Bisnis

Dampak Perang Iran-Israel Bagi Sejumlah Kebijakan di Dalam Negeri

Oleh : very - Senin, 22/04/2024 20:26 WIB

diskusi “Dampak Kebijakan Ékonomi Politik Di Tengah Perang Iran-Israel’’ di Jakarta, Senin (22/4). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Dampak perang Iran-Israel tidak boleh dianggap enteng. Perang seperti air yang menerobos ke mana-mana dan akan melalui jalur perdagangan luar negeri dan moneter.

Timur Tengah merupakan wilayah yang memegang komoditas utama yaitu minyak bumi. Mau tidak mau akan ada sejumlah kebijakan yang turut berpengaruh terhadap perdagangan luar negeri Indonesia.

Ekonom senior, Prof Didik J Rachbini mengatakan, pasar Indonesia masih memiliki kutub-kutub lain yang tidak terganggu perang di Timur Tengah.

“Mitra dagang Indonesia seperti Jepang dan China adalah pasar ekspor Indonesia yang besar. India dan benua Amerika juga sama sebagai kutub-kutub pemasaran alternatif,” ujarnya dalam diskusi “Dampak Kebijakan Ékonomi Politik Di Tengah Perang Iran-Israel’’ di Jakarta, Senin (22/4). Diskusi itu merupakan kerja sama antara INDEF dan Universitas Paramadina.

Perang, katanya, juga berdampak pada kebijakan Bank Indonesia (BI) dengan adanya tekanan pada sisi moneter.

“Kenaikan rate dolar Amerika Serikat di atas 16 ribu menuju 17 ribu atau 18 ribu, bisa membuat pemerintahan kalang kabut. Karena itu, harus dijaga termasuk inflasi barang-barang yang menjadi ikutannya,” katanya.

Selanjutnya, perang juga berdampak pada kebijakan fiskal. “Ini merupakan instrumen yang langsung bisa digunakan. Namun, tentunya tidak boleh jor-joran. Kebijakan-kebijakan anggaran terhadap Ibu Kota Negara (IKN), makan siang gratis harus ditinjau ulang,” ujarnya.

Pemerintah, kata Rektor Universitas Paramadina itu, juga harus memantau UKM-UKM di daerah agar terus produktif. Jika ada masalah kekurangan bahan baku atau kredit, itu harus segera diselesaikan.

“Tidak bisa tidak, golongan paling rentan rakyat akan terhempas. Karena itu, harus ada langkah untuk melindungi ekonomi rakyat paling bawah dengan menghindari inflasi. Hal-hal di atas harus serius dicermati, kalau tidak ingin ada kejatuhan pemerintahan,” ujarnya.

Dosen Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, M.PP., mengatakan, saat ini ada pergeseran di Timur Tengah.

Pertama, Timur Tengah sebagai produsen 35% minyak dunia. Kedua, 30% minyak dunia itu diekspor dari Timur Tengah melalui Selat Hormuz yang dikontrol dengan sangat ketat oleh Iran.

Wijayanto mengatakan, jika sebelumnya ekspor minyak dikirm ke Eropa dan USA, namun sekarang lebih banyak dikirim ke Asia terutama China, India, Jepang dan Korsel. Negara-negara pengimpor ini akan terdampak jika Sehat Hormuz diblokade.

“Rusia juga merupakan produsen minyak dan gas yang sangat dominan. Karena itu, jika ada kenaikan harga minyak dan gas maka Rusia seperti kejatuhan durian runtuh. Rusia akan mendapat pemasukan luar biasa dari kenaikan harga gas dari perang Rusia versus Ukraina,” ujarnya.

Fenomena menarik lain, kata Wijayanto, yaitu Amerika Serikat sebelumnya mempertahankan kepentingannya karena negara itu masuk nett importir oil dari Timur Tengah. Namun sekarang AS sudah net eksportir minyak dan ada surplus 1,64 juta barel per hari.

“Hal ini sama seperti total konsumsi minyak Indonesia. Transaksi minyak bumi dari Timur Tengah masih menggunakan mata uang AS. Jadi kepentingan terutama AS sekarang di Timur Tengah bukan lagi minyak, tapi bagaimana mata uang AS tetap digunakan sebagai alat transaksi, hingga permintaan terhadap dolar AS tetap tinggi,” ujarnya.

Suplai minyak untuk Uni Eropa semakin lama tidak menggantungkan diri dari Timur Tengah. “Saat ini sekitar 8 % saja. Sebanyak 90% suplai minyak untuk Uni Eropa diperoleh dari USA, Norwegia dan Kazhastan. Beda dengan masa lalu ketika kebutuhan minyak berasal dari Timur Tengah,” ungkapnya.

Maka dari itu, jika ada konflik di Timur Tengah seperti Selat Hormuz diblokade, maka negara-negara China, Jepang, Korsel, India, akan terdampak.

Kebijakan luar negeri AS dan Barat, katanya, tentu akan mempertimbangkan aspek negara sekutu jika terjadi konflik. Mereka akan bersikap netral, karena negara sekutu seperti Jepang dan Korsel akan kesulitan mendapatkan minyak.

Sedangkan di dalam negeri, perang di Timur Tengah tampaknya akan menjadi “kambing hitam” dari kenaikan mata uang rupiah.

“Impact pada mata uang, nampaknya akan jadi kambing hitam dari apapun masalah dalam negeri disebabkan krisis midle east. Padahal awal perang Iran vs Israel kemarin tidak ada dampak signifikan pada mata uang rupiah. Rupiah melemah lebih pada adanya berbagai masalah fundamental ekonomi dalam negeri,” ujar Wijayanto.

 

Terganggungnya Sistem Logistik

Guru Besar Universitas Pertanian Bogor (IPB University) Prof Dr Bustanil Arifin mengatakan, pemerintah harus mengantisipasi kenaikan harga pangan yang menyebabkan inflasi, sebagai akibat perang tersebut.

“Memang tidak ada kontak langsung antara perang Iran-Israel terhadap harga pangan, tapi karena perang ini menyebabkan sistem logistik terganggu, maka kenaikan mata uang USD akan mendorong kenaikan harga pangan dan inflasi dunia,” katanya.

Kondisi pertanian dalam negeri, kata Bustanil, harus menjadi fokus perhatian. Hal itu lantaran karena sektor pertanian hanya tumbuh rendah 1,3%. “Jadi pasti ada persoalan di produksi. Meski kemarin ada El Nino, tapi ketika melihat angka kemiskinan yang tetap ada di pertanian dan perdesaan, serta ketimpangan yang memburuk, maka hal-hal itu harus jadi ekstra perhatian,” imbuhnya.

Dia mengatakan, data inflasi hingga 15 April 2024 menunjukkan adanya volatile food yang menyebabkan inflasi. Harga pangan juga turut bergejolak. Imported inflation ada, tapi sedikit. Hal itu menimbulkan kerentanan karena soal-soal eksternal di bidang logistik bisa menyebabkan lompatan inflasi yang mengkhawatirkan.

Dalam 2 tahun terakhir, memang terjadi volatile food yang juga tinggi sebesar 10,33% komponen inflasi dari volatile food. “Itu tinggi sekali. Misalnya harga telur ayam yang juga bisa sebabkan inflasi. Khusus untuk harga beras, merupakan komoditas yang sangat sensitif terhadap anomali global. Ketika India melarang ekspor beras, tapi ternyata harga beras domestiknya juga ikut naik, dan India kewalahan. Jadi harga beras global memang amat sensitif terhadap tingkah laku anomaly,” ujarnya.

Ketika terjadi El Nino, harga beras 630 USD/ton, dan harga tersebut lebih tinggi ketika terjadi krisis pangan global 2008. Itulah dampak ke dalam negeri sewaktu harga beras naik tinggi, terlebih terhadap impor beras, sebelum hari raya.

Namun menurut Bustanil, untuk harga minyak sawit global, per April 2024, terlihat agak membaik karena ada windfall profit. “Jadi mungkin saja dampak perang Iran-Israel bagi Indonesia akan dapat windfall profit dari sawit,” ujarnya.

Dia mengatakan, terdapat empat komoditas penting yaitu daging sapi, minyak goreng, gula putih, beras, yang amat sensitif terhadap kondisi eksternal dan internal di dalam negeri.  Karena itu, katanya, pemerintah harus mewanti-wanti adanya kenaikan harga pada akhir April. “Itu yang harus diperhatikan karena bisa menyebabkan krisis,” ujarnya.

Dia juga meminta pemerintah untuk memperhatikan kenaikan angkutan logistik agar tidak terkena dampak.

Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah daerah perlu bekerja sama dalam mengendalikan laju inflasi. “Buat KAD (Kerjasama Antar Daerah) antar Pemda. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Daerah surplus dan daerah defisit perlu bekerja sama. Jangan anggap enteng masalah ini. Kalau perlu buat kontrak farming antar-daerah produsen dengan daerah konsumen atau deficit,” sarannya.

“Onfarm sektor swasta atau pembeli lain harus melakukan pendampingan petani. Smart farming, digitilisasi dimasukkan, plus adanya standby buyer. Standby buyer menjadi salah satu kunci untuk antisipasi krisis pangan. Kalau perlu pergudangan perbaiki, gudang biasa tau Sistem Resi Gudang (SRI),” pungkasnya. ***

Artikel Terkait