INDONEWS.ID

  • Minggu, 29/09/2019 14:01 WIB
  • Dalam Sepekan, AJI Mencatat Polisi Lakukan 9 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
 Dalam Sepekan, AJI Mencatat Polisi Lakukan 9 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis
Para Jurnalis yang tergabung dalam Asosiasi Jurnalis Indonesia melakukan aksi demontrasi (Foto: Liputan6)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Sejak demo tolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP bergulir pada tanggal 23 September, tercatat terdapat 14 kasus kekerasan jurnalis di berbagai daerah di Indonesia.

Baca juga : Perpres Publisher Rights Kunci Masa Depan Jurnalisme Berkualitas

Demikian dikatakan Koordinator Bidang Advokasi Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) Sasmito Madrin usai Aksi Jalan Mundur AJI di CFD Bundaran HI, Minggu (29/9).

"AJI dalam sepekan mencatat 14 kasus kekerasan di berbagai daerah, 10 kasus kekerasan pada aksi 24-26 September," Ungkap Sasmito

Baca juga : Pers Sedang Mengalami Disrupsi dan Kualitas Jurnalis Menurun

Dari 10 kasus kekerasan itu, AJI Jakarta menyebut ada 9 kasus di antaranya diduga dilakukan oleh polisi. Maka dari itu, AJI mendorong pihak kepolisian agar mengusut oknum polisi tersebut.

"Kita berharap pihak kepolisian mengusut kasus ini, tanpa ada laporan pun itu harus diusut karena kekerasan terhadap jurnalis bukan delik aduan jadi teman-teman kepolisian bisa langsung mengusut tanpa adanya laporan," terang Sasmito.

Baca juga : Ketua MPR RI Ingatkan Pentingnya Regulasi Hak Cipta Jurnalistik

Sasmito mendesak polisi menghentikan segala bentuk teror kepada jurnalis seluruh di Indonesia. Ia mencontohkan, di Papua misalnya, ada koresponden dari the Jakarta Post yang rumahnya digeledah untuk mendapatkan bukti keberadaan jurnalis lainnya.

"Salah satunya di Papua, ada koresponden Jakarta Post rumah digeledah hanya untuk mencari jurnalis yang lain. Kami mendesak polisi menghentikan semua teror," tegasnya.

Selain itu, AJI juga meminta perusahaan media agar memberikan pendampingan bagi para pekerja atau jurnalisnya. Perusahan media, lanjutnya harus aktif melaporkan kasus yang menimpa jurnalisnya kepada kepolisian atas kasus pelanggaran pidana sesuai undang-undang pers.

"Tapi kita juga mendorong perusahaan media untuk aktif mengadvokasi jurnalisnya yang menjadi korban. Di samping polisi aktif, perusahaan media juga harus aktif melaporkan kasus ini. Bukan sebagai kasus etik, tapi sebagai kasus pelanggaran pidana sesuai Undang-Undang Pers," terang Sasmito.

Sementara itu terkait pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo bahwa petugas tidak bisa membedakan wartawan dengan pendemo lantaran ukuran ID Pers kecil, Sasmito menilai pernyataan tersebut tidak tepat dan hanya alasan belaka.

"Di video teman (wartawan) dari Kompas itu jelas sekali sudah menunjukkan ID Pers-nya, terus dia sudah menyampaikan jurnalis dalam bekerja dilindungi oleh Undang-Undang Pers. Jadi saya pikir alasan seperti itu kurang tepat lah," ujar Sasmito.

Sasmito menduga tindakan kekerasan terhadap wartawan lantaran aparat kepolisian tidak paham SOP jurnalis dalam bekerja. Padahal, menurutnya antara kepolisian dan Dewan Pers sudah ada perjanjian tertulis atau MoU.

"Karena itu kami mendorong MoU polisi dengan dewan pers ini ditingkatkan jadi peraturan Kapolri. Jadi kalau ada polisi yang melanggar bisa langsung diberi sanksi oleh Kapolri," terang Sasmito.*(Rikardo)

Artikel Terkait
Perpres Publisher Rights Kunci Masa Depan Jurnalisme Berkualitas
Pers Sedang Mengalami Disrupsi dan Kualitas Jurnalis Menurun
Ketua MPR RI Ingatkan Pentingnya Regulasi Hak Cipta Jurnalistik
Artikel Terkini
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Akses Jalan Darat Terbuka, Pemerintah Kerahkan Distribusi Logistik ke Desa Kadundung
Elit Demokrat Ardy Mbalembout Mengutuk Keras Aksi Penyerangan Mahasiswa Saat Berdoa di Tangsel
Penutupan Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Bagian dari Strategi Bisnis untuk Fokus pada Lini Penjualan
Presiden Jokowi Masih Kaji Calon Pansel KPK yang Sesuai Harapan Masyarakat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas