INDONEWS.ID

  • Rabu, 06/12/2023 22:43 WIB
  • Komaruddin Hidayat: Di Ujung Pemerintahan Jokowi Pilar Negara dan Berbangsa Mengalami Defisit Kepercayaan Publik

  • Oleh :
    • very
Komaruddin Hidayat: Di Ujung Pemerintahan Jokowi Pilar Negara dan Berbangsa Mengalami Defisit Kepercayaan Publik
Prof Dr Komaruddin Hidayat dalam acara serial diskusi fatsoen politik bertajuk “Menuju Politik yang Beretika & Beradab di Indonesia” yang diselenggarakan oleh The Lead Institute Universitas Paramadina yang digelar secara daring, Selasa (5/12/2023). (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pemikir Islam dan Kebangsaan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, mengatakan bahwa Indonesia merupakan anak kandung masyarakat yang muncul dari keberagaman komunitas serta etnis yang merupakan modal perjuangan dan identitas kelompok.

Pada mulanya, katanya, komunitas dan etnis yang beragam itu berharap fatsoen politik akan terus dijaga dan dirawat setelah Indonesia merdeka.

Baca juga : Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar

“Tapi lama kelamaan, Indonesia justru menjadi Malin Kundang terhadap ibu kandungnya, civil society. Saat berada pada posisi negara modern godaannya semakin power full dan perlahan impian berubah,” ujarnya dalam acara serial diskusi fatsoen politik bertajuk “Menuju Politik yang Beretika & Beradab di Indonesia”  yang diselenggarakan oleh The Lead Institute Universitas Paramadina yang digelar secara daring, Selasa (5/12/2023).

Dia mengatakan, kelelahan, kemarahan, pembusukan, dan kekecewaan masyarakat menjadi ujung dari Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. State building dibangun sejak Soeharto, tapi di ujung kekuasaannya berantakan.

Baca juga : Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin

“Ini sudah menjadi siklus. Dulu (sejak periode pertama pemerintahan Jokowi-JK) state building dibangun dan berjalan dalam waktu 10 tahun, namun di ujung pemerintahan, pilar negara dan berbangsa justru defisit kepercayaan publik,” ujarnya.

Dr. M. Subhi Ibrahim, Ketua Program Magister Studi Islam memaparkan bahwa negara adalah sebuah entitas yang bisa bubar, ketika kesepakatan yang dibuat oleh rakyat tidak lagi memberikan mandat kepada negara.

Baca juga : Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta

“Pada akhirnya politik negara akan banyak menentukan bagaimana wajah negara ke depan. Semua juga tidak terlepas dari permainan politik. Ketika masuk pada permainan politik, ada sistem, aturan dan aktor. Problemnya adalah bagaimana bisa memberikan kartu merah bagi mereka yang melanggar aturan,” terangnya.

“Jadi dalam konteks nalar politik seperti di atas, maka penguasa yang ingin 3 periode mungkin adalah politikus yang punya pembenarannya sendiri. Namun ada pertanyaan, apakah kekuasaan itu tanpa batas? Di situlah kemudian arti pentingnya sebuah Demokrasi,” tegasnya.

Politisi muda Tsamara Amany memaparkan bahwa realitas demokrasi adalah soal hitungan siapa yang paling banyak merasa dan paling merasa setuju atau tidak setuju. Sehingga dalam pemilu kalau mau menang maka calon presiden harus bisa mengantongi 50 persen plus satu.

“Masalah utama dari segala lini baik di anak muda Gen Z, generasi milenial, generasi X, boomer semua masalahnya sama, yakni selalu tentang ekonomi. Apa yang menjadi aspirasi dan tujuan utama mereka dalam berdemokrasi; lapangan pekerjaan, harga sembako dan sebagainya,” bebernya.

“Saya yakin 10 tahun lagi kalau kita bicara angka konsern masyarakat apapun sistem pemerintahan yang diberikan adalah masalah ekonomi. Kalau politik tidak bisa memberikan output nyata, hanya berbasis ide saya yakin tidak ada satupun masyarakat yang mendukung,” lanjutnya.

Sementara itu, Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam kata sambutannya mengatakan bahwa demokrasi saat ini sudah menjadi brutal dan hukum rimba. Terjadi arus balik perpecahan di antara pendukung calon presiden menuju Pilpres 2024.

Terjadi konflik satu sama lain, misalnya dari yang sebelumnya mati-matian mendukung kekuasaan, sekarang menjadi berbalik.

Didik mengatakan bahwa fenomena relawan dalam Pilpres merupakan bagian dari sistem institusi rule of law.

“Namun selama 9 tahun relawan justru menjadi rayap demokrasi yang bernaung di bawah kekuasaan. Dia ada di bawah karpet yang dulu memuji-muji kekuasaan dan secara tidak langsung membungkam orang kritis, tapi sekarang menjadi oposisi. Rayap demokrasi adalah suatu bentuk penyimpangan yang membuat wajah pemimpin Indonesia seperti Putin (bercorak otoriter),” ujar Didik. ***

Artikel Terkait
Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar
Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Artikel Terkini
Kunjungi Sulsel, Menteri AHY Lari Pagi Bersama Komunitas Lari Makassar
Masuk Secara Ilegal, 4 Warga Timor Leste Diamankan di PLBN Motamasin
Bupati Tanah Datar berikan aspresiasi Loka Karya dan Panen Karya Guru Penggerak
Hari ini Pengurus FOKBI Gelar Silaturahmi Jelang Musda di Jakarta
Pemred indonews.id Hadiri Halal Bi Halal di Kediaman Laksamana Purn Ade Supandi
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas