Opini

Buton Membagi Kekuasan Sejak Tahun 1300 Masehi

Oleh : luska - Sabtu, 02/11/2024 17:32 WIB


Penulis:.Laode Muhammad Alfian Zaadi. S.Sos, M.I.Kom (Dosen FIPH Umu Buton)

Melihat Buton bagaikan lorong waktu, ada perjalanan panjang yang tak pernah surut ditelan zaman. Layaknya cerita novel Serdadu Pantai karya Laode insan, ada peradaban besar dibalik perjalanannya. Begitulah saya ketika melihat Buton hari ini. Di sana ada aspal, ada Benteng terluas di dunia (22,7 ha), dan ada adat istiadat. Selain itu, di Buton juga ada Undang-Undang yang dipakai sebagai pedoman dalam menjalankan sistem Pemerintahan Kesultanan Buton. Kami mengenalnya dengan nama Undang-Undang Murtabat Tujuh. Itulah Buton! Sebuah pulau yang indah terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang menyimpan kisah, peninggalan menarik, penuh pesona dengan peradabannya. Namun sayang kini hampir terlupakan.  
Jika melihat sistem pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Buton pada masa itu, saya kembali takjub betapa pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kekuasaan begitu jernih. Konsep membagi kekuasaan justru telah hadir dan diterapkan pada saat Kerajaan Buton berdiri sekitar tahun 1300-an Masehi. Dasar pendiriannya pun berakar dari falsafah Buton: "Pobinci binciki kuli" yang berarti: “Saling mencubit kulit untuk merasakan sakit” sebagai faham yang bersumber dari keyakinan bahwa semua manusia punya rasa yang sama untuk dihormati dan dihargai. Itulah sebuah konsep Kekuasaan yang dijalankan oleh Kerajaan/Kesultanan Buton. Bentuk ini kurang lebih sama seperti konsep Trias politika yang digagas pertama kali oleh John Locke seorang filsuf Inggris yang lahir pada tahun 1632-1704 Masehi. Kemudian dikembangkan lagi oleh Baron de la Brede et de Montesquieu yang lahir di tahun 1689-1755 Masehi. Yang dikemudian hari dia lebih dikenal dengan nama Montesquieu. Dalam bukunya L'Esprit Des lois", Montesquieu membagi tiga jenis Kekuasaan dalam bernegara yaitu: Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Eksekutif, dan Kekuasaan Yudikatif. Dan dunia hari ini begitu mengenal demokrasi yang bersumber dari Konsep Trias politika.
Pada masa pra kerajaan Buton antara tahun 890-984 Masehi, di pulau Buton telah dihuni beberapa kerajaan kecil seperti: Kerajaan Wutesintabu di Lasalimu, Kerajaan Kamaru, Kerajaan Todanga di Kapuntori, Kerajaan Tobetobe, Kerajaan Batauga dan Kerajaan Wawoangi. Yang kesemuanya sudah memiliki mekanisme pemerintahannya masing-masing. Kemudian dalam perjalanan waktu, Buton pun tidak luput dari kedatangan orang-orang dari negeri seberang. Mereka ini dikenal dengan sebutan “Miapatamiana” atau Empat Orang, yang datang bersama rombongannya disekitar tahun 1295 Masehi (Menurut Abdul Mulku Zahari dalam buku: Sejarah Kebudayaan Buton). Seiring berjalannya waktu kelompok “Miapatamiana” dan beberapa Kerjaan kecil tadi berasimilasi membaur satu dengan lainnya. Lalu sebagian mereka sepakat membuka lahan pemukiman baru yang letaknya di sebuah bukit (Lokasi Benteng Wolio Buton saat ini). Hubungan tersebut kemudian berkembang hingga akhirnya membentuk keterkaitan wilayah satu dengan lainnya. Karena itu lahirlah sebutan "Pata limbona"(Empat Wilayah) yang terdiri dari: Limbo Peropa, Limbo Ba:luwu, Limbo Gundu-Gundu dan Limbo Barangkatopa.
Terjadinya mufakat antara “Miapatamiana” dengan “Bonto Patalimbona”(pemimpin dari empat Limbo) serta “Dungkucangia” yang merupakan pemimpin dari Tobetobe, kemudian melahirkan cikal bakal Kerajaan Buton, dan Bonto Patalimbona berperan mengangkat dan melantik “Wakaka”(seorang Perempuan) sebagai Raja pertama Buton yang bertempat di Wolio dan menjadi wilayah pusat pemerintahan Kerajaan Buton. Di kemudian hari Patalimbona ini berkembang menjadi Siolimbona.  
Dalam sistem kerajaan Buton, Kekuasaan telah dibagi kedalam wujud bentuk: Patalimbona/Siolimbona yang merupakan perwakilan rakyat yang berhak untuk mengangkat, melantik dan bahkan memberhentikan Raja/Sultan yang melanggar sumpah dan janji. Sementara Raja merupakan kepala negara. Sedangkan Sapati berperan sebagai perdana menteri yang mengatur roda pemerintahan kerajaan. Lalu Kenepuluh memiliki peran sebagai sekretaris negara merangkap Mahkamah Agung yang secara independen menegakkan hukum Kerajaan/Kesultanan Buton. 
Perjalanan waktu pun makin membuat tinggi rasa penasaran saya, sebab tidak menyangka di tahun 1300-an Masehi di sebuah pulau yang bernama Buton sudah memiliki peradaban tinggi yang masih tersimpan peninggalannya sampai hari ini. Sayang seribu sayang pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak banyak yang mengenalnya. Di sisi lain Pilkada kita hari ini mempertontonkan mekanisme perekrutan kepala daerah yang masih tidak jelas apa kriteria utamanya dalam memilih ‘’Pemimpin’’. Mengapa perlu kriteria utama dirumuskan? Karena setelah pemimpin terpilih, pada akhirnya mayoritas  pemimpin saat ini selalu berakhir dengan masalah hukum. Apa yang sedang terjadi dengan model pemilihan kita hari ini? Apakah karena ruang diskusi publik masih saja didominasi dengan topik politik uang, sehingga kandidat yang cocok untuk memimpin suatu daerah selalu identik harus punya uang banyak? 
Sementara berbicara kapasitas dan kapabilitas seorang kandidat pemimpin, hampir tidak pernah dibahas serius untuk digali oleh kita. Lantas bagaimana mungkin kita berharap pembangunan dapat mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sedangkan meningkatkan produktivitas masyarakat saja masih jauh dari kenyataan dan harapan ideal.  Maka tidak heran kalau Kepton (Kepulauan Buton) belum dapat menjadi daerah otonom. Karena itu tidak salah jika mempunyai pikiran bahwa mencari Pemimpin di Buton tidak seindah alam dan peradaban masa lampaunya yang bisa meninggalkan karya besar untuk dinikmati sampai hari ini. Sedangkan hasil pilkada kita masih saja tidak membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan Kepton. Apakah kita punya pemikiran yang sama? Heem... Sampai jumpa diopini kisah selanjutnya dari Negeri Seribu Benteng!

 

Artikel Lainnya