INDONEWS.ID

  • Senin, 16/01/2023 12:27 WIB
  • Ratusan Tokoh Lintas Zaman Hadiri HUT Indemo dan Malari di TIM

  • Oleh :
    • Rikard Djegadut
Ratusan Tokoh Lintas Zaman Hadiri HUT Indemo dan Malari di TIM
Pemimpin Redaksi Indonews.id Drs. Asri Hadi, Msc (Kemeja Putih) bersama aktivist reformasi Hariman Siregar (Kedua dari kiri) dan aktivist reformasi lainnya

Jakarta, INDONEWS.ID - Ratusan tokoh nasional lintas zaman memadati Arena Teater Wahyu Sihombing Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 16 Januari 2022. Kehadiran para tokoh tersebut dalam rangka memperingati peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 yang ke-49 tahun dan peringatan 23 tahun Indonesian Democracy Monitor (Indemo). Adapun temanya adalah "Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi".

Peristiwa Malari adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14–17 Januari 1974).

Baca juga : Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD

Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil untuk menerobos masuk pangkalan udara.

Pada 17 Januari 1974 pukul delapan pagi, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Baca juga : Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974 disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang menyebabkan Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan langsung mengambil alih jabatan itu.

Baca juga : Raih Juara Dua "SPM Awards 2024", Pj Bupati Karanganyar: Tujuan Kami Bukan Penghargaan, Ini Hanya Bonus

Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala BIN, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Hariman Siregar: Aktivist Lintas Zaman

Pantaun media ini di lokasi, tampak hadir di antara rantusan tokoh nasional tersebut adalah Pemred Indonews.id Asri Hadi dan aktivist reformasi dr. Hariman Siregar.

Dr. Hariman Siregar lahir 1 Mei 1950 merupakan seorang aktivis reformasi Indonesia. Ia juga merupakan pendiri dan Direktur Indonesian Democracy Monitor (Indemo).

Bersama tokoh mahasiswa lainnya, seperti Syahrir, Muhammad Aini Chalid, Judilherry Justam, dan lainnya, Hariman merupakan tokoh utama peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.

Sebelum peristiwa bersejarah tersebut, ia merupakan Ketua Dewan Mahasiswa (DM) Universitas Indonesia (UI) setelah terpilih melalui pemilihan yang diintervensi pemerintahan Orde Baru melalui Ali Murtopo.

Karena peristiwa Malari, Hariman bersama beberapa tokoh mahasiswa lainnya itu kemudian dipenjara oleh rezim penguasa masa itu.

Hariman Siregar Laksana Legenda Hidup

Apa, siapa dan bagaimana peran Hariman Siregar pada peristiwa Malari? Apa saja pikiran-pikirannya tentang demokrasi dan demokratisasi di Indonesia? Apa saja langkah-langkahnya dalam menegakkan demokrasi? Mari kita ulas jejak rekam dan sejarah perjuangannya.

Hariman lahir di Padangsidempuan, Sumatera Utara, 1 Mei 1950. Hariman merupakan putera ke empat dari pasangan Kalisati Siregar dan ibunya yang bermarga Hutagalung.

Sejak SD sampai Kuliah ia selesaikan di Jakarta. Putera pensiunan pegawai Departemen Perdagangan ini pada tahun 1973 terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DEMA UI), di saat aksi di berbagai kampus meningkat.

Pada tahun 1973, tercatat pula kegiatan demonstrasi memprotes kebijakan Orde Baru, yang dilakukan oleh salah satu tokoh mahasiswa, bernama Arif Budiman, dan kawan-kawan, dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Pembangunan ini menurut kelompok Arif Budiman tidak sesuai dengan situasi di Indonesia. Bagi mereka ini hanya proyek ambisius belaka. Gerakan mahasiswa yang dilancarkan Sejak Agustus 1973 tak lain untuk mengkritik strategi pembangunan yang sudah menyimpang dengan “cita-cita Orde Baru.”

Sekitar pertengahan 1973, bisa dikatakan pula sebagai tumbuhnya berbagai diskusi dan kelompok diskusi yang mengkritik strategi pembangunan pemerintah (Orde Baru), yang dianggap lebih banyak mengurusi angka pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan sosial.

Suatu Kebijakan pembangunan yang dianggap tidak populis dan hanya menguntungkan orang kaya/konglomerat saat itu. Suatu kritik yang memang sedang populer kala itu. Ekonom kondang Mahbubul Haq, asal Pakistan, yang memuji konsep pemerataan di RRC, bahkan menjadi buah bibir para mahasiswa dan ekonom di Indonesia.

Pada 24 Oktober 1973, di kampus Salemba ada lagi diskusi yang menghadirkan tokoh dari berbagai angkatan. Ada bekas Wali Kota Jakarta Sudiro, ada Menlu Adam Malik, tokoh pers B.M. Diah, tokoh ’66 Cosmas Batubara, sampai Ketua DMUI Hariman Siregar. Hasil diskusi inilah yang kemudian dibacakan di TMP Kalibata, lalu dikenal sebagai Petisi 24 Oktober.

Antara 1972–1973, Hariman Siregar sering mengikuti kegiatan mahasiswa seperti seminar dan kongres di dalam maupun di luar negeri. Sejak 1972, Hariman sudah diangkat sebagai Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) lewat kongres di Makassar.

IMKI pada waktu itu adalah organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Golkar. Lewat jalur IMKI inilah Hubungan Hariman dengan Ali Moertopo terjalin. Dia juga sering tampil di berbagai forum yang dikunjungi Ali Moertopo.

“Saya diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan,” kata Hariman, yang pernah memimpin Persija Selatan dan pernah menjabat sebagai Dokter Puskesmas. Tapi riwayat hubungan Hariman dengan Ali Moertopo tak berlangsung lama.

Ketika terpilih sebagai Ketua Dema, ia menolak permintaan agar Dema UI tak menyerang lagi soal strategi pembangunan yang merupakan produk Bappenas. Namun, Ada kelompok aktivis yang justru meminta Bappenas sebagai sasaran gerakan.

“Menjelang Oktober, sudah begitu banyak gerakan di luar. Saya pikir, saya harus konsolidasi dulu ke dalam kampus. Saya buat diskusi-diskusi,” ujar Hariman, yang saat itu baru berusia 23 tahun.

Dengan dukungan konsep GDUI, Hariman berangkat ke berbagai kampus untuk menggalang massa. Akhirnya, Dema UI membuat kesepakatan dengan 10 kampus untuk bertemu Presiden Soeharto pada 26 Desember 1973. Mereka ingin menanyakan tentang strategi pembangunan RI yang dianggap timpang itu.

Lusanya, Presiden ternyata bersedia menerima pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Di luar dugaan, dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Mensesneg Sudharmono, terlontar beberapa pertanyaan yang kasar dan menuding-nuding. “Saya jadi bingung,” kata Hariman.

Pak Harto, yang ketika itu tampak kalem, menutup pertemuan singkat itu dengan menyerahkan Buku RAPBN kepada mahasiswa. Tak berhenti sampai di situ, para mahasiswa pun ingin menyambut rencana kunjungan PM Tanaka dengan demonstrasi besar. Sebenarnya, ketika itu tuntutan DEMA UI untuk berdialog dengan PM Tanaka sudah diterima, dan dijadwalkan pada 15 Januari.

Tapi, “Saya ditekan teman-teman dari seluruh Indonesia itu. Kalau datang, berarti pengkhianat. Akhirnya, dialog diganti demonstrasi jalanan,” cerita Hariman. Dia mengaku sangat bingung menerima desakan ini. “Saya stres,” kata Hariman. Pada pagi 15 Januari itu, dia sampai membuka bajunya yang dibasahi keringat. Dan, meledaklah malapetaka itu.

Demokrasi Dalam Pandangan Hariman Siregar

Bagi Hariman, demokrasi adalah bagaimana membangun partisipasi yang lebih luas dengan meruntuhkan oligarki dan feodalisme yang telah menginfiltrasi partai-partai politik sebagai instrumen pelanggeng kekuasaannya.

Menurutnya, demokrasi jangan hanya sekedar prosedural seperti pemilu lima tahunan. Dengan kata lain, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi harus substansial. Dengan demikian, demokrasi memiliki dua tujuan. Pertama, menggerakkan partisiapasi yang lebih luas kepada rakyat untuk terlibat aktif dalam urusan bersama (publik).

Bukan saja berpartisipasi untuk memilih pemimpin, melainkan juga berpartisipasi untuk dipilih menjadi calon pemimpin. Kedua, adalah bagaimana memecahkan persoalan bersama (publik), termasuk suksesi kepemimpinan tanpa kekerasan.

Beragam kepentingan yang ada dirembugkan, sejak rembug di tingkat kampung hingga ke level yang lebih tinggi. Jika rembugkan itu gagal mencapai konsensus baru dilakukan pemungutan suara. Lebih jauh lagi, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi kita adalah musyawarah mufakat.

Gerakan Cabut Mandat SBY-JK

Pada 15 Januari 2007, tokoh peristiwa Malari 1974, Hariman Siregar menggalang massa turun ke jalan. Aksi yang bertajuk "Pawai Rakyat Cabut Mandat" ini merupakan simbol ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah.

Aksi tersebut diikuti sejumlah tokoh yang tergabung dalam Indonesian Democracy Monitor (Indemo) (organisasi yang ia dirikan bersama kawan-kawannya) serta 52 elemen antara lain aktivis tahun 1974, aktivis mahasiswa, buruh, nelayan, etnis Tionghoa. 124 Mobil pick up ikut dalam pawai tersebut.

Hariman Siregar dalam jumpa pers di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat, (12/1/2007), mengatakan, “Kita sengaja gelar dialog jalanan karena kami tetap memegang tradisi bahwa kalau saluran resmi kita anggap tidak berfungsi, masyarakat harus berani menyatakan keinginannya.”

Menurutnya, pemerintah tidak bisa menjalankan mandat yang diberikan rakyat. “Kita merasa tidak puas dan kecewa. Maka mandat itu harus dicabut,” tegas dia.

Sang Legenda Hidup yang Menyempal

Sebagai tokoh aktivis yang sangat terkenal dan disegani baik oleh kalangan aktivis pergerakan maupun di kalangan penguasa, di masa lalu maupun masa sekarang, Hariman tidak cepat bangga hati.

Apalagi sampai lupa diri dan melupakan perjuangannya di kala banyak aktivis mulai surut semangat perlawanannya, ketika perjuangan dianggap usai.

Ketika godaan kekuaasaan menyeringai mereka, lalu masuk ke dalam labirin lingkaran sistem kekuasaan, maka tokoh aktivis satu ini tidak tergoda. Ia tetap mimilih konsisten menegakkan demokrasi yang ”terbajak” itu. Meski harus berjuang di luar kekuasaan.

Meski usianya sudah tidak lagi muda, namun semangatnya tetap membara dan menyala. Gerakan Cabut Mandat adalah salah satu buktinya. Ketika orang-orang seusianya sudah banyak yang duduk di kursi pemerintahan baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, Hariman masih terus saja berjuang.

Pilihannya berjuang meski tanpa harus masuk lingkaran sistem kekuasaan. Itu dilakukan bukan karena ia tidak pantas duduk di situ. Sebab, ia sempat mendapat tawaran untuk duduk di lingkaran kekuasaan.

Banyak tawaran untuk masuk ke situ, mulai dari posisi menteri sampai menjadi orang yang bebas ”mondar-mandir” istana tanpa harus disulitkan urusan protokoler. Namun, ia menolaknya.*

Artikel Terkait
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional
Raih Juara Dua "SPM Awards 2024", Pj Bupati Karanganyar: Tujuan Kami Bukan Penghargaan, Ini Hanya Bonus
Artikel Terkini
KI Pusat Mantapkan Sinergi dengan Media dalam Mengawal Informasi Publik
Direktur GKI Beri Materi Kewirausahaan untuk Pelajar SMKS Bina Mandiri Labuan Bajo
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas