Jakarta, INDONEWS.ID - Akademisi Politik, Dr. Philipus Ngorang, M.Si mengatakan bahwa kekuasaan tidak selamanya negatif. Menurutnya, kekuasaan itu memiliki wajah ganda ibarat Dewa Janus.
Sebagai informasi, Dewa Janus adalah salah satu dewa terawal yang disembah sejak masa Romulus. Patung Janus digambarkan sebagai dewa dengan dua wajah yang menghadap dua arah berbeda. Disebutkan bahwa satu wajah memandang masa lalu, sedangkan wajah lainnya memandang masa depan.
Sebelumnya, pengamat masalah sosial politik, Rudi S. Kamri dalam sebuah opini di media ini Minggu, (16/5/21) menyebut bahwa fenomena intoleransi yang masih tumbuh subur di Indonesia adalah akibat pragmatisme kepentingan dan kekuasaan yang berasal dari adanya sistem politik "one man, one vote" dalam sistem Pemilu kita.
"Pragmatis politik itu terjadi karena politik hanya semata-mata dipahami sebagai upaya cari kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh petualang politik," kata Philipus Ngorang di Jakarta, Rabu (19/5/21).
Penulis buku "Etika Pelayanan Publik" ini menjelaskan bahwa selama politik dipahami sebagai kekuasaan, selama itu pula segala cara dilakukan untuk mendapatkannya.
Termasuk upaya tidak halal seperti politik uang atau penggalangan massa lewat issue agama atau PKI dan sejenisnya. Alhasil, masyarakat yang tidak pandai memilah informasi akan mudah termakan dan menjadi korban propaganda politik ini.
Namun, jika politik dipahami sebagai bagian dari upaya menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, maka seharusnya yang dijual adalah gagasan-gagasan yang menciptakan kesejahteraan.
Dengan cara ini, rakyat kemudian bisa membedakan antara gagasan yang baik, mendatangkan kesejahterakan atau justru sebaliknya.
Alumnus Univeristas Gajah Mada (UGM) ini mengajak berbagai media massa untuk melakukan terobosan yang fundamental dalam rangka mencerdaskan masyarakat pemilih.
Penulis buku "Etiket Komunikasi Politik Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama" ini menilai sudah saatnya media massa menjalankan perannya dengan lebih banyak menyajikan berita-berita yang mencerdaskan masyarakat pemilih dalam berpolitik.
"Bahwa politik adalah bagian dari aktivitas masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan, maka sudah saatnya mereka berani menolak politik uang. Bila perlu mereka menyumbang uang untuk memperjuangkan gagasan dan orang yang memperjuangkan gagasan itu dalam pemilu," tukas penulis buku "Sosiologi dan Politik".
Lebih lanjut, pengajar di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Jakarta ini mengarisbawahi bahwa kekuasaan itu tidak selamanya negatif. Menurutnya, kekuasaan memiliki wajah ganda ibarat Dewa Janus.
"Kekuasaan tidak selamanya negatif. Ia (kekuasaan) berwajah ganda. Ibarat dewa Janus, satu sisi jahat dan satu sisi baik. Kekuasaan menjadi jahat kalau kekuasaan itu dipakai untuk kepentingan diri dan kelompoknya," katanya.
Kekuasaan, lanjutnya, menjadi jahat jika dipakai untuk kepentingan diri dan kelompok yakni ada upaya memperkaya diri sendiri dan kelompok. Akibatnya, kekuasaan itu cenderung represif, otoriter dan memiskinkan rakyat.
Sementara dilihat dari sisi positifnya, kekuasaan menjadi produktif karena mendatangkan kebahagiaan, kepuasan, menciptakan kenyamanan dan keamanan serta kesejahteraan bagi masyarakat.
"Jadi kalau pemilu tidak dapat menghasilkan orang yang mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan, kepuasan bagi masyarakatnya, sudah selayaknya tidak perlu dipilih lagi dalam pemilu, sekali pun ia menghamburkan uang untuk itu," tutup Philipus Ngorang.