INDONEWS.ID

  • Sabtu, 12/06/2021 12:01 WIB
  • Resensi Buku: Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Resensi Buku: Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah
Cover buku "Titik Nol Corona, Doni Monardo di Pusaran Wabah" karya Egy Massadiah

Jakarta, INDONEWS.ID - "Dari epicenstrum pandemi tak kuasa menahan topan wabah, kita berjuang bersama melawan amukan virus, musuh tak nyata yang melabrak sambil menunggu keajaiban, maka protokol kesehatan adalah benteng penjaga kita semua."

Demikian bunyi kutipan dalam buku karya Egy Massadiah berjudul "Titik Nol Corona: Doni Monardo di Pusaran Wabah". Kutipan itu sekaligus memberi signal seperti apa isi buku setebal  xxi + 406 halaman yang khusus memotret perjuangan dan kisah lapangan Letnan Jenderal Doni Monardo dalam memimpin perang melawan pandemi corona virus 2019 atau covid-19 yang menyerang Indonesia awal Maret 2020 lalu.

Buku yang diterbikan oleh PT Citra Jayakarta Nawa Astha bekerja dengan Yayasan Kita Jaga Alam itu secara emosional mengambarkan Doni Monardo sebagai tokoh penting dalam konteks kebencanaan, baik bencana alam maupun non-alam.

Dan saat pandemi covid-19 melanda, Doni Monardo berada di titik nol. Doni adalah titik pada ruang euklidean, titik sentral yang digunakan sebagai titik tetap acuan untuk geometri ruang sekitar. Kurang lebih demikianlah posisi Doni dalam perang melawan pandemi covid-19 yang nyata namun tak terlihat.

Sejak virus asal Wuhan, China ini menyerang Indonesia pada 2 Maret 2020, sebelas hari kemudian, tepatnya pada 13 Maret 2020, Presiden Jokowi meneken Kepres No.7 tahun 2020 tentang pembentukan Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Covid-19.

Kepres itu sekaligus menobatkan Letjen TNI Doni Monardo yang saat itu menjabat Kepala Badan Nasinal Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Ketua Gugus Tugas. Ibarat perang, Doni adalah panglimanya.

Darah prajurit yang mengalir dalam tubuhnya, meregang dan tertantang. Untuk perang yang menguras stamina, pikiran, sekaligus perasaan seperti ini dibutuhkan sosok yang mampu untuk tetap berpikir jernih.

Perang Panjang Melawan Pageblug

Dalam petikan kalimat pada pengantar buku ini oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP bahwa perang panjang dengan pageblug atau wabah ini memang membutuhkan pemimpin setangguh Jenderal Doni Monardo.

"Perang panjang dengan pageblug ini memang membutuhkan pemimpin setangguh Jenderal Doni. Selain stamina, ketahanan pikiran untuk tetap jernih dalam menangani masalah-masalah mendadak sangat diperlukan...” demikian tegas Menko PMK dalam pengantarnya.

Selain stamina, ketahanan pikiran untuk tetap jernih dalam menangani masalah-masalah mendadak sangat diperlukan. Tantangan pemerataan distribusi tenaga dan alat kesehatan, serta bantuan langsung bagi warga terdampak pandemi. Tantangan lain susul-menyusul, termasuk gugurnya para dokter dan tenaga kesehatan.

"Entah sudah berapa ratus jam kami duduk bersama dengan para menteri dan pemangku kepentingan lain. Mencari solusi seiring meluasnya Covid-19. Tak hanya di meja rapat, saya dan Jenderal Doni Monardo telah melakukan perjalanan ribuan kilometer untuk memastikan apa yang direncanakan terlaksana di lapangan," ungkap Menko Muhadjir.

Termasuk melaksanakan sosialisasi dan memberi bantuan di seluruh Indonesia. Semuanya memerlukan ikhtiar dan doa (seperti gambar sampul buku ini).

Memang pernah ada wabah flu burung dan SARS (sindrom pernafasan akut mirip covid-19 dalam kadar lebih ringan). Namun saat itu bisa ditangani dengan cepat karena tidak seganas merebaknya covid-19.

Menko PMK menyebut Jenderal Doni, sebagai Kepala BNPB, jelas sangat berpengalaman dalam memitigasi bencana. Namun dalam bencana non alam dari jasad renik ini, jelas merupakan tantangan baru.

Wabah global yang sebelumnya hanya diimajinasikan dalam novel dan film, kini benar-benar harus dihadapi dalam dunia nyata. Kegananasannya kasat mata, namun penyebabnya tak terlihat.

Membaca petikan kalimat-kalimat di atas, pembaca seketika mungkin berpikir bahwa "ini buku serius!" Benar. Ini buku serius, karena topiknya serius tentang pengendalian pandemi. Akan tetapi, yakinlah, Anda tidak perlu berkerut kening membacanya. Sebab, buku ini bukan risalah ilmiah, melainkan kumpulan berita kisah.

Buku ini terasa hangat karena terbit dalam situasi yang terus berkembang. Kisah dalam buku ini menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa Indonesia yakni berbagai pengalaman lapangan mengatasi pageblug (wabah) sejak 2020 lalu hingga menjelang diterapkannya vaksin covid-19.

Buku ini terasa lebih berwarna karena tidak semata bercerita tentang pandemi, tetapi juga pengalaman-pengalaman Doni selama menjadi tentara.

Buku setebal xxi + 406 halaman ini berisikan 44 judul utama, denngan 16 judul turunan, totalnya 60 tulisan. Semua diawali dari kisah awal seputar karantina ratusan WNI di Natuna, disusul karantina bagian ABK dua kapal pesiar: Diamond Princess dan World Dream.

Di luar persoalan Covid-19, penulis juga menyelipkan sejumlah judul human interest. Ada anekdot “Dokter Tugas" dan “Rompi Kebesaran". Ada kisah mengharu-biru moment ulang tahun bersama istri, anak, dan cucu. Tulisan ditutup dengan tulisan yang sangat sinspiratif: “Memuliakan Makna Berbagi".

 

Letnan Jenderal TNI, Doni Monardo (berjas) bersama Pemimpin Redaksi Indonews.id, Drs. Asri Hadi, MA (Foto: Ist) 

Kenangan Natuna Dua Jenderal

Letjen Doni dan Laksamana Yudo terlibat pembicaraan menyusuri jalan kenangan di awal bulan Februari 2020. Saat itu, keduanya terlibat kerjasama spartan dan solid melayani karantina 238 WNI asal Kota Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei, China.

Masih segar dalam ingatan Letjen Doni dan Laksamana Yudo bahwa menit, jam, dan hari-hari yang bergulir sejak pertemuan akhir Januari 2020 itu menjadi waktu yang berputar dengan torsi penuh. Sangat kencang, tetapi harus dijaga agar tetap presisi.

Sebagaiman diketahui, Natuna adalah tempat yang dipilih untuk mengarantina para WNI dari Wuhan. Namun rencana meleset karena Komplek Komposit Marinir yang menjadi markas prajurit serta gudang persenjataan itu batal digunakan.

“Mengapa menjadi kenangan tak terlupakan? Bayangkan, dalam waktu kurang dari dua hari, kami harus mengubah hangar menjadi lokasi karantina,” kisah Laksamana Yudo.

Laksana legenda penciptaan Candi Sewu oleh Bandung Bondowoso dalam waktu satu malam, begitulah penyiapan hangar menjadi lokasi karantina lengkap dengan berbagai fasilitasnya.

Tak hanya itu, pihaknya juga menyiapkan fasilitas hiburan seperti karaoke, sport center, dan lain-lain. Di samping itu, membuat run down kegiatan para penghuni karantina sehari-hari, selama l4 hari. Mulai dari olahraga pagi, kegiatan ibadah menurut keyakinan para penghuni karantina, penyediaan wiii dan sebagainya.

"Pendek kata, itu semua menjadi kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Saya berterima kasih kepada pak Doni yang telah melibatkan kami dalam tugas itu,” papar Yudo.

Jenderal Doni mengaku penanganan WNI dari Wuhan serta Anak Buah Kapal (ABK) dari Kapal Pesiar World Dream dan lain sebagainya merupakan satu kerjasama dengan militer terbaik yang pernah ia rasakan. Apalagi persoalan yang ditangani saat itu, bukan hanya persoalan teknis namun juga persoalan krusial seperti aksi demo.

Atas kerjasama dan kolaborasi terbaik dua jenderal itu yakni Jenderal Doni dengan Laksamana Yudo, hingga suatu hari di Natuna, Jenderal Doni Monardo berkata "orang ini (Yudo Margono-red), kerjanya sangat bagus. Suatu saat, beliau layak menjadi KASAL".

60 Hari Tak Pulang Rumah

Eggy Massadiah, sang penulis buku ini menyebut tulisan ini disusunnya persis tanggal 13 Mei 2020 memperingati dua bulan Doni Monardo duduk di kursi Komando Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Sebagai saksi mata, penulis menceritakan perjuangan Jendral Doni dalam pusaran wabah covid-19. Enam-puluh hari, ia lalui dengan tidur di kantor. Selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu ia dedikasikan segenap waktu, tenaga, dan pikiran untuk memerangi Covid-19.

Setiap hari pula, tak kurang delapan agenda kegiatan dikerjakan. Mulai dari rapat terbatas dengan presiden dan pejabat terkait, rapat internal, menerima para tamu, mengkoordinasikan program Gugus Tugas, tanda tangan urat dan, wow... membalas satu per satu pesan masuk di hapenya.

Itu artinya, praktis selama 60 hari sebagian besar waktu dihabiskan di kantor. Ia bekerja mulai jam berapa saja, dan selesai jam berapa saja. Dan jangan sekali-kali bertanya, “Sekarang hari apa?” Jangan. Sebab, itu pertanyaan khas milik Doni Monardo kepada orang-orang terdekatnya.

Lupa hari, bukan berarti lupa persoalan penting lain. Jika Anda kenal Doni Monardo, atau setidaknya kenal orang yang dekat dengan dia, tentu mahfum, bahwa Doni termasuk pemilik daya ingat di atas rata-rata. Ia dianugerahi daya ingat yang luar biasa (tapi bukan untuk mengingat-ingat sekarang hari apa).

Contoh, tentang jumlah atau angka. Kebanyakan staf akan lupa atau hanya menduga-duga. Tapi Doni bisa menyebut pasti, berapa jumlah (misal) APD dikirim ke Jawa Barat. Berapa luas lahan gambut yang terbakar tahun 2019. Berapa kilogram rendang yang dikirim dari Padang ke Palu untuk korban banjir, dan lainnya.

Selain itu, ia ingat tanggal berapa, bulan apa, dan di mana ia bertemu siapa dan membahas apa.

Begitulah, Doni Monardo selalu bekerja dan bekerja, dan hanya berhenti ketika terlelap di tempat tidur. Jam istirahat Doni selama 60 hari terakhir, antara tiga sampai empat jam sehari. Betapa tidak. Pukul 00.00 tengah malam, terkadang ia masih bekerja.

Bahkan pukul 01.00 ia masih bergumam, “Waduh... masih ada ratusan WA yang belum terbaca nih.”

Memasuki dan selama Ramadhan, kurang dari 4 jam kemudian dia sudah bangun untuk makan sahur. Nanti, selesai sholat shubuh ia lanjutkan memejamkan mata barang satu-dua jam lagi.

Strategi Taktis Sang Jenderal

Penulis juga mengungkap sebuah peristiwa yang memperlihatkan kemampuan taktis dan strategis sang jenderal Doni dalam rangka meredam meredam terjadinya kerumuman massa yang diakibatkan oleh kepulangan Mohammad Rizieq Shibab ke Indonesia.

Dalam satu kesempatan, sebelum Doni Monardo bertolak ke Yogyakana untuk meninjau korban erupsi Gunung Merapi, ada hal penting yang dilakukan Doni.

Hari itu, ia menelepon Gubemur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi. Kebetulan, Edy adalah teman satu angkatan di Akmil, sama-sama angkatan 1985.

Hari itu, Doni menelepon Edy bukan sebagai Kepala BNPB atau Ketua Satgas Penanganan Covid-19. Ia berbicara atas dasar merah putih. Atas dasar sama-sama prajurit yang lahir dari rahim rakyat Indonesia.

Untuk itu pula, ia meminta Gubemur Edy mengeluarkan statemen ke publik yang intinya melarang MRS masuk wilayah Sumatera Utara.

Ini tentu bukan persoalan sederhana. Pertama, MRS memang sudah punya rencana untuk terbang ke Medan dan berbicara di sana. Bisa dipastikan, jika itu lolos, akan kembali terjadi kerumunan massa.

Yang kedua, MRS selama ini dikenal relatif kenal baik dengan Gubemur Edy Rahmayadi. Karenanya, bukan tidak mungkin Edy akan membiarkan.

Atas pendekatan “merah putih” dan atas nama NKRI pula, Edy Rahmayadi menyanggupi sekaligus menyetujui saran Doni Monardo.

Keesokan harinya, Gubemur Edy Rachmayadi membuat pernyataan tegas akan membubarkan aksi kerumuman massa di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, kerumuman massa bakal mengganggu penanganan Covid-l9 di daerah itu.

“Saya selaku Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Sumut tidak akan pernah membiarkan terjadinya kerumunan massa di daerah ini. Jangan sampai terjadi kerumunan massa,” ujar Edy Rahmayadi, Minggu (22/11/20).

Mantan Pangkostrad ini mengatakan, Pemprov Sumut bersama dengan TNI dan Polri sedang bekerja keras untuk terus menekan angka penyebaran virus corona di tengah masyarakat. Penekanan dilakukan dengan operasi yustisi.

“Jadi jangan pernah melakukan kerumunan di tengah pandemi ini. Saya tidak akan mengizinkan adanya keramaian. Saya minta kepada pemerintah kabupaten/kota di Sumut, juga harus bersikap tegas, melarang adanya kerumunan di tengah pandemi,” katanya.

Legalah hati Doni Monardo. Kepada para tokoh agama, tokoh masyarakat, Doni kembali menyerukan agar menjadi teladan penerapan protokol kcsehatan.

“Covid-l9 ini nyata, bukan rekayasa. Korban sudah ribuan, termasuk para tenaga medis. Kita sudah delapan bulan bekerja keras mengendalikan penyebarannya. Tolong jangan merusak hasil kerja keras kami selama ini,” tandas Doni.

Dalam penegakan disiplin masyarakat menerapkan protokol kesehatan, sekali lagi Doni menekankan “prinsip non-diskriminasi”.

Bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.

 

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar
Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin
Bupati Tanah Datar berikan aspresiasi Loka Karya dan Panen Karya Guru Penggerak
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas