Nasional

RTD Antisipasi Peningkatan Tindakan Pidana Korupsi Oleh Kepala Daerah Hasil Pilkada Serentak Tahun 2024

Oleh : luska - Jum'at, 02/08/2024 07:03 WIB


Jakarta, INDONEWS.ID - Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) RI, khususnya Kedeputian Pengkajian dan Penginderaan melakukan Round Table Discussion (RTD) hari ke-dua tanggal 1 Agustus 2024 dengan topik : "Antisipasi Peningkatan Tindakan Pidana Korupsi Oleh Kepala Daerah Hasil Pilkada Serentak Tahun 2024 Sebagai Dampak Politik Biaya Tinggi", yang di buka oleh Brigjen TNI. Roedy, MA selaku Kepala Kelompok Kerja yang juga merupakan Bandep Lingkungan Strategi Internasional.

RTD tersebut dihadiri oleh beberapa narasumber yg ikut memberikan pandangan mereka, seperti Prof. Dr. Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Drs. James Robert Pualillin, MSi yang merupakan Dosen Senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan juga hadir selaku Wakil Sekjen 1 Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), serta Dr. Titi Anggraini selaku anggota Dewan Pembina PERLUDEM.

Prof Dr. Hamdi Muluk dalam pandangannya, menyatakan bahwa akar persoalan Korupsi Pemerintahan Daerah di Indonesia disebabkan karena high cost politik dalam proses Pilkada, dan tahun 2024 ini akan dilaksanakan Pilkada Serentak terbesar di Indonesia dan akan dilakukan di 545 daerah, 37 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota. Akibatnya dg biaya yang tinggi dalam proses Pilkada, maka budaya korupsi menjadi sesuatu budaya yang kemudian mengalami proses Banalisasi, yaitu menjadi budaya yang dianggap normal dan lumrah, apalagi sistem pengawasan dan penegakan hukum yang belum efektif.

Lebih lanjut Prof Hamdi Muluk mengatakan, beberapa faktor yang menyebabkan politik berbiaya tinggi di Indonesia, karena sistem pemilu yg mahal, terjadinya vote buying, sistem kepartaian yang sangat sentralistik dan transaksional, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, berkembangnya budaya politik yang berorientasi pada transaksi (biaya mahar), terjadinya persaingan yang ketat antar kandidat dan partai politik itu sendiri, dengan sistem pemilu yg proporsional, sehingga meningkatkan pembiayaan yang sangat besar dan tinggi.

Drs. James Robert Pualillin, MSi yang juga merupakan tenaga ahli di Dewan Ketahanan Nasional RI tersebut memberikan pandangan, bahwa dalam konstruksi sistem politik terdapat struktur politik yang terdiri dari supra struktur dan infrastruktur, dan struktur politik tersebut selalu ada di semua negara dengan model pemerintahan monarki ataupun presidensial. Secara teori dan konsep menurut James struktur politik tersebut akan bekerja sebagai sesuatu sistem berdasarkan pilihan dan model pemerintahan di sebuah negara, seperti ketika sistem politik dari suatu negara adalah demokrasi maka struktur politik akan memberikan fungsi-fungsi inputnya seperti sosialisasi, rekrutmen politik, agregasi dan artikulasi politik untuk didistribusikan ke kelompok supra struktur politik baik sebagai proses rekruitmen kepemimpinan di dalam supra struktur itu sendiri (legislatif dan eksekutif, bahkan yudikatif), juga dalam proses-proses formulasi dan implementasi kebijakan publik, sebagai produk output dari supra struktur politik tersebut yang output untuk kepentingan masyarakat (publik). Hubungan dan relasi tersebut bekerja secara sistem yang saling melengkapi dengan pendekatan buttom up dan top down, dengan keterlibatan aktif masyarakat sebagai fungsi kontrol dan pengawasan.

Namun menurut James, sistem itu akan bekerja secara sehat, bila terpenuhi kondisi beberapa syarat bagi masyarakat untuk berdemokrasi secara substantif (suara Rakyat adalah suara Tuhan), yaitu masyarakat yang cerdas, masyarakat yang mandiri (sejahtera) dan masyarakat yang sehat jasmani dan rohani, sehingga posisi masyarakat memiliki pengaruh daya tawar yang tinggi, tidak mudah dikooptasi oleh kepentingan pragmatis elit politik tertentu dan masyarakat mampu melakukan pengawasan serta kontrol sosial baik kepada kelompok infrastruktur dan suprastruktur dalam sistem politik yang bekerja tersebut.

Bagi James, syarat minimal tersebut di Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi sehingga wajar bila dalam proses Pemilu maupun Pilkada, posisi daya tawar masyarakat mudah dimanipulasi, dikooptasi dan diperjualbelikan oleh kelompok kekuasaan baik yang ada di supra struktur maupun yang ada di infrastruktur, akibatnya proses demokrasi yang seharusnya kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat sepenuhnya melalui kekuatan suara rakyat sebagai suara Tuhan untuk menentukan proses seleksi kepemimpinan baik Nasional dan Daerah, tetapi bisa direkayasa dan diatur dengan kekuatan modal besar, sehingga situasi tersebut membuat proses Pilkada saat ini menjadi proses demokrasi dengan biaya tinggi.

Dampaknya proses Pilkada dengan biaya tinggi, menurut pandangan James akan mendorong dan menumbuhkan korupsi di pemerintahan daerah dan ruang korupsi tersebut ada di beberapa bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh proses pemerintahan di daerah yaitu kebocoran dan rekayasa di proses perencanaan penganggaran kegiatan dan program, manipulatif dalam implementasi anggaran kegiatan dan program, terjadi transaksi jual beli jabatan dalam proses promosi dan demosi pejabat-pejabat di lingkungan pemerintahan daerah, terjadinya pungli dalam proses perizinan, rekayasa program bantuan sosial yang menurut James selaku ahli pemerintahan bahwa nomenklatur Baksos pun secara filosofis pemerintah adalah salah, karena program tersebut adalah kebutuhan masyarakat dan dibiayai oleh anggaran publik yang juga berasal dari masyarakat (publik), tapi dikemas dg istilah Bantuan Sosial jadi secara psikologis masyarakat menjadi obyek bantuan (padahal harusnya adalah hak rakyat dan kewajiban pemerintah), kemudian penyimpangan lainnya terkait dengan anggaran POKIR DPRD, yang sebenarnya pengaturan sangat jelas di Permendagri No 86 tahun 2017 sebagai bentuk sinkronisasi dana dan program aspirasi setiap anggota DPRD ke basis konstituennya yang kemudian di linier kan dan di padukan dengan program-program di setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD), tapi hari ini yang terjadi POKIR dianggap sebagai uang (dana) milik setiap anggota DPRD dan distribusinya suka-suka anggota DPRD tersebut dan kadangkala distribusi ke masyarakat hanya 20 - 30%, dan sisanya menjadi milik setiap anggota DPRD, dan lebih celaka lagi menurut James, ada beberapa daerah menempatkan setiap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki POKIR masing-masing, bahkan SEKDA dan Pimpinan OPD pun punya POKIR masing-masing, sehingga wajar kalau hari ini banyak Pemerintah Daerah mengalami devisit anggaran dan semakin terbuka ruang-ruang korupsi.

Dampaknya bila korupsi tersebut terjadi bagi James, akan menyebabkan kerusakan fondasi ekonomi masyarakat, melemahkan sistem pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta menghancurkan keadilan sosial, dan merusak sendi - sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, yang ujungnya akan menurunkan kepercayaan publik pada pemerintahan yang ada.

Dr. Titi Anggraini, melihat dengan perspektif "it take two to tango", yaitu Pengusaha (broker) menyuap kepala daerah untuk mengamankan proyeknya, lalu Kepala Daerah menyuap anggota DPRD melalui pengusaha (broker), dan proses tersebut dimulai sejak perencanaan, penganggaran, implementasi sampai monitoring dan evaluasi.

Lebih lanjut menurut Titi, modus korupsi Kepala Daerah ada saat intervensi penggunaan anggaran, campur tangan dalam pengelolaan penerimaan daerah, pemerasan dalam proses perizinan, intervensi dalam manajemen ASN dengan model transaksi (jual beli jabatan), sehingga posisi ASN dalam proses Pilkada pun sulit untuk berada di netralitas mereka.
.
 

Artikel Lainnya