INDONEWS.ID

  • Rabu, 15/02/2023 22:16 WIB
  • Dr. Iur. Liona Nanang Supriatna: Hukuman Mati Nir Keadilan

  • Oleh :
    • very
Dr. Iur. Liona Nanang Supriatna: Hukuman Mati Nir Keadilan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.IDDekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., mengatakan secara juridis formal, pidana mati (dood straf) yang diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada tanggal 1 Januari 1918 merupakan peninggalan penjajahan Hindia Belanda.

Pemberlakuan pidana mati di Indonesia tersebut berdasarkan asas Konkordasi yang ternyata tidak konsisten dengan KUHPidana Belanda. Pasalnya, katanya, Pemerintah Hindia Belanda memanipulasi hukuman mati, karena sejak tahun 1870 hukuman mati untuk masyarakat sipil ternyata telah dihapuskan dan bagi kalangan militer baru pada tahun 1983.

Baca juga : Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani

Alumni Fachbereich Rechtswissenschaft der Justus Liebig Universität Gießen, Jerman, itu mengatakan, hukuman mati tetap diberlakukan di Hindia Belanda oleh penjajah. Tujuan utamanya adalah sebagai dasar hukum untuk menghukum mati para pejuang Indonesia yang menentang penjajahan Belanda.

“Hukuman mati nir keadilan,” ujar alumni Lemhannas RI Angkatan 58 itu menanggapi vonis mati terhadap kasus-kasus pembunuhan berencana, teroris, narkoba atau korupsi dan terakhir vonis terhadap Ferdy Sambo.

Baca juga : Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting

Menurut President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) itu, dalam masyarakat yang modern serta dalam berbagai literatur terkini bahkan dalam KUHPidana baru  pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok.

Dalam KUHPidana baru tujuan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana tidak lagi semata-mata untuk balas dendam terhadap kejahatan apa yang dilakukan, melainkan mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.

Baca juga : Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah

Selain itu, katanya, untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, serta pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Karena itu, jika terpidana dihukum mati maka tujuan-tujuan pemidanaan di atas tidak akan pernah tercapai.

Karena itu, pertama, pidana mati akan menimbulkan persoalan tersendiri jika ditinjau dari UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28 I ayat 1. Pasal itu menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun.

Kedua, UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 secara tegas menyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Dewan Penasihat DPP ISKA dan Lawyers Social Indonesia (Lysoi) mengatakan, dalam konteks hak asasi manusia, kedua pasal di atas termasuk pada Non-derogable rights (hak yang tidak bisa dikesampingkan atau ditawar lagi) yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata dan atau dalam keadaan darurat.

Ketiga, kata Liona, UU No. 2 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang mengatakan, hukuman mati mengakibatkan tujuan dan fungsi dari pemasyarakatan tidak berguna. Sementara itu pemasyarakatan bertujan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. ***

Artikel Terkait
Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Gagasan Menyatukan Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta Eksperimen yang Baik dan Berani
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas