
Oleh: Girindra Sandino*
Jakarta, INDONEWS.ID - Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar fundamental dalam sistem demokrasi modern, berfungsi sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya dan membentuk pemerintahan yang demokratis. Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), merupakan penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemilu, beserta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang membentuk satu kesatuan fungsi untuk menjamin proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Integritas pemilu sangat bergantung pada kemampuan KPU dan Bawaslu untuk bekerja secara independen dan tanpa rasa takut dalam menjalankan tugas konstitusional mereka.
Meskipun Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) secara tegas menyatakan KPU bebas dari pengaruh pihak manapun, namun UU Pemilu saat ini tidak secara eksplisit memberikan hak perlindungan hukum memadai atau hak imunitas bagi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) sebagaimana hak yang diberikan kepada pejabat negara atau profesi hukum lainnya.
Ketiadaan perlindungan hukum yang eksplisit ini menempatkan penyelenggara di bawah bayang-bayang ancaman pidana, bahkan untuk tindakan yang mungkin merupakan kelalaian.
Situasi ini menciptakan paradoks mendasar: negara mengamanatkan kemandirian KPU dan Bawaslu, namun pada saat yang sama membebankan ancaman kriminalisasi yang luas. Implikasinya adalah kemandirian yang diamanatkan konstitusi menjadi semu. Ketika para penyelenggara pemilu ini terus-menerus menghadapi ancaman hukum atau potensi kriminalisasi dalam menjalankan tugas konstitusional mereka, hal ini dapat mengikis keberanian mereka dalam mengambil keputusan yang sulit namun esensial. Kondisi ini dapat berdampak langsung pada kualitas pemilu dan membuka celah bagi penyimpangan proses pemilu.
Hak imunitas, secara umum didefinisikan sebagai kekebalan dari yurisdiksi perdata dan pidana, atau pembebasan dari kewajiban hukum yang diberikan kepada pejabat publik. Konsep ini telah dikenal dalam hukum internasional, seperti Konvensi Wina 1961 yang menegaskan kekebalan diplomatik.
Dalam sistem hukum, hak imunitas umumnya diklasifikasikan menjadi dua jenis: Hak Imunitas Mutlak (Absolute Immunity), yang berlaku secara mutlak dan tidak dapat dibatalkan, diberikan kepada pejabat tinggi negara dalam menjalankan tugas resmi untuk memastikan fungsi kenegaraan berjalan tanpa rasa takut; dan Hak Imunitas Kualifikasi (Qualified Immunity), yang bersifat relatif dan dapat dikesampingkan dalam kondisi tertentu, terutama jika penggunaan hak tersebut sengaja dilakukan untuk menghina atau mencemarkan nama baik.
Rasionalitas utama di balik pemberian hak imunitas adalah untuk melindungi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas-tugas publik mereka tanpa rasa takut akan tuntutan hukum yang tidak berdasar, sehingga mereka dapat bekerja secara profesional dan independen. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hak imunitas adalah kekebalan terhadap kekuasaan hukum orang lain, sebuah bentuk pembebasan dari hubungan hukum yang melindungi fungsi vital yang dijalankan demi kepentingan publik (Satjipto Rahardjo: 2005). Tanpa perlindungan ini, pejabat akan rentan terhadap tekanan dan intimidasi, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas konstitusional mereka.
Dalam sistem hukum juga dikenal prinsip equality before the law (persamaan kedudukan di hadapan hukum) yakni sebuah asas fundamental yang termuat dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Meskipun hak imunitas sering dianggap bertentangan dengan prinsip ini, namun dalam hal ini justru memaksa imunitas untuk diberlakukan secara terbatas dan fungsional, hanya dalam wilayah tugas kerja. Hal ini menunjukkan bahwa "itikad baik" menjadi prinsip yang mendamaikan.
Hak imunitas telah diberikan kepada berbagai profesi dan pejabat negara dengan pola, batasan, dan mekanisme yang konsisten. Advokat, misalnya, dilindungi Pasal 16 UU Advokat dari tuntutan perdata/pidana dalam menjalankan tugas profesi dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki hak imunitas yang diatur dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 dan UU MD3, melindungi mereka dari tuntutan atas pernyataan/pendapat yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan wewenang DPR.
Demikian pula, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya yang bebas dan mandiri (Pasal 23E ayat (1) UUD 1945), tidak dapat dituntut di muka pengadilan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Namun terikat kode etik dan diawasi oleh Majelis Kehormatan Kode Etik BPK.
Pola umum yang terlihat adalah pemberian hak imunitas kepada pejabat atau profesi yang memegang peran krusial, menjalankan fungsi independen, dan berhadapan dengan berbagai kepentingan. Tujuannya adalah menjamin independensi, keberanian, dan efektivitas dalam menjalankan tugas konstitusional.
Model ini menawarkan cetak biru yang kuat untuk memperluas perlindungan serupa kepada penyelenggara pemilu.
Potensi berbagai bentuk ancaman terhadap penyelenggara pemilu akan menciptakan ketidakpastian hukum, mencoreng kehormatan profesi, dan merenggut hak imunitas yang seharusnya melindungi mereka. Ancaman pidana yang berlebihan menciptakan "efek mendinginkan" (chilling effect) yang signifikan, mendorong penyelenggara untuk menghindari pengambilan keputusan yang berani dan inovatif dalam situasi ambigu atau kontroversial.
Pemberian hak imunitas bagi penyelenggara pemilu memiliki landasan konstitusional yang kuat, mengingat KPU diamanatkan sebagai lembaga mandiri oleh UUD 1945 dan UU 7/2017 (Pasal 10 ayat (3) UU 7/2017). Kemandirian ini membutuhkan perlindungan hukum agar dapat berfungsi efektif. Model hak imunitas yang diusulkan harus proporsional, terbatas, dan akuntabel.
Lingkup imunitas fungsional harus secara eksplisit melindungi anggota KPU dan Bawaslu (di semua tingkatan) dari tuntutan perdata maupun pidana atas pernyataan, tindakan, dan keputusan yang dibuat dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang mereka sesuai dengan UU Pemilu.
Pemberian hak imunitas kepada penyelenggara pemilu akan membawa dampak positif yang signifikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia: Pertama, dengan adanya perlindungan hukum, anggota KPU dan Bawaslu akan merasa lebih independen dan berani dalam mengambil keputusan yang sulit sepanjang didasarkan pada hukum dan "itikad baik". Mereka dapat fokus pada tugas konstitusional tanpa rasa takut akan tuntutan tidak berdasar. Dengan begitu akan meningkatkan efektivitas, integritas dan kepercayaan publik.
Kedua, penyelenggara pemilu tidak akan lagi cenderung membuat keputusan yang "aman" atau populer hanya untuk menghindari tuntutan hukum. Ini akan memastikan proses pemilu berjalan sesuai prinsip Luber Jurdil, tanpa intervensi atau tekanan yang dapat mendistorsi hasil akhir.
Terakhir, pemberian hak imunitas kepada penyelenggara pemilu akan menyelaraskan posisi mereka dengan pejabat negara dan profesi hukum lain yang juga mengemban tugas krusial dan independen, sehingga menciptakan sistem hukum yang koheren dan konsisten di Indonesia.
Pemikiran di atas dapat dijadikan sebuah rekomendasi agar dimasukkan sebagai materi revisi Undang-Undang Pemilu. Penerapan hak imunitas ini akan menjadi langkah progresif dalam memperkuat pondasi demokrasi di Indonesia, memastikan penyelenggara pemilu dapat menjalankan tugas mereka dengan integritas penuh, tanpa dibayangi rasa takut yang tidak semestinya.
*) Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu, Direktur Eksekutif Indonesia Democratic (IDE) Center.