Nasional

Friksi di Kementerian PKP, Menteri Ara Vs Wamen Fahri Berbeda Pendapat Soal Program 3 Juta Rumah

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 06/07/2025 11:46 WIB


 

Jakarta, INDONEWS.ID Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang dipimpin Maruarar Sirait dan Wakil Menteri Fahri Hamzah tengah menghadapi dinamika internal yang mencolok. Perbedaan pendekatan dan visi dalam menyukseskan Program 3 Juta Rumah per tahun, yang menjadi janji kampanye Presiden Prabowo Subianto, menyebabkan gesekan tajam antara dua pucuk pimpinan kementerian baru ini.

Kementerian PKP dibentuk pada Oktober 2024 melalui pemisahan dari Kementerian PUPR, dan diberi mandat untuk mengatasi backlog perumahan nasional yang mencapai 12,7 juta unit. Namun, friksi antara Maruarar dan Fahri mulai terlihat sejak awal tahun 2025, terutama dalam isu-isu strategis seperti ukuran rumah subsidi, pinjaman luar negeri, serta skema pembiayaan inovatif.

Perbedaan tajam pertama muncul saat Fahri Hamzah menggencarkan pendekatan pinjaman luar negeri untuk mendukung pembangunan rumah murah. Ia mengklaim telah membuka komunikasi dengan World Bank, ADB, AIIB, dan IsDB, serta mengusulkan program renovasi 2 juta rumah melalui skema Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS).

Namun, pada 24 Juni 2025, Maruarar justru menghentikan usulan pinjaman luar negeri yang diajukan para dirjen di Kementerian PKP. Ia menekankan pentingnya kemandirian fiskal sesuai arahan Presiden Prabowo dan memilih memaksimalkan pendanaan domestik seperti dari BPI Danantara dan skema FLPP.

“Saya yang hentikan pinjaman dari luar negeri untuk sektor perumahan,” tegas Maruarar.

Fahri menyatakan terkejut dan menyebut tidak mengetahui alasan di balik keputusan tersebut. Bahkan Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, mendukung Fahri dengan menyatakan bahwa pinjaman luar negeri tetap relevan karena keterbatasan fiskal nasional.

Isu kedua yang memicu perdebatan adalah ukuran minimal rumah subsidi. Maruarar mengusulkan ukuran 18 meter persegi demi efisiensi di wilayah urban, sementara Fahri bersikeras bahwa ukuran minimal sesuai UU adalah 36–40 meter persegi agar layak huni.

Kontroversi semakin mengemuka setelah Lippo Group memperkenalkan rumah subsidi 14 meter persegi. Maruarar merespons dengan terbuka terhadap opsi tersebut, sementara Fahri menolaknya keras karena dinilai tidak manusiawi dan melanggar regulasi.

“Rumah 18 meter itu bukan rumah layak huni,” tegas Fahri, sambil mengusulkan solusi hunian vertikal seperti rusun untuk kota besar.

Ketegangan terbaru terjadi saat Fahri mengusulkan skema attachment earnings sebagai alternatif pembiayaan rumah tanpa membebani APBN. Dalam skema ini, pekerja mengizinkan pemotongan gaji otomatis untuk cicilan rumah, yang ditransfer langsung ke bank mitra.

Namun, Maruarar menyatakan belum pernah menerima usulan resmi dan menegur minimnya koordinasi dari bawahannya. "Saya tunggu kalau ada usulannya. Kan saya menterinya," ujarnya pada 4 Juli 2025.

Meski demikian, ia menyatakan terbuka jika usulan tersebut diajukan secara formal dan melalui prosedur yang tepat.

Maruarar dan Fahri sebenarnya telah membagi tanggung jawab: Maruarar mengurus 2 juta rumah, sementara Fahri fokus mencari pembiayaan untuk 1 juta rumah. Namun, perbedaan strategi, minimnya komunikasi, dan langkah-langkah unilateral menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan Program 3 Juta Rumah.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik soal efektivitas koordinasi dalam tubuh Kementerian PKP, terlebih dengan besarnya skala proyek dan tantangan anggaran.

Selain perbedaan teknis, friksi ini juga mencerminkan latar belakang politik yang berbeda. Maruarar adalah mantan politisi PDI-P yang kini berlabuh di Gerindra dan dikenal punya jaringan luas di sektor properti. Fahri, eks-Wakil Ketua DPR dari PKS dan kini kader Partai Gelora, dikenal sebagai orator tajam dan memiliki pengalaman di tim transisi Prabowo-Gibran.

Friksi antara Maruarar Sirait dan Fahri Hamzah menjadi tantangan tersendiri bagi keberhasilan Program 3 Juta Rumah. Ketidaksamaan pendekatan, visi, dan koordinasi antar pimpinan berpotensi menghambat realisasi janji kampanye presiden.

Keterbukaan terhadap masukan dan konsolidasi internal menjadi krusial untuk memastikan program ini berjalan efektif, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil—tanpa terjebak pada konflik kepentingan atau tarik-menarik politis. 

Artikel Lainnya