INDONEWS.ID

  • Selasa, 01/10/2019 19:09 WIB
  • Pilihan Bagi Jokowi Menjawab Penolakan Masyarakat Terhadap UU KPK

  • Oleh :
    • Mancik
Pilihan Bagi Jokowi Menjawab Penolakan Masyarakat Terhadap UU KPK
Kuliah umum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Makassar merespon pro kontra beberapa RUU dan pemberlakuan UU KPK hasil revisi.(Foto:IST)

Jakarta, INDONEWS.ID - Presiden Joko Widodo memiliki pilihan menerbitkan Perppu dalam menjawab penolakan masyarakat terhadap polemik pengesahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) yang telah ditetapkan bersama oleh DPR.

Demikian gambaran umum yang dapat disimpulkan dalam kuliah umum yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Makassar yang menghadirkan Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Hasannudin, Profesor Said Karim. Jakarta, Selasa,(1/10/2019)

Dekan Fakultas Atmajaya Makasaar, Antonius Sudirman dalam sambutannya mengawali kuliah umum tersebut menekankan pentingnya kajian ilmiah dari dunia kampus merespon pro kontra beberapa RUU dan pengesahan UU KPK yang baru oleh DPR.

Kajian akademik diperlukan dalam rangka menemukan masalah dan memberikan pilihan solusi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terhadap RUU yang bermasalah dan UU KPK yang baru.

"Tujuan dari kuliah umum ini yakni dalam rangka merespon berbagai dinamika nasional khususnya pro kontra beberapa peraturan perundang-undangan yang telah disahkan oleh DPR termasuk UU KPK," kata Antonius.

Beberapa hari terakhir, pro kontra terhadap beberapa RUU dan pemberlakukan UU KPK yang baru cenderung dilakukan melalui aksi demonstrasi oleh mahasiswa.

Namun, kampus sebagai dunia akademik, perlu melakukan kajian secara ilmiah agar civitas akademika mampu memahami inti dari perdebatan yang sedang berlangsung di masyarakat berkaitan dengan masalah yang ada.

"Kuliah umum sengaja dilaksanakan dalam rangka memberikan pencerahan ilmiah terhadap civitas akademika fakultas hukum khususnya dan universitas secara umum berkaitan dengan substansi UU KPK hasil revisi yang penuh dengan pro kontra setelah disahkan oleh DPR,"ungkapnya.


Pasal Bermasalah Dalam UU KPK yang Baru

Profesor Said Karim dalam pemaparannya mengatakan, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia mesti dilakukan secara optimal melalui KPK yang secara khusus dibentuk untuk memberantas kejahatan korupsi.

Pemberantasan korupsi di Indonesia mesti dilakukan secara profesional karena menjadi salah penghambat dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional.

"Pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan, secara profesional, intensif, berkesinambungan, karena telah merugikan keuangan negara/ perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasioal," jelas Said.

Setidaknya ada 15 pasal dalam UU KPK hasil revisi yan dinilai akan melemahkan kerja KPK dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indoonesia.

Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan kedudukan KPK, independensi KPK, keberadaan dewan pengawas, penghentian perkara yang sedang diselidiki dan pasal-pasal lain berkaitan dengan kewenangan KPK.

Berikut adalah pasa-pasal yan dinilai melemahkan kerja KPK dalam upaya memberantas tindak pidanak korupsi:

1. Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 3 UU KPK, KPK adalah Rumpun Lembaga Eksekutif, bertentangan dengan 4 (empat) Putusan MK-RI (2006, 2007, 2010, 2011) Dampaknya KPK diduga/dikhawatirkan bukan lagi sebagai lembaga independen.

2.Pasal 21 ayat 1 (a) Pasal 37 A UU KPK.Adanya dewan pengawas. Konsep lembaga independen negara tidak mengenal pengawas, KPK diawasi langsung oleh publik. Dampak dari keberadaan dewan pengawas yakni membatasi ruang gerak KPK.

3.Pasal 37 B ayat 1 huruf B,kewenangan dewan pengawas dinilai berlebihan, dewan pengawas memberi izin atau tidak terkait penyadapan, penggeledahan atau penyitaan.

4.Pasal 37 E ayat 1, dewan pengawas dampur tangan eksekutif. Ketua dewan pengawas ditetapkan oleh presiden dikwatirkan mengurangi independensi, dikwatirkan KPK bekerja tidak independen.

5.Pasal 19 aayat 1, kedudukan KPK hanya di pusat, tidak dapat membuka kantor perwakilan, diduga KPK tidak dapat memberantas korupsi di daerah.

6.Pasal 29 huruf (e), pemuda tidak dapat menjadi pemimpin KPK, UU lama sekurang-kurangnya usia 40 tahun, sekarang 55 tahun.

7.Pasal 40 (1), KPK dapat menghentikan perkara, KPK dapat mengeluarkan SP3, diduga kasus korupsi menjadi tidak tuntas penanganannya.

8.Pasal 40 (1), kasus besar yang rumit berpotensi dihentikan. Dengan adanya pembatasan waktu, diduga menghambat kerja keras KPK membongkar kasus-kasus besar.

9. Pasal 21 ayat (4),kewenangan KPK dikurangi, diduga penghilangan status penyidik dan penuntut KPK, menyebakan pimpinan KPK hanya menjalankan fungsi administratif semata.

10. Pasal 1 ayat 6, Pasal 24 ayat 2,pegawai KPK sebagai ASN, diduga mencedarai prinsip lembaga independen. Dikwatirkan KPK tidak bekerja secara independen.

11.Pasal 43 A,hilangnya kewenangan KPK merekrut penyidik, harus ada kerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan, diduga independensi KPK hilang. Dikwatirkan KPK bekerja tidak independen.

12.Pasal 45 A, dikwatirkan KPK kehilangan kewenangan untuk mengangkat penyidik. Bertentangan dengan putusan MK RI tahun 2016 yang memberi kewenangan untuk mengangkat penyidik.

13.Pasal 37 B ayat (1) huruf B,kewenangan penyadapan diduga terganggu, ruang gerak KPK dikwatirkan terbatas.

14.Pasal 12 A,penuntutan harus berkoordinasi dengan jaksa agung RI, dikwatirkan dengan kewajiban kerja sama ini, ritme kecepatan penanganan perkara oleh KPK terhamabat.

15. Pasal 12 ayat 2, dikwatirkan menghilangkan kewenangan KPK dalam penyelidikan dan penuntutan, bila kewenangan KPK dipersempit dikwatirkan menyulitkan KPK mengumpulkan bukti untuk kepentingan persidangan.


Pilihan Solusi Jawab Pro Kontra UU KPK

 Said Karim memberikan 4 point solusi terhadap pro kontrak terhadap UU KPK yang telah disahkan oleh DPR. Solusi-solusi ini disampaikan kepada presiden, DPR dan kepada masyarakat yang merasa dirugikan hak hukumnya karena pemberlakukan UU KPK yang baru.

Adapun 4 point tawaran solusi tersebut diantaranya:

1. Presiden RI bila memenuhi syarat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) untuk mencabut UU KPK hasil revisi.

2.Ditempuh Legislative Review, UU KPK hasil revisi disahkan saja, diundangkan, kemudian diagendakan lagi di DPR, untuk diubah lagi Undang-Undang tersebut.

3.Ditempuh Pengajuan Gugatan Judicial Review ke MK RI oleh masyarakat yang merasa keberatan terhadap UU KPK yang baru.

4.Diberlakukan saja dahulu UU KPK hasil revisi, sambil melihat, apakah benar UU tersebut menimbulkan permasalahan dalam penerapannya, dan bila itu benar terjadi, maka segera dapat dilakukan perbaikan, disempurnakan sesuai kebutuhan hukum masyarakat.

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas