Nasional

Desentralisasi, Dana Desa, Pemekaran Wilayah, dan Korupsi

Oleh : indonews - Senin, 04/12/2017 13:38 WIB

Paramita Nur Kurniati, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Paramita Nur Kurniati

PEMBANGUNAN daerah dan desa merupakan salah satu agenda utama pemerintahan Jokowi-JK sebagaimana yang tercantum dalam Nawa Cita ketiga yaitu ”Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Hal tersebut selaras dengan kebijakan yang sudah dijalankan oleh pemerintah terkait pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana sejak 1 Januari 2001 Indonesia resmi mengimplementasikan pola otonomi daerah dari sisi kewenangan serta sisi keuangan melalui desentralisasi fiskal. Sebelumnya pelaksanaan otonomi daerah diletakkan di level provinsi namun saat ini penyerahan wewenangan lebih dititikberatkan di level kabupaten/kota. Hal ini tentu saja dapat memperpendek rentang birokrasi.

Desentralisasi fiskal dimaksudkan sebagai salah satu kebijakan bagi pemerintah untuk menciptakan aspek kemandirian dalam memenuhi aspek penciptaan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Karenanya, seluruh fungsi kewenangan diserahkan kepada daerah, kecuali di 5 bidang kewenangan yakni keuangan dan moneter, pertahanan dan keamanan, sistem peradilan, keagamaan, dan politik luar negeri yang masih menjadi urusan Pemerintah Pusat.

Dana Desa merupakan salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Dana Desa yang bersumber dari APBN diprioritaskan untuk dapat mendanai pelaksanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pengalokasian belanja Transfer ke Daerah dan Desa terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam pengimplementasiannya. Kelemahan tersebut antara lain dalah hal sistem pengalokasian Dana Desa dan sistem pelaksanaan dan pengawasan penggunaan Dana Desa.

Sistem pengalokasian Dana Desa dihitung berdasarkan prinsip merata dan berkeadilan. Formulasi penghitungan kemudian diwujudkan dengan adanya pembagian berdasarkan  Alokasi Dasar (AD) sebesar 90 persen sebagai unsur pemerataan, dan pembagian berdasarkan formula (Alokasi Formula) yang diwujudkan dengan sebesar 10 persen dengan memperhatikan jumlah penduduk (bobot 25%), luas wilayah (bobot 10%), angka kemiskinan (bobot 35%), dan tingkat kesulitan geografis desa (bobot 30%) sebagai unsur keadilan.

Formulasi penghitungan di atas tentu akan menimbulkan potensi meledaknya pemekaran desa tanpa diiringi dengan peningkatan daya saing. Untuk penghitungan Dana Desa tahun 2017, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan penyempurnaan jumlah desa definitif dengan rincian: (1) desa yang diberikan kode sebanyak 215 desa, (2) perubahan status desa menjadi kelurahan sebanyak 8 desa, (3) perpindahan status kelurahan menjadi desa sebanyak 6 desa, dan (4) penghapusan desa sebanyak 13 desa. Perubahan jumlah desa secara bersih (neto) berdasarkan rincian tersebut, adalah terjadi penambahan desa sebanyak 200 desa. Dengan penambahan desa sebanyak 200 desa tersebut, maka jumlah desa yang menjadi basis penghitungan Dana Desa, meningkat dari semula sebanyak 74.754 desa pada tahun 2016 menjadi sebanyak 74.954 desa pada tahun 2017.

Dengan memakai dasar unsur pemerataan dan berkeadilan, kemudian desa-desa berlomba-lomba untuk memekarkan diri. Pemekaran desa yang tidak terkontrol mempunyai motif ekonomi ingin mendapatkan alokasi dana desa yang lebih besar. Terlebih dana desa diproyeksikan akan terus meningkat dari sebesar 5,6 persen terhadap PDB pada tahun 2020. Selain itu, perhitungan alokasi Dana Desa saat ini belum diperhitungkan variabel yang menunjukkan daya saing antardesa yang merupakan wujud dari sistem reward and punishment. Sistem ini jika bisa diterapkan tentunya akan memacu masing-masing desa untuk lebih kompetitif dengan berlomba-lomba menunjukkan kinerja dan potensinya.

 

Sistem Pelaksanaan dan Pengawasan Penggunaan Dana Desa

Hasil kajian “Tren Penanganan Kasus Korupsi tahun 2016” yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa fenomena korupsi di daerah kian meluas setelah pemerintah pusat mengimplementasikan alokasi dana desa. Besarnya alokasi Dana Desa yang digelontorkan ke desa-desa menimbulkan potensi dan kekhawatiran terjadinya penyelewengan penggunaan anggaran ini.

Selain Dana Desa dari APBN, sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2014, desa juga mempunyai 6 sumber pendapatan lainnya, yaitu: (i) Alokasi Dana Desa (ADD) yang besarnya 10 persen dari DAU dan DBH kabupaten/kota, (ii) 10 persen bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota (bagi hasil PDRD), (iii) bantuan dari APBD kabupaten/kota, (iv) bantuan dari APBD provinsi, (v) hibah dari pihak ketiga yang tidak mengikat, dan (vi) lain-lain pendapatan desa yang sah. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun 2016, rata-rata nasional setiap desanya sudah memperoleh pendapatan minimal Rp1 miliar yang bersumber dari tiga sumber pendapatan terbesar desa meliputi Dana Desa yang bersumber APBN, ADD, dan bagi hasil PDRD.

Pada tahun 2016, total dana desa yang digelontorkan sekitar Rp47 triliun. Namun dalam praktiknya, muncul fenomena elit lokal yang mengkooptasi anggaran untuk kepentingan pribadi, terutama elit lokal di tingkat desa. Terbukti selama tahun 2016, dana desa masuk dalam lima besar sektor yang rawan untuk dikorupsi. Ada sekitar 62 kasus korupsi di pemerintahan desa yang melibatkan 61 kepala desa dengan nilai kerugian negara sebesar Rp10,4 miliar. Salah satunya adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Pamekasan, Jawa Timur. Uang suap diberikan dari Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan Rudy Indra Prasetya. Suap itu diberikan agar Kejari Pamekasan tidak menindaklanjuti pelaporan sebuah LSM kepada Kejari Pamekasan terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan di Desa Dassok yang menggunakan dana desa senilai Rp 100 juta.

Atas kasus tersebut,  KPK menetapkan 5 tersangka, yaitu Bupati Pamekasan Achmad Syafii, Kepala Inspektorat Pamekasan Sutjipto Utomo, Kajari Pamekasan Rudy Indra Prasetya, Kepala Desa Dassok bernama Agus, dan Kabag Administrasi Inspektur Pamekasan Noer Solehhoddin. Agus diduga sebagai pemberi suap, sedangkan Sutjipto dan Noer diduga sebagai perantara suap. Adapun Rudy sebagai penerima suap. Sedangkan peran Achmad dalam kasus tersebut menganjurkan untuk memberikan suap. 

Meskipun nilai kerugian negara cenderung kecil dibandingkan anggaran yang diberikan oleh pemerintah, akan tetapi hal itu menjadi sinyal bahwa korupsi sudah semakin meluas hingga tingkat desa. Artinya, masalah korupsi yang selama ini kerap dipandang sebagai isu elitis, kini telah menjadi bagian dari realitas di masyarakat tingkat desa. Dengan anggaran yang cukup besar, dana desa rawan dimanipulasi oleh elit lokal. Ironisnya, praktik korupsi yang terjadi berlindung di balik konsep partisipasi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa alias Kades. Menurut peneliti ICW, Egi Primayogha, dari 139 aktor, 107 di antaranya merupakan kepala desa. Selain itu, pelaku korupsi lainnya adalah 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2 orang.

Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pada tahun 2016 telah mendapat laporan pengaduan masyarakat terkait dana desa sebanyak 932 pengaduan. Sebanyak 200 laporan di antaranya diserahkan kepada KPK, sedangkan 167 diserahkan kepada kepolisian, dan sisanya merupakan permasalahan administrasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 67 kasus yang mendapat vonis. Dana Desa dapat dijadikan “bahan bancakan” yang cukup besar.  Dana yang seharusnya dipakai untuk membangun desa dan pemberdayaan masyarakat menjadi tidak tepat sasaran karena dikorupsi oleh segelintir oknum.

Adanya kelemahan dalam penggunaan Dana Desa dalam  tiga tahun terakhir ini tentunya harus mendapatkan perhatian khusus. Pemerintah harus mencari cara agar penggunaan Dana Desa dapat dilakukan seoptimal mungkin agar tepat sasaran. Perbaikan sistem yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan mutlak diperlukan. Pemerintah harus mengkaji ulang formulasi perhitungan pembagian dana desa menurut alokasi dasar dan alokasi formula.

Kemendes PDTT harus cermat dalam menentukan status desa karena jumlah desa merupakan salah satu variabel dalam penentuan besaran dana yang diterima oleh masing-masing desa.

Dalam hal pemekaran desa, harus dibuat regulasi yang ketat dan tegas dalam ijin pemekarannya. Hal ini juga harus diiringi dengan indikator yang jelas dan terukur untuk menyaring penentuan status penetapan desa.

Dalam hal alokasi Dana Desa di Indonesia saat ini, pembagian dana ke desa belum memperhitungkan kinerja masing-masing Desa. Belum ada sistem seperti pemberian reward and punishment dalam sistem penggunaan Dana Desa. Pemerintah harus mempertimbangkan penghitungan semacam Indeks Daya Saing bagi antardesa agar memacu desa untuk lebih meningkatkan daya saing dan potensinya. Indeks ini nantinya bisa dimasukkan menjadi salah satu variabel penghitungan alokasi Dana Desa.

Agar meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam penggunaannya, alokasi Dana Desa dengan jumlah yang besar harus benar-benar dikawal mulai dari pengalokasian, penyaluran, perencanaan  dan penggunaan, serta pelaporannya. Dalam kajian tentang pengelolaan keuangan desa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengidentifikasi empat celah terkait penggunaan dana desa ini, yaitu: regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, serta kualitas dan integritas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengurus dana desa.

Dalam kerangka regulasi dan kelembagaan harus dibuatkan peraturan yang tegas dan jelas mengenai penggunaan Dana Desa, misalnya dalam hal Pengadaan Barang dan Jasa.

Hendaknya setiap regulasi yang dibuat dapat disosialisasikan dengan cara yang mudah dan sederhana untuk disampaikan kepada Perangkat Desa, misalnya dibuatkan dalam bentuk infografis atau videografis. Untuk perbaikan dalam hal tata laksana, hendaknya pemerintah mengatur sistem yang jelas tentang penggunaan Dana Desa. Hal ini bisa dilakukan dengan bentuk pembuatan Standard Operating Procedure (SOP)  dalam penggunaan Dana Desa.

Kegiatan pengawasan harus lebih ditingkatkan mengingat banyaknya aduan dari masyarakat serta kasus-kasus korupsi terkait Dana Desa. Satgas Dana Desa dan setiap elemen Perangkat Desa semestinya dapat menerapkan sistem check and balances dalam setiap penggunaan Dana Desa. Kegiatan pengawasan bukan hanya terbatas pada segi administasi dan realisasi penyerapan Dana Desa, namun lebih jauh dapat mengawasi kualitas pengelolaan Dana Desa.

Kegiatan monitoring dan evaluasi berkala juga diperlukan agar setiap dana yang keluar dapat dipantau secara baik dan laporan kegiatan ini dapat menjadi dasar penyempurnaan kebijakan dan perbaikan pengelolaan Dana Desa.

Masyarakat memiliki peranan yang penting dalam memajukan kesejahteraan daerahnya masing-masing. Masyarakat desa juga harus berpartisipasi dalam mengawal penggunaan Dana Desa. Masyarakat juga harus menyadari bahwa Dana Desa adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

*) Paramita Nur Kurniati, mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

Artikel Terkait