Malinau, INDONEWS.ID - “Jangan jual tanah adatmu. Jagalah tanah tumpah darahmu itu. Jika hutan adalah nafas kehidupan bagi diri kalian dan keturunan, jangan jual tanah adatmu. Hiduplah dari hutan yang merupakan ‘supermarket’ bagi kebutuhanmu sehari-hari. Kehidupan terisolirmu dari dunia luar bukan menjadi alasan dirimu harus menggadaikan warisan yang menjadi hak para generasi mendatang”.
Demikian ditegaskan Pengajar (Taprof) Bidang Ideologi Lemhannas RI, AM Putut Prabantoro kepada lebih dari 500 umat Katolik Paroki Gereja Katolik Apau Kayan, Long Ampung, di Agung Baru, Sungai Boh, Senin (18/12/2023).
Putut Prabantoro hadir sebagai narasumber wawasan kebangsaan dengan tema “Apau Kayan dan Masa Depan Indonesia”. Pembekalan ini merupakan salah satu acara perayaan 25 tahun Gereja Paroki St. Lukas, Apau Kayan yang jatuh pada Selasa (19/12/2023). Perayaan itu berpusat di Stasi St. Maria Goreti, Agung Baru, Sungai Boh, Malinau, Kaltara.
(Taprof Bidang Ideologi Lemhannas RI, AM Putut Prabantoro memberikan pembekalan kepada lebih dari 500 umat Katolik Paroki Gereja St Lukas Apau Kayan, Long Ampung, di Desa Agung Baru, Kec Sungai Boh, Kab Malinau, Kaltara, Senin (18/12/2023) Foto: Ist).
Perayaan dihadiri Bupati Malinau, Wempi W Mawa, Sekda Ernes Silvanus, Dandim 0910 / Malinau Letkol Inf. Alisun dan rombongan Forkompinda lainnya, Anggota DPRD Malinau Eva Christine Agustina, serta Gora Kunjana dari Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI). Hadir dalam acara tersebut, artis penyanyi Maria Calista.
Dalam pembukaannya, Putut Prabantoro menjelaskan, bahwa ketika manusia dilahirkan, tempat, suku, pekerjaan orang tua dan keyakinan merupakan suatu anugerah. Anugerah itu juga merupakan suatu modal untuk hidup. Dalam konteks ini, hendaknya, keterbatasan yang dimiliki hendaknya dipandang sebagai modal kehidupan.
“Untuk menembus wilayah terisolir atau terisolasi seperti di sini, hanya pesawat kecillah yang menjadi tumpuan. Setelah pesawat, perjalanan akan dilanjutkan dengan mobil, motor bahkan berjalan kaki yang tidak dekat. Itu belum dilihat faktor penghambat lain, seperti jembatan rusak, sungai yang meluap dan akses jalan yang berlumpur. Dan, saya dari bandara Mahak yang kecil, untuk menuju ke Sungai Boh ini, ada 4 jembatan yang rusak. Bahkan untuk masuk desa, hanya tersedia, jembatan gantung yang sudah dimakan usia. Sinyal HP-pun dapat dikatakan tak ada. Kalau pun ada harus membeli kuota yang tidak murah,” ujar Putut Prabantoro melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (22/12).
Putut juga memaparkan sejumlah fakta yakni di daerah terpelosok ini, semua barang dari luar wilayah sangat mahal. Bensin dari Malaysia seharga Rp 30.000 per liter. Listrik bersumber dari Malaysia karena solar untuk menghidupkan diesel datang dari negara tersebut. Listrikpun hanya sebagai energi secukupnya dan pada pukul 21.00 sudah mati. Sementara pada siang, karena ada matahari, listrik tidak digunakan sebagai bentuk penghematan. Untuk makanan, ayam broiler seharga Rp 150 ribu atau juga semen seharga Rp 600 ribu per zak. Beruntunglah, urai Putut Prabantoro, ada hutan dan sungai yang menjadi “supermarket” kebutuhan masyarakat. Hanya saja, “supermarket” ini sudah langka barang karena pola hidup masyarakat.
(Taprof Bid. Ideologi Lemhannas RI, AM Putut Prabantoro (ketiga dari kiri), Dandim 0910 / Malinau Letkol Inf. Alisun dan isteri (keempat dan kelima dari kiri) berfoto bersama serta anggota BABINSA di depan bandara yang sangat sederhana di Mahak, Sungai Boh, Malinau, Kaltara. Foto: Ist)
Namun menunjuk di Provinsi Banten, sebagai contoh, ada masyarakat yang mampu hidup dalam segala keterbatasannya. Tetapi itu merupakan pilihan masyarakat adat tersebut. Diceritakan bahwa suku Badui, tidak mengenal listrik, tidak menggunakan HP, selalu berjalan kaki meski akses transportasi tidak sulit. Yang mengagumkan, masyarakat Badui memiliki ketahanan pangan berdasarkan swadaya.
“Oleh karena kehidupan dan tanah yang subur ini merupakan kehidupan utama bagi masyarakat di sini, hutan dan sungai perlu dijaga, dilestarikan. Tanah tempat tinggal yang merupakan hasil buka hutan, hendaknya tidak dijual. Harus dijaga dan dipelihara. Memang menjadi masalah bagi masyarakat ketika berhadapan dengan masa depan dan pendidikan anak. Lalu apa yang harus dilakukan?“ ujar Putut Prabantoro.
Remaja di Apau Kayan Harus Siap Jadi Pemimpin Bangsa
Tahun 2045 merupakan seratus kemerdekaan Indonesia. Pada saat ini, mereka yang duduk di bangku SMA dan kuliah akan menjadi pemimpin nasional di bidangnya masing-masing.
Karena itu, diharapkan, sekalipun dari tempat yang terisolasi, remaja dari wilayah Apau Kayan juga akan ambil bagian dalam memimpin negara ini. Hanya saja, untuk menjadi pemimpin nasional tidak mudah. Tantangan dan hambatanya terlampau besar.
Ibu Kota Nusantara atau IKN akan diwujudkan dalam waktu tidak lama. Bahkan pemerintah sudah mencanangkan upacara kemerdekaan RI 2024 berpusat di IKN. Jika IKN terwujud, akan ada akses yang diharapkan akan dibuat segera dari Samarinda ke Long Ampung. Juga ke daerah-daerah terisolasi seperti Agung Baru. Akses ini akan memperlancar dan sekaligus mempercepat pembangunan di wilayah Kaltara dan Kaltim sebagai dampak.
“Akan banyak investor yang akan masuk dengan mempertimbangkan sumber kekayaan alam daerah ini. Pada saat inilah, kebutuhan tanah akan menjadi salah satu pilihan yang harus diputuskan investor. Jika karena kebutuhan sesaat, masyarakat tergiur akan menjual tanah mereka, dampak yang akan dihadapi adalah hilangnya hutan dan sekaligus tanah yang dimiliki. Artinya, lambat laun, kehidupan, adat istiadat dan budaya akan hilang karena pengaruh modernisasi,” ujar Putut Prabantoro.
(Taprof Bidang Ideologi Lemhannas RI AM Putut Prabantoro menerima penghormatan memakai pakaian adat Dayak. Foto: Ist)
Dengan demikian, Putut Prabantoro menyarankan agar hutan dan tanah adat tidak untuk dijual. Sumber-sumber air termasuk sungai hendaknya juga dijaga untuk kehidupan. “Itu merupakan hak bagi anak cucu. Pembangunan semodern apapun harus memperhatikan adat dan budaya setempat karena itu juga merupakan kekayaan kebhinekaan Indonesia. Ideologi Pancasila menjamin kesejahteraan masyarakat harus dilandasi oleh keadilan sosial. Bukan keadilan pribadi,” kata Putut.
Taprof Lemhannas itu juga mengingatkan bahwa tantangan utama bagi masyarakat adat adalah perkembangan teknologi komunikasi dan juga gaya hidup para remaja saat ini. Teknologi komunikas dan informatika yang nirkabel akan sangat memengaruhi kehidupan calon pemimpin masa depan itu. Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) akan menjadi pesaing utama bagi kecerdasan masyarakat adat. Sehingga dalam konteks ini, para remaja harus menempa dirinya untuk menjadi cerdas sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
“Masyarakat Adat tidak bisa berjalan sendiri karena tidak mampu. Oleh karena itu, harus ada kerjasama antara Pemerintah, orangtua, anak muda dan institusi pendidikan. Jangan melihat agama, suku, atau latar belakang lainnya untuk mencerdaskan remaja di kabupaten ini. Semua remaja di wilayah ini memiliki hak yang sama. Pemerintah juga saya minta untuk memperhatikan pelajar dan mahasiswa dari Kabupaten Malinau yang saat ini belajar di berbagai kota di Indonesia,” ujar Putut Prabantoro. ***