
Jakarta, INDONEWS.ID - Aliansi Mahasiswa Peduli Hukum Indonesia (AMPHI) secara resmi melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial (KY) pada Rabu (15/1).
Laporan ini terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam penanganan perkara yang melibatkan Andri Tedjadharma, seorang warga negara Indonesia yang menggugat Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia atas penyitaan harta pribadinya.
AMPHI menilai majelis hakim telah mengabaikan sejumlah bukti penting yang seharusnya dapat mengungkap kejanggalan serius dalam proses hukum tersebut, sehingga mencederai rasa keadilan.
Dalam laporannya, AMPHI menyebutkan sejumlah poin krusial yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan hakim namun tidak digubris dalam persidangan atau diduga sengaja diabaikan oleh para hakim.
Pertama, tidak Ada Putusan Kasasi yang Sah. Mahkamah Agung (MA) menyatakan tidak pernah menerima berkas permohonan kasasi dari BPPN terkait perkara Bank Centris.
Namun anehnya, salinan putusan kasasi justru baru diterima Andri pada 1 November 2022—dua dekade setelah putusan banding pada 2001. MA bahkan telah mengeluarkan tiga surat resmi yang menegaskan ketidakterimaan berkas kasasi tersebut.
Fakta kedua adalah hilangnya sertifikat tanah seluas 452 hektar. Sertifikat tanah yang menjadi jaminan kredit Bank Centris disebut hilang. DJKN tidak dapat menunjukkan keberadaannya, meskipun Bank Indonesia menyatakan telah menyerahkannya sejak 1999. Upaya Andri untuk menelusuri hal ini pun tidak membuahkan hasil.
Fakta berikutnya adalah minimnya bukti otentik dari pihak tergugat. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia tidak dapat menunjukkan sertifikat asli lahan tersebut. Hanya ada dokumen serah terima yang dianggap tidak sah secara hukum.
Fakta selanjutnya adalah keterangan saksi ahli yang tidak dipertimbangkan oleh hakim. AMPHI menyoroti bahwa keterangan saksi ahli yang menekankan pentingnya Akta 46 (Perjanjian Perdata antara Bank Centris dan Bank Indonesia) sebagai dasar hukum utama sengketa, tidak dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya.
Sikap dan Tuntutan AMPHI
Ketua AMPHI, Wahyudin Jali, menyatakan bahwa laporan ini diajukan demi menjaga integritas peradilan Indonesia. “Kami melihat adanya indikasi kuat pelanggaran kode etik oleh hakim dalam perkara ini. Fakta-fakta penting justru diabaikan. Kami harap Komisi Yudisial mengambil langkah tegas,” ujar Wahyudin.
AMPHI juga menegaskan bahwa langkah ini bukan semata membela Andri Tedjadharma, tetapi juga bertujuan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan nasional.
Dalam laporan yang diserahkan ke KY, AMPHI mengajukan tiga tuntutan utama antara lain pemeriksaan terhadap majelis hakim atas dugaan pelanggaran etik; pemberian sanksi jika terbukti melanggar dan penegakan prinsip keadilan, transparansi, dan integritas dalam setiap putusan pengadilan.
AMPHI turut melampirkan sejumlah dokumen penting dalam laporannya, termasuk surat dari MA dan DJKN, serta dokumen persidangan yang menunjukkan potensi kejanggalan dalam proses hukum perkara ini.
AMPHI berharap laporan ini mendorong Komisi Yudisial untuk bertindak proaktif dalam menjaga kredibilitas institusi peradilan di Indonesia.
Kontra Memori dan Teguran Komisi Yudisial
Sementara itu, secara terpisah kepada media ini, Andri Tedjadharma selaku Owner Bank Centris Internasional (BCI) mengaku terzolimi atas tindakan yang dilakukan para hakim PN dan PT tega memutarbalik fakta membuat salinan keputusan MA No. 1688 yang palsu.
"Demi jabatan dan uang mereka tega memutarbalikkan fakta dengan membuat salinan keputusan MA No. 1688 yang palsu untuk melakukan penyitaan atas harta kekayaan lainnya atas nama pribadi dan keluarga saya yang tidak ada kaitannya dengan masalah bank dan tidak pernah dijaminkan ke pihak manapun," kata Andri bingung.
Andri lantas menyampaikan apresiasi kepada AMPHI yang telah jeli dan teliti melihat kasus ini secara objektif, transparan dan teliti dan menilai keputusan MA hingga hakim PN dan PT yang palsu sungguh mencederai hati nurani rasa keadilan bagi setiap warga, termasuk dirinya.
"Keputusan MA yang palsu dan hakim PN dan PT yang mencederai hukum untuk diperiksa, sejalan dengan IPW meminta Kapolri dan Kabareskrim Polri segera secara tegas dan cepat serta teliti menanggapi kasus pemalsuan salinan keputusan MA No. 1688 yang sungguh luar biasa," tambahnya.
Andri menduga keluarnya putusan kasasi dipending di PT pada 18 Feberuari 2025 setelah para hakim diperingati KY yang sudah menerima laporan AMPHI ke KY pada 1 Januari 2025 dan pemberitaan media pada 15 Januari 2025. Menurutnya, ini mengulang kejadian yang dialaminya di PN Jakarta Selatan sebelumnya.
"Mungkin gak, kontra memori kasasi dari KPKNL dipending di PT karena hakim PN dan PT yang memutuskan perkara 171 dan 191 telah dipanggil oleh KY serta yang mengeluarkan salinan putusan dari PN Jaksel ditegur oleh KY. Sehingga mereka pasti pending proses kasasi, digantung seperti dulu lagi. Kenapa kontra memori KPKNL dan PUPN belum juga diverifikasi di PT? Ini membuat kecurigaan saya bahwa semua yang terlibat sudah dipanggil KY," tanya Andri bingung.