
Jakarta, INDONEWS.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang menangani berbagai perkara sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan pasca pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Saat ini, MK sedang menangani 2 sengketa, yaitu Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara dan Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, hasil PSU sebelumnya. Masih ada kemungkinan gugatan lagi hasil PSU berikutnya.
”Yang menarik adalah sebagian besar perkara yang masuk tidak lagi menyasar persoalan teknis pelaksanaan PSU, melainkan membawa isu-isu baru dan rasanya tidak relevan dengan proses PSU itu sendiri,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (10/5).
Salah satu contoh dapat dilihat pada kasus di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Dalam gugatannya, pasangan calon yang kalah tidak mempersoalkan langsung proses PSU, namun justru menggugat keabsahan ijazah asli calon terpilih. Padahal syarat tersebut tidak diwajibkan dalam peraturan pencalonan, cukup ijazah yang telah dilegalisir oleh lembaga yang berwenang.
Lebih ironis lagi, isu ini tidak pernah dibawa saat gugatan awal sebelum PSU dilakukan.
Jeirry mengatakan, fenomena ini mencerminkan kecenderungan penggunaan MK sebagai tempat “mencari-cari alasan kekalahan” dengan mengesampingkan substansi hukum yang relevan.
”Hal ini tentu berpotensi memperpanjang proses Pilkada secara tidak perlu (bisa PSU terus-menerus), menciptakan ketidakpastian hukum terhadap pilkada, ketidakpastian politik di daerah, serta menyebabkan pemborosan anggaran negara,” ujarnya.
Perlu diketahui, pelaksanaan PSU di berbagai daerah telah menghabiskan dana miliaran rupiah yang semestinya dapat digunakan untuk keperluan publik lainnya, apalagi daerah yang PSU, seperti Kepulauan Talaud, masuk kategori daerah miskin.
Karena itu, Jeirry menekankan tiga hal utama terkait PSU tersebut. Pertama, independensi MK. Menurutnya, hakim Mahkamah Konstitusi harus teguh menjaga integritas dan tidak boleh tunduk pada tekanan politik maupun kepentingan elite tertentu.
”Setiap keputusan harus didasarkan semata-mata pada hukum dan bukti yang relevan, serta mempertimbangkan akibat dari PSU tersebut bagi daerah,” katanya.
Kedua, konsistensi dalam putusan. Jeirry meminta MK wajib menjaga konsistensi dalam menilai perkara, termasuk tidak membuka ruang terhadap dalil baru yang seharusnya sudah gugur pada tahap sebelumnya. ”Konsistensi menjadi kunci keadilan dan legitimasi putusan,” katanya.
Ketig,a efisiensi proses. MK, katanya, merupakan benteng terakhir dalam proses Pilkada. Oleh karena itu, penting bagi MK untuk menyaring secara ketat perkara yang masuk agar tidak membuang waktu dan anggaran untuk sengketa yang tidak substansial dan tidak relevan.
Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam menjaga kualitas demokrasi lokal dan kepercayaan publik terhadap sistem pilkada (pemilu).
”Jangan sampai MK justru menjadi alat politik lanjutan yang melemahkan semangat demokrasi, menghambur-hamburkan sumber daya negara dan berkontribusi bagi terhambatnya proses pembangunan di daerah,” pungkasnya. *