluruh bebannya ditanggung negara. Karena investor enggak mau lagi, China akan keluar nantinya jadi nanti 100% milik Indonesia. Dan Indonesia bayar cicilannya terus-terusan gitu, diinjeksi terus dari APBN karena sudah di nasionalisasi,” papar Faisal.

Menurut Faisal, transportasi utama masyarakat dalam melakukan perjalanan ke Bandung bukanlah pesawat, melaikan kereta dan travel. Terlebih Bandung merupakan bukan pusat bisnis maupun kuliner. Karena itu, katanya, proyek kereta cepat bukan hal yang urgen.

“Kereta cepat memiliki keunggulan seperti jeda keberangkatan yang lebih singkat, tarif bersaing, kenyamanan, dan kapasitas penumpang yang tiga kali lebih banyak dibandingkan kereta api biasa,” katanya. 

Dia mengatakan, faktanya ada 5 titik pemberhentian kereta cepat Jakarta – Bandung. Dengan berbagai pertimbangan termasuk tidak optimalnya kecepatan kereta karena banyaknya pemberhentian, maka pemberhentian di Karawang dan Walini dibatalkan. Tetapi menambahkan satu pemberhentian saja yaitu Padalarang.

“Stasiun Halim, Padalarang, dan Tegalluar tidak terdapat di tengah kota, sehingga menjadi tidak efektif. Keputusan ini bukan semata-mata proyek transportasi, pada awalnya proyek ini merupakan proyek properti,” imbuh Faisal.

Selain itu, Faisal Basri menyatakan bahwa awalnya proyek ini lebih sebagai proyek properti dengan PT. Wijaya Karya dan PT. KAI sebagai pemimpinnya. Namun akhirnya tidak lagi dilakukan secara business to business.

Faisal misalnya membuat perhitungan simulasi sederhana tanpa ongkos operasi dengan total nilai investasi Rp. 114,4 triliun dan pendapatan penumpang tiap tahun 2,369 triliun. Maka perhitungan balik modal adalah selama 33 tahun dan bahkan bisa mencapai 139 tahun.

Pembicara berikutnya Handi Risza menyatakan bahwa proyek ini awal mulanya digagas era Presiden SBY pada tahun 2009-2014, dengan melibatkan Japan International Corporation Agency (JICA) dalam studi kelayakan.

“Studi dilakukan untuk membangun kereta semi cepat Jakarta-Surabaya, dengan jarak sepanjang 748 km. Dengan biaya diperkirakan 100 triliun. Pada tahun 2015 pemerintah akhirnya memutuskan untuk membangun rute awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung terlebih dahulu, sepanjang 150 km yang nilai awal proyeknya diperkirakan sebesar senilai Rp 67 triliun,” jelasnya.

Handi yang juga Wakil Rektor Universitas Paramadina itu mengatakan bahwa pada awalnya Jepang menawarkan pinjaman proyek kereta api cepat sebesar US$ 6,2 miliar dengan masa waktu 40 tahun dan tingkat bunga 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Namun, dengan syarat yaitu harus ada jaminan dari pemerintah.

“Kemudian  China menawarkan pinjaman proyek sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. Skema Business to Business (B to B) tanpa jaminan dari Pemerintah. Disinilah dilihat inkonsistensi pemerintah, sehingga mau tidak mau dibiayai oleh APBN,” bebernya.

Kemudian, pada 21 Januari 2016, proyek KCJB tersebut dimulai dengan melakukan groundbreaking oleh Presiden Jokowi di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat.

Maka dibangun dengan menggunakan sumber pendanaan perusahaan (PSBI) terdiri atas 75% utang dari China Development Bank (CDB) dan 25% ekuitas (modal saham) dengan porsi kepemilikan PT PSBI sebesar 60%.

“Sebelumnya, PT. Wijaya Karya-lah yang memegang konsorsium, kemudian diberikan kepada PT. KAI. Dengan keberadaan PT. KAI yang saat ini memegang konsorsium, APBN ikut serta terlibat membiayai proyek kereta cepat Jakarta–Bandung,” imbuhnya.

Perubahan harga, dan lamanya pengerjaan menyebabkan cost overrun. Awal mulanya hanya sebesar USD 6,071 miliar atau sekitar Rp. 81,96 triliun pada tahun 2015, kemudian terjadi pembengkakan yang mencapai US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp. 110,5 triliun  pada tahun 2022. Dia mengatakan, selisih ini sangat jauh dari awal mulanya.

Lebih lanjut Handi memaparkan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung dapat dilihat sebuah skenario dengan seluruh kewajiban dilimpahkan kepada PT. KAI.

“Padahal kita ketahui pendapatan KAI itu sendiri, dengan keberadaan ini sangat mengancam. Karena diharuskan untuk menyisihkan laba untuk biaya pembangunan kereta cepat ini,” pungkas Handi. ***

Artikel Terkait