Jakarta, INDONEWS.ID - Dalam sidang kabinet terakhir yang dipimpin Presiden Joko Widodo di IKN pagi ini, dia antara lain memberi arahan “Agar setelah dilantik, pemerintahan baru bisa segera bekerja dan berlari kencang,”.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan salah satu tantangan kesehatan kita adalah tuberkulosis (TB).
Seperti diketahui, kita adalah penyumbang kasus nomor dua terbesar di dunia, dan lebih 15 orang meninggal setiap jam di negara ini karena TB.
Dia mengatakan, dalam hal “berlari kencang” melawan tuberkulosis maka baik kalau pemerintah baru langsung mengadopsi dan mengimplementasi panduan WHO terbaru tentang obat terapi pencegahan tubeerkulosis – TPT (“TB preventive treatment - TPT”), yang baru dikeluarkan 4 hari yang lalu, pada 9 September 2024.
Panduan ini berisi 21 rekomendasi yang punya dasar ilmiah mumpuni. Termasuk satu rekomendasi yang amat kuat, yaitu pemberian obat levofloxacin setiap hari selama 6 bulan sebagai opsi pemberian TPT pada mereka yang terpapar dengan tuberkulosis yang resisten multi obat (“multi drug resistance – MDR”) dan resisten rifampisin (RR).
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI ini mengatakan, dalam hal ini setidaknya ada lima kegiatan dalam paket pemberian TPT ini.
Pertama, identifikasi kelompok risiko tinggi pada laten tuberculosis. Kedua skrining ke arah TB dan ketiga memastikan bahwa memang belum ada sakit TB.
Keempat melakukan tes dan memastikan terjadinya infeksi TB serta kelima memilih jenis obat TPT yang tepat.
Selain pemberian levofloxacin yang sudah dibahas di atas maka pilihan lain adalah obat isoniazid setiap hari selama 6 atau 9 bulan, atau regimen pengobatan rifapentine dan isoniazid selama 3 bulan.
“Pilihan lain adalah pemberian rifapentine dan isoniazid setiap hari selama satu bulan, atau juga obat rifampisin setiap hari selama 4 bulan,” ujar Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kabalitbangkes ini.
Program terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) masih amat rendah cakupannya di negara kita, baru sekitar 2 atau 3% saja.
“Karena itu jelas perlu ‘berlari kencang’ untuk peningkatannya, dan kini juga harus menggunakan pedoman WHO terbaru ini agar larinya sesuai dengan bukti ilmiah (evidence-based) kedokteran dan kesehatan yang valid,” pungkasnya. ***