Bisnis

Dampak Perang Global, Ini Tantangan Kebijakan Ekonomi ke Depan

Oleh : very - Sabtu, 20/04/2024 21:48 WIB

Diskusi “Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global” yang diselenggarakan pada hari ini, Sabtu (20/4). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan politik USA dan NATO maka potensi besar ketegangan politik di timur tengah menyusul serangan Iran terhadap Israel akan terus berlanjut.

Hal itu menimbulkan dampak bagi perekonomian tak terkecuali berdampak terhadap perekomian di dalam negeri.

Perekonomian Indonesia akan terdampak signifikan dari besaran komponen ekspor, impor, investasi PMA dan komponen biaya high cost economy goods, dan energi, serta logistic cost. Nilainya mencapai dua kali lebih besar dari biaya rata-rata global.

Karena itu, solusinya adalah melakukan diversifikasi tujuan dan jenis ekspor. Demikian juga dengan impor barang terutama untuk kebutuhan industri dalam negeri. Penguatan sektor pertanian dan perikanan amat perlu sebagai trade off energi dalam jangka pendek.

Hal ini merupakan rekomendasi dari diskusi “Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global” yang diselenggarakan pada hari ini, Sabtu (20/4).

Diskusi menghadirkan pembicara yaitu Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, Ph.D., Kepala Center of Digital Economy and SMEs, INDEF, Eisha Maghfiruha R, Ph.D., dan Associate INDEF /Dosen Universitas Bakrie, Dr. Asmiati Malik. Diskusi dipandu oleh peneliti INDEF, Nur Komaria.

Dr. Eisha Maghfiruha Rachbini mengatakan, IMF sudah beberapa kali melakukan revisi outlook pertumbuhan ekonomi global. Misalnya revisi terhadap pertumbuhan ekonomi sudah dilakukan beberapa kali hingga menjadi sebesar 3,2 persen.  

Hal itu dilakukan karena pada implementasinya mereka tidak dapat mengetahui kapan konflik perang berakhir.

“Di negara-negara maju risiko domestik sudah berlalu, dan meningkat dari 1,6 % menjadi 1,7% PDB. Di emerging market yang sebelumnya menjadi tumpuan pertumbuhan global, diprediksi menurun pertumbuhan energi dari 4,3% ke 4,2 % saja,” ujarnya.

“Indonesia, sempat stay di 5% moderat, namun ke depan harus berhati-hati diperkirakan tumbuh di bawah 5%. Dan nampaknya untuk tumbuh di 5% akan kesulitan,” tambahnya.

Inflasi dalam negeri, katanya, terjadi volatilitas, karena el nino yang mendorong harga bahan pokok meningkat. Namun inflasi masih bisa dikendalikan dan bertahan di 2,61% pada 2023.

Eisha mengungkapkan bahwa ada tren peningkatan di 2024. Konflik perang di Timur Tengah dan Rusia Ukraine akan berdampak pada tekanan harga barang-barang input dan rupiah terdepresiasi dan jadi salah satu tekanan inflasi. Inflasi diperkirakan masih bisa dikendalikan ke depan.

“Dampak konflik Rusia – Ukraine mendorong harga-harga komoditas dan energi. Perang Israel – Hamas dan Iran dampaknya pasti akan berpengaruh pada harga-harga komoditas global. Harga Emas jadi melonjak sangat tinggi. Karena emas salah satu safe heaven dari US Dollar,” ujarnya.

Dikatakannya, risiko tidak hanya berupa kehancuran infrastruktur. Namun ada ketegangan yang terjadi antara China versus USA berupa upaya pengambilalihan posisi power di tingkat global. Hal ini berdapak terhadap supplai global, logistik dan dampak terhadap perekonomian domestik.

Dari situ akan ada supply shock dari sisi produsen karena ada alur logistik yang lebih panjang dan lama akibat pengalihan jalur trade maritime akibat konflik dan keamanan jalur laut. Akibatnya, terjadi arus supply chain yang terputus. Hal itu mempengaruhi industri manufaktur yang terhambat inputnya, terjadi kelangkaan dan bisa menjadikan kenaikan harga-harga komoditas menjadi sangat tinggi.

Apalagi Indonesia sebagai negara importir bahan baku yang industrinya akan menanggung struktur biaya amat tinggi dari risiko geopolitik global risk tersebut.

Karena itu, menurutnya, ada beberapa tantangan kebijakan Ekonomi ke depan. Pertama, serangan balik Israel ke Iran meningkatkan eskalasi konflik timur tengah dan dampak geopolitik global risk sehingga perlu perhatian khusus para ekonom. “Butuh mitigasi untuk memastikan stabilitas makro ekonomi,” ujarnya.

Kedua, harus diutamakan menjaga stabilitas daya beli masyarakat dan melindungi golongan bawah dan rentan. Di antara kebijakan yang harus diperhatikan dalam strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, untuk menjaga daya beli agar tidak turun, pemerintah perlu mengendalikan harga-harga atau menjaga inflasi. BI dan pemerintah harus berperan penting menjaga dari sisi moneter.

Keempat, di sektor industri, eskalasi konflik akan berpengaruh pada naiknya harga-harga dan biaya produksi akibat kelangkaan input, terutama imported inputs. “Dibutuhkan kebijakan industri yang tepat untuk mendukung produktivitas industri, terutama industri prioritas nasional dan industri kecil menengah,” ungkapnya.

Kelima, kebijakan perdagangan luar negeri (foreign trader) perlu ditujukan ke kawasan yang tidak terpengaruh konflik misalnya Jepang, China, Asean, India dan juga negara tujuan non tradisional.

 

Belanja Efektif dan Produktif Bukan Hanya Konsumtif

Semenera itu, Esther Sri Astuti, Ph.D. mengatakan, eskalasi konflik yang meningkat di Timur tengah dan terus berlangsungnya perang Rusia – Ukraine jelas akan membawa dampak ikutan berupa naiknya harga-harga komoditas dan energi di pasar global. Indonesia akan terkena dampak menyusul dampak akibat perang Rusia – Ukraine

Kenaikan harga minyak yang tinggi, katanya, akan berpengaruh pada asumsi makro ekonomi APBN. Naiknya anggaran yang ada di APBN pasti akan terpengaruh.

“Diperkirakan timbul defisit APBN 2 -3 %. Jika kita tidak bisa memanage anggaran APBN, maka fiskal space kita akan jauh lebih kecil lagi. Sehingga pemerintah perlu melihat lagi berbagai anggaran belanja agar lebih efektif dan produktif tidak hanya konsumtif seperti makan siang gratis,” ujarnya.

Esther mengatakan, belanja harus diarahkan ke arah yang bisa men-generate income secara positif, dan berdampak jangka panjang. Dengan demikian jaminan pertumbuhan ekonomi domestik akan lebih sustain menjadi lebih baik dalam jangka panjang.

“Mengatasi dampak konflik global harus diupayakan fundamental ekonomi dalam negeri terus menguat. Tingkat devisa dan ekspor dari sektor pariwisata, pendapatan ekspor, nonmigas, dan kurangi ketergantungan dari pihak luar. Fundamental kuat, akan mampu mengatasi shock dari pengaruh luar,” katanya.

 

Lima Komponen Risiko Global

Sementara itu, Dr. Asmiati Malik mengatakan ada 5 komponen risiko global yang kemungkinan bisa terjadi.

Pertama, pada November 2024 mendatang, akan ada Pilpres USA. Pilpres USA penting karena secara politik ekonomi internasional bahwa rezim foreign policy international tidak akan berubah signifikan selama tidak adanya perubahan siapa pemimpin utama di USA.

“Joe Biden atau Donald Trump kembali yang terpilih, masing-masing akan memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Jadi USA merupakan high dominant power, oleh karena itu, siapapun presidennya akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan foreign policy,” ucapnya.

Intelligent Economist Analyst menyebut bahwa jika Donald Trump yang terpilih maka kemungkinan besar eskalasi perang akan luarbiasa. Namun, ada pandangan lain bahwa kebijakan ekonomi Trump cenderung ‘’inside”, tidak tertarik pada foreign policy perspective.

Namun jika Joe Biden terplih, maka tidak akan terjadi perubahan signifikan terhadap foregin policy USA dan keberpihakan USA dan keinginan mempertahankan poros USA-Israel akan terus berlanjut. Maka perang Israel vs Iran-Palestina akan terus terjadi.

Kedua, extreem weather, dengan high probability yang medium tetapi impact akan tinggi. Cuaca ekstrim sudah terjadi el nino di Indonesia, tapi akan terjadi medium high probability dan impactnya akan besar.

Ketiga, perang yang statusnya dalam skala medium tapi high impact akan terjadi konflik Israel vs Hamas dan Rusia vs Ukraine. Medium high impact karena kita sebenarnya sudah punya waktu untuk melakukan penyesuaian. Eropa sudah punya strategi policy alternative baru bagaimana mereka mencari sumber gas atau minyak baru.

Keempat, green technology subsidy. Akan terjadi upaya meningkatkan persaingan untuk mencapai zero emisi di tingkat global. Eropa dan USA bersaing untuk penerapan teknologi hijau (green technology). Persaingan teknologi green tech terjadi antara USA vs China vs Uni Eropa. Dia mengatakan, China akan berada di tengah-tengah. Karena itu, Indonesia harus masuk dalam pusaran persaingan tersebut jika tidak ingin menjadi negara end user saja.

Kelima, analisis jika China menginvasi Taiwan. Di balik Taiwan ada proxy war Jepang, USA dan Indonesia akan mendapat spill over dari perang tersebut.

Menurutnya, ada 3 kekuatan besar saat ini yaitu USA, China dan Russia. Dari persaingan tersebut maka Indonesia harus memikirkan strategi untuk mengatasi masalah-masalah seperti energi.

Konsumsi energi Indonesia akan oil dan gas masih sangat besar. Konsumen paling besar energi adalah China. Alur dagang China berproxy dengan Iran, rusia, Yaman, Turki. USA punya proxy Filipina, Vietnam, India, Israel, Egypt, Saudi Arabia.

“Jika terjadi perang, maka impact pada pricing of energy dan kedua, meningkatnya biaya logistik. 50% maritime trade ada di wilayah Perairan ASEAN – Indo Pasifik,” ujarnya.

Jika ada perang China vs India, maka bisa membatasi jalur kapal menuju China dan China harus mencari sumber energi baru. Jika Belt and Road Initiative belum jadi, maka China tetap harus mencari jalur laut. Dan untuk menuju Eropa China harus menelusuri jalur laut Afrika Selatan. Impactnya, biaya logistik barang dan jasa akan meningkat tajam.

Selanjutnya, sebanyak 15% perdagangan wilayah global pasti melewati wilayah Teluk Aden menuju Terusan Suez. Jika terjadi konflik di teluk Aden – Yaman, maka trading path akan juga menuju Afrika Selatan yang berdampak pada kenaikan tinggi biaya logistik dan jasa.

“Meski Indonesia relatif aman ketika melewati teluk Aden tapi dampak trading global yang terhambat akan membawa akibat luas. Untungya partner dagang Indonesia lebih banyak ke arah Asia dan bukan ke Eropa dan USA. Sementara 3% global maritime trade ada wilayah Terusan Panama Amerika,” ujarnya. ***

Artikel Terkait