INDONEWS.ID

  • Jum'at, 02/06/2017 11:25 WIB
  • Ini Usulan ICJR Terkait Masa Penangkapan dalam RUU Anti Terorisme

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Ini Usulan ICJR Terkait Masa Penangkapan dalam RUU Anti Terorisme
Masa Penangkapan teroris. (Foto: ilustrasi)
Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintah dan DPR kembali melanjutkan pembahasan RUU Anti Terorisme di Ruang Rapat Panja RUU Terorisme DPR, Rabu (31/5/2017) lalu. Pembahasan masih berkutat pada DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) terkait masa penangkapan yang diusulkan pemerintah di RUU Anti Terorisme. Dalam RUU yang disusun pemerintah, masa penangkapan diubah dari 7 hari menjadi 30 hari. Pantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan bahwa perdebatan dan pembahasan terkait masa penangakapan berjalan cukup alot. “Fraksi-fraksi di DPR mempertanyakan dan menganggap waktu 30 hari terlalu lama dan mengusulkan adanya perubahan berupa pengurangan masa penangkapan,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Kamis (1/6/2017). Supriyadi mengatakan, sejak awal ICJR sudah meminta DPR dan Pemerintah untuk mempertimbangkan ulang seluruh kondisi dan risiko yang ada akibat penambahan masa penangkapan tersebut. Ada beberapa catatan ICJR yang perlu diperhatikan terkait masa penangkapan di dalam RUU Anti Terorisme tersebut. Pertama, penangkapan bukanlah penahanan, sehingga esensi dan pemahamannya sangat berbeda. Merujuk pada pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa “pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa”. Artinya, masa penangkapan adalah waktu bagi tersangka dan terdakwa “sudah” berada dalam “pengekangan” atau disebut sudah berada bersama penyidik, untuk kemudian berdasarkan bukti permulaan yang cukup selama 1 hari (dalam KUHAP) atau 7 hari (dalam UU Terorisme) dilakukan langkah lain guna kepentingan penyedikan, seperti melanjutkan pada penahanan dan lain sebagainya. Masa penangkapan tidak dan bukan termasuk “proses” mengejar atau menangkap pelaku. Proses mengejar dan menangkap adalah dua hal berbeda dengan masa penangkapan yang diatur baik dalam KUHP atau UU Anti Terorisme. Supriyadi mengatakan, berdasarkan pemantauan ICJR, terdapat sedikit pergeseran pemahaman dan esensi dari penangkapan dalam pembahasan di DPR. Argumen dari Pemerintah terkait sulitnya akses penangkapan pelaku terorisme seakan-akan menyamakan masa penangkapan dengan proses mengejar dan menangkap. “Proses mengejar dan menangkap tidak dibatasi waktu dalam hukum acara, namun setelah tersangka atau terdakwa tertangkap, barulah masa penangkapan dihitung lalu dilanjutkan pada proses berikutnya,” ujarnya. Kedua, ICJR pada dasarnya mempersilakan Pemerintah dan DPR untuk mengevaluasi masa penangkapan dalam UU Terorisme. Namun, ICJR meminta agar rencana penambahan atau pengurangan masa penangkapan tersebut didasarkan pada kajian dan perhitungan yang dapat dibuktikan. Perlu dicatat bahwa masa 7 hari penangkapan yang ada dalam UU Terorisme saat ini juga merupakan penambahan dari masa penangkapan 1 hari dalam KUHAP. Ketika UU Terorisme pertama disusun, alasan dari pemerintah juga cenderung sama, yakni dibutuhkan waktu lebih dalam masa penangkapan terorisme karena kasus yang cukup sulit. Berdasarkan pemantauan ICJR, waktu 7 hari yang ada dalam UU Terorisme sudah cukup. Kesimpulan ini dapat dirujuk dari efektivitas penanganan kasus yang dilakukan dalam UU Terorisme. “Dalam catatan ICJR, belum ada tersangka atau terdakwa kasus terorisme yang tidak diputus bersalah, sehingga dalam kaca mata hukum acara, maka proses yang saat ini ada sudah efektif untuk melakukan pembuktian, termasuk masa penangkapan 7 hari yang sudah cukup lama,” ujar Supriyadi. Ketiga, penangkapan lama bisa berakibat fatal pada pelanggaran hak asasi manusia. Selama ini, masa penangkapan 7 hari berpotensi menimbulkan praktik penyiksaan dalam proses peradilan kasus terorisme.  Hal ini karena masa penangkapan yang melebihi waktu normal tersebut berpotensi bagi munculknya penahanan incommunicado atau penahanan/penempatan seseorang tanpa akses terhadap dunia luar. Kondisi tidak adanya akses ini membuka peluang besar adanya penyiksaan. ICJR menilai bahwa praktek penyiksaan justru  akan merusak profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum karena pencarian alat bukti atau pengungkapan kasus akan ditempuh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan prinsip hukum pidana dan hak asasi manusia. Atas dasar itu, ICJR meminta agar DPR dan Pemerintah kembali melihat esensi penangkapan, sehingga tidak menyamakan penangkapan dengan masa pengejaran atau proses untuk menangkap tersangka dan terdakwa. Dengan adanya pemahaman seperti ini maka perdebatan terkait penangkapan akan lebih mudah dilakukan dengan dasar yang sudah kuat. “Lebih dari itu, ICJR meminta agar Pemerintah dan DPR berhati-hati dalam menentukan masa penahanan. Keputusan untuk menambah masa penahanan dalam RUU Anti Terorisme harus dapat dibuktikan dan diuji, penambahan yang tidak memiliki dasar justru akan menambah persoalan lain nantinya,” ujar Supriyadi. (Very)
Artikel Terkait
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Artikel Terkini
Senyum Bahagia Rakyat, Pj Bupati Purwakarta Buka TMMD Ke-120 Kodim 0619/Purwakarta
Pemerintahan Baru Harus Lebih Tegas Menangani Kelompok Anti Pancasila
Apresiasi Farhan Rizky Romadon, Stafsus Kemenag: Kita Harus Menolak Tindak Kekerasan
Puspen Kemendagri Berharap Masyarakat Luas Paham Moderasi Beragama
KPKNL mulai Cium Aroma Busuk di Bank Indonesia
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas