Nasional

Peraturan Bersama Menteri Pangkal Intoleransi dan Ketidakharmonisan Hubungan Antar-umat Beragama

Oleh : very - Kamis, 21/03/2024 20:22 WIB

Pakar Hukum Hak Asasi Manusia dari Universitas Parahyangan, Bandung, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Persekusi terhadap umat beragama yang sedang menjalankan ibadah kembali terjadi. Kali ini terjadi di sebuah tempat ibadah di Gandul, Cinere, Depok, Jawa Barat. Sebuah organisasi masyarakat (Ormas) menggeruduk tempat ibadah tersebut pada Rabu (20/3).

Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Hak Asasi Manusia dari Universitas Parahyangan, Bandung, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum, mengatakan bahwa hal ini telah menodai semangat keragaman agama dan keyakinan yang merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia.

Untuk itu, moderasi beragama harus terus didorong karena merupakan modal dasar bagi keutuhan dan peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

“Semua komponen bangsa seharusnya melaksanakan jiwa dan semangat Peraturan Presiden RI No. 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama,” ujarnya dalam pernyataan kepada wartawan, Kamis (21/3).

Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…. serta setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Hal tersebut, kata mantan Dekan FH Universitas Parahyangan ini, merupakan fondasi yang kuat untuk saling menghargai setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ibadahnya.

Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22 Ayat 1 dan 2 yang menegaskan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Karen itu, negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Alumnus Justus Liebig University Jerman itu mengatakan, hak-hak di atas merupakan hak asasi yang tidak bisa dikesampingkan, dikurangi dan atau ditunda dengan alasan apapun dan oleh siapapun sekalipun dalam keadaan perang (non-derogable rights).

Hal ini, kata Presiden The Best Lawyers Club Indonesia itu, diatur dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia (vide Pasal 4 (2).

Menurut Liona, yang juga Penasihat Pemuda Katolik (PK) itu, kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang diatur dalam Pasal 18 ICCPR dibagi atas beberapa hal.

Pertama, Forum Eksternum, yaitu berkaitan erat dengan bagaimana umat menjalankan keyakinan, mempraktikan  dan mengamalkan setiap keyakinan agama atau kepercayaannya. Eksternum, karena sifatnya sebagai manifestasi (eksternal) dari nilai-nilai internal keagamaan, misalnya beribadat di Masjid, Gereja, Klenteng, Pura hal ini perlu Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), ijin dari negara untuk melindungi hak-hak yang dijamin oleh kovenan, termasuk hak atas kesetaraan dan non diskriminasi dibidang apapun.

Kedua, Forum Internum, merupakan HAM yang tidak bisa dihilangkan (inalienable right) yang dijamin oleh negara atas penghormatan terhadap martabat (dignity) manusia yang mandiri.

Forum internum adalah hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak boleh dibatasi, tanpa pengecualian, semisal sembahyang di Musholla, di Kapel, di rumah pribadi, hal ini tidak memerlukan perijinan.

“Negara memiliki kewajiban positif untuk menciptakan kondisi yang mendukung hak setiap orang untuk menikmati hak dan kebebasan secara utuh,” ujar Anggota Dewan Kehormatan Peradi itu.

 

Menimbulkan Banyak Permasalahan di Masyarakat

Dia mengatakan, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menimbulkan banyak permasalahan dalam masyarakat.

Bahkan PBM ini merupakan pangkal dari intoleransi dan ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama. PBM ini seringkali digunakan untuk menghambat kelompok minoritas untuk membangun tempat ibadah.

“Karena itu, rencana pemerintah untuk menaikkan status regeling tersebut dari PBM menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tidaklah cukup. Perlu adanya Undang-Undang sebagai payung hukum yang mengatur tentang Persetujuan Bangunan Gedung tempat ibadah, yang tidak bersifat restriktif terhadap minoritas seperti PBM 2 menteri di atas,” katanya.

Saat ini, pemerintah telah menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui UU 6/2023 dalam Perppu yang mengatur tentang Perubahan Perizinan Penyederhanaan Persyaratan Perizinan, yang meliputi Persetujan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

“Perubahan pengaturan PBG/IMB dan peraturan pelaksanaanya tidak mengubah ketentuan khusus mengenai pendirian rumah ibadah yang terdapat dalam Pasal 14 PBM Pendirian Rumah Ibadat, dengan demikian Pasal 14 PBM bertentangan dengan tujuan dari perubahan pada Undang-Undang PBG yang menyederhanakan perizinan bagunan gedung untuk tempat ibadah,” pungkas Alumni Lemhannas RI PPRA Angkatan 58 ini. ***

Artikel Terkait