INDONEWS.ID

  • Jum'at, 24/02/2023 13:35 WIB
  • Teori Politik Identitas

  • Oleh :
    • luska
Teori Politik Identitas

Penulis : Putut Trihusodo

Agnes Heller, Anies Baswedan dan Ridlo Ramdani

Part 1

Politik identitas  bukan  barang baru di Indonesia. Dalam katagori generik, yang tak mengarah pada kondisi yang kelewatan puritan dan  eksklusif, politik identitas itu bahkan  telah muncul sejak era Pergerakan Kemerdekaan Indonesia lebih dari 100 tahun lalu. Budi Utomo, Syarikat Islam, Jong Java, Jong Sumatera,dan sejenisnya adalah sekedar contoh dari gerakan politik identitas utk terminologi saat itu.

Seiring dengan menguatnya gelegak semangat kemerdekaan, muncul momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kalangan pemuda mulai menanggalkan semangat politik identitasnya dan mereka memilih gerakan nasionalisme kebangsaan dengan nilai-nilai universalisme.  Pada era itu pun lahir partai-partai yang tak lagi menyandang identitas daerah atau etnis. Lahir PSII, PNI, PKI dan sejumlah lainnya.

Politik identitas ini melahirkan bencana kemanusiaan terbesar di sepanjang peradaban manusia : Perang Dunia II. identitas Nazisme Jerman, Fasisme - RasismeJepang dan  Italia mengumbar nafsu untuk berkuasa dan menguasai dunia. Perang besar terjadi, jutaan jiwa menjadi korban, dan kerusakan dahsyat melanda Eropa.

Untung, setelah perang besar 4 tahun, Jerman, Italia dan Jepang keok. Fasisme dan fasisme yang berbasis pandangan rasis hancur. Sistem demokrasi berjaya dan naik daun. Nilai-nilai universilitas dan tatanan politik yang menjunjung tinggi kebebasan individu, kelompok, HAM dan menjamin kehidupan nondiskriminatif, mendapat tempat dimana-mana Pasca Perang Dunia II. Persamaan hak dan melindungi kelompok minoritas menjadi nilai-nilai baru.

Namun, politik identitas tak pernah menghilang. Indonesia sebagai republik muda di tahun 1950-an turut dalam gelagak demokrasi universal. Kebebasan terentang lebar di bumi Indonesia, situasi yang memungkinkan tumbuh kembangnya politik identitas, selain ideologi ektrim yang punya rekan jejak hitam dan berdarah-darah yakni komunisme.

Jejak panjang kekuasaan orde baru berhasil menumpas habis dan mengubur komunisme , seraya terus meredam politik identitas, baik politik identitas yang berdasarkan agama maupun etnisitas. Namun, era reformasi kembali meniupkan kebebasan politik aliran. Hukum menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.

Batasannya hanya pada soal tindak pidana yang timbul dari segala aktivitas politik, utamanya yang berbau kekerasan dan pengrusakan. Namun, sejauh ini agitasi-agitasi yang melecehkan,  menfitnah, memutarbalikkan sejarah, hoax, manipulatif dan umbaran prasangka, nyaris tidak membuat akibat hukum. Serba bebas, sekalipun agitasi dan orasi-orasi itu membelah masyarakat dan menciptakan situasi kebencian serta kesalahfahaman.

Gelombang politik identitas itu muncul  secara masif di tengah Pilkada DKI 2016/2017. Muncul sebagai kuda hitam dalam Pilkada, Anies Baswedan mengawalinya dengan hasil survei elektabilitas terendah di antara tiga kandidat yang ada. Maka, Anies segera membuka aliansi ke kelompok FPI dan kelompok Islam intoleran yang lain. Hasilnya, dukungan membeludak, setelah melakukan mobilitas yang tentu disulut oleh isu-isu agama. Anies menang.

Dalam beberapa kesempatan, Sandiaga Uno, pasangan Anies di Pilkada DKI, mengisyaratkan rasa penyesalannya atas peristiwa politik yang memprihatinkan dalam Pilkada DKI itu. Anies tidak. Bahkan, ia seperti bangga dan tak mau mengakui sepak terjangnya memantik letupan politik identitas.

Bukan hanya itu, dalam rangka pencalonannya sebagai Presiden 2024, dslam sebuah wawancara ia mengisyaratkan tak keberatan dengan kebangkitan FPI dan HTI. Ia siap kembali menunggang arus identitas keagaaan itu untuk kemasyhuran dirinya. Dia seperti tak keberatan tata cara hidup bangsa ini dirombak total, kalau perlu dengan persekusi dan kekerasan, demi mengikuti tatanan hidup padang pasir yang mungkin dianggapnya lebih mulia dan luhur. Anies Baswedan itu berbahaya.

Sialnya, kini jargon politik iidentitas juga diglorifikasi oleh Ridlo Rahmadi dan metuanya yakni Amien Rais, dua tokoh Partai Ummat. Belum jelas haluan apa yang akan diambil dari pandangan politik identitas keisalamnnya. Namun, apakah konsep yang diajukan sejalan dengan demokrasi dan konstitusi yang  berlaku? Isu ini perlu diperjelas.

Secara umum, Agnes Hellner (1929-2019), pemikir berdarah Hungaria yang menjalani separuh hidupnya di Australia dan Amerika Seikat, mengemukakan gagasan yang berpengaruh secara luas tentang teori  politk identitas. Agnes Hellner itu menyatakan bahwa politik identitas itu gerakan politik yang fokus perhatiannya pada unsur-unsur  perbedaan dan menempatkannya sebagai  katagori utama.

Ada pun unsur perbedaan itu dibangun berasaskan pada karakter biologis (ragawi) seperti warna kulit, ras, suku, dan agama. Dalam hal ini adalah dipandang sebagai faktor bawaan, dan memang pada kenyataannya demikian. Titik pandang berpangkal dari sana. Contoh soal, kalau ada sekelompok warga tertinggal maka dilihatlah dari isu ras, etnik, agama, asosiasi budaya dan sejenisnya. Fator sosial yang lain nomor dua. Tak heran bila politik identitas ini juga disebut sebagai biopolitik

Bahwa, politik identitas itu biasa mengiringi gerakan yang berbasis ras (etnik), agama atau gender, pembawaannya memang demikian. Menurut Hellner, ia  muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikularnya (yang paling khas dan dianggap utama),  dalam  bentuk  relasi  identitas primordial, etnik dan agama. Politik identitas bergerak melalui simpul-simpul primordial. Unsur-unsur primordialistik adalah penggerak dari  politik identitas.

Pada awalnya, pengertian politik identitas itu dianggap netral. Gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjatah pun sempat digolongkan sebagai politik identitas. Gerakan perlawanan atas politik apartheid juga digolongkan sebagai politik identitas. Keduanya berjuang untuk mencapai kesetaraan hak, kesetaraan hukum dan menghapus segala bentuk, dan identitas sebagai bangsa berjajah menjadi pijakan gerakannya.

Jadi, apa yang salah dari politik identitas? Pertanyaan ini belakangaan sering dilontarkan oleh banyak pihak yang siap-siap mengusung politik identitas dalam Pemilu 2024. Mereka doyan bermain politik kekuasaan tapi malas belajar ilmu politik secara memadai. Gus Choi Nasdem pernah mengajukan pertanyaan konyol itu.

Dalam perjalanannya, politik identitas berkembang dalam jalur negatif. Pengarusutamaan perbedaan, yang berbasis ras atau agama (atau keduanya) selalu gagal menyiapkan platform politik yang kompatibel dengan sistem demokrasi yang sistem sosial yang terbuka. Politik identitas itu notorious.

Klaim keunggulan ras dan ajaran-ajaran yang secara absolut dianggap membawa kebenaran ilaiah dalam ekosistem politik identitas tak dibisa dinegosiasikan betapa pun tidak masuk akalnya. Politik identitas pun muncul sebagai varian fasis baru yang sebagian mengajak orang kembali ke peradaban lama, bahkan mundur lebih dari seribu tahun.  Pelaku politik identitas cenderung merasa sebagai pembawa kebenaran absolut, bahkan perintah Tuhan. Pantang ditentang.

Maka, gerakan politik identitas ini lebih identitik dengan gerakan kekerasan.  Bila politik identitas ini mengusung agama, maka jargon yang dikibarkan adalah purifikasi. Ajaran agama versi merekalah yang diklam paling benar di mata Tuhan dan karena mereka merasa punya hak mutlak unuk melaksanakan tanpa persetujuan pihak manapun. Manusia tak punya hak utk mengamandemennya.

Sejauh ini, tak ada success story tentang politik identitas. Di dunia moden yang serba terbuka itu hanya dipercaya oleh segelintir. Memasuki milenium baru 2000-an ini, politik identitas sempat bangkit (sebagian atas restu Amerika Serikat), seperti ISIS di Suriah danTaliban di Afganistan.

Thaliban pun kini punya perjanjian dengan AS bahwa mereka bisa bikin apa saja di Afganistan, tapi tidak menyerang kepentingan AS. Begitu hanya ISIS. Sebengis dan sebrutal apa pun ISS, ia tak menyerang kepentingan AS di Teluk. ISIS juga tidak menyerang kepentingan Israel.

Kalau pun Anies Baswedan dan Ridlo Ramdai Ummat berniat memainkan politik identitas, itu lebih banyak karena ereka ingin menggunakannya sebagai instrumen politik belaka. Dengan latar belakang pendidikan yang begitu baik, agak tidak masuk akal kedua tokoh ini bisa percaya dengan konsep politik identitan. Mereka tak percaya tapi butuh. Mereka harus tahu, politik identitas itu hama untuk tatanan demokrasi.

Sasaran politik identitas ini adalah kelompok-kelompok yang tidak puas dengan keadaan dan tidak cukup kritis untuk melihat situasi yang mereka hadapi. Kempok ini mudah dimanipulasi dengan kabar palsu, analisis bodong, data rekayasa dan sejenisnya. Mereka perlu dibawa ke alam realitas yang palsu yang bisa dimanfaatkan untuk mengamplifikasi ketidakpusaan, bahkan mengglorifikasi kebencian, dengan stigma-stigma kafir, asing-aseng, sekuler, komunis, fobia agama dan sejenisnya.

Demokrasi mengajak orang untuk bertindak atas dasar pikiran-pikiran kritis, nalar, terbuka dan obyektif. Masyarakat demokratis adalah masyarakat pintar dan bertanggung jawab. Sementara, masyarakat yang terbentuk oleh politik identita cenderung tertutup dan tak terbiasa berpikir kritis. Komunikasi mereka bergantung pada simpul2 primordialnya dan berjalan searah.

Lantas, apa salahnya dengan politik identitas spt ditanyakan Gus Choi.

Dia pastinya gagal paham, tak bisa bedakan mana politik odentitas dan mana identitas politik.

Identitas politik itu mau dgn label Partai Islam, Kristen, Budha atau Kejawen. Di Jerman, Belanda, dan bbrp lainnya, ada Partai Kristen Demokrasi. Tapi, mereka teyap berkiprah dalam domain demokrasi, seperti halnya partai2 berbasis massa Islam di Indonesia. P3, PKB, PAN, masih dalam koridor demokrasi itu.

Tapi, bila politik identitas jelas-jelas dia tak sejalan dgn demokrasi. Bahkan, dia beniat membangkrutkan demokrasi dan menggantikannya dgn tatana.n politik yg pastinya akan berdarah darah.

 
Next
Parts 2 : Politik Identitas dan Gerakan Populisme itu Bersaudara .

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Menkes Ungkap Penyebab Rendahnya Penurunan Angka Prevalensi Stunting
Bakar SDN Inpres Pogapa Intan Jaya, TPNPB-OPM: Merdeka Dulu Baru Sekolah
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas