Bisnis

Setara: Penegakan Hukum Kasus Saracen Tidak Serius

Oleh : very - Senin, 09/04/2018 18:08 WIB

Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute. (Foto: Media Indonesia)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau menjatuhkan vonis sangat ringan kepada Bos Saracen, Jasriadi, dengan pidana 10 bulan penjara. Ketua sindikat penyebar berita palsu dan ujaran kebencian itu, menurut Majelis Hakim, hanya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana dengan sengaja dan tanpa hak mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang lain.

Sedangkan dakwaan ujaran kebencian menurut Hakim tidak terbukti. Vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 2 tahun penjara.

“Dalam peradilan perkara lainnya yang juga berkaitan dengan sindikat Saracen, yaitu dengan terdakwa Asma Dewi—yang dinyatakan kepolisian melakukan transfer Rp 75 juta dan mengalir ke Bendahara Saracen, pengadilan juga menjatuhkan vonis sangat ringan, yaitu 5 bulan 15 hari,” ujar Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institute.

Dari empat pasal alternatif yang didakwakan yaitu 1) Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), 2) Pasal 16 juncto Pasal 40 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, 3) pasal 156 KUHP, dan 4) pasal 207 KUHP, Asma Dewi hanya divonis berdasarkan dakwaan melanggar pasal 207 KUHP mengenai penghinaan pada penguasa atau badan hukum. 

Rendahnya vonis pada kedua kasus tersebut, kata Bonar, mengindikasikan buruknya kinerja penegakan hukum oleh kepolisian, antara lain karena gagalnya korp Tri Brata mengungkap auktor intelektualis di balik jaringan Saracen serta kelompok dan individu-individu pengguna jasa produksi berita palsu dan ujaran kebencian Saracen.

“Selain itu, kinerja kejaksaan dalam persidangan dua kasus di atas juga dapat dibilang buruk,” ujarnya.

Penggunaan dakwaan alternatif yang terlalu banyak—bahkan dalam kasus Sri Rahayu memasukkan pasal 207 KUHP yang secara substantif merupakan delik aduan—mengindikasikan keraguan dan hal ini dipengaruhi oleh kegagalan jaksa dalam mengoptimalkan proses pembuktian di persidangan.

SETARA Institute merekomendasikan beberapa langkah strategis berikut terkait vonis di atas.

Pertama, Jaksa Penuntut Umum dalam perkara aquo hendaknya menyatakan banding dan menyusun memori banding dengan argumentasi yuridis dan faktual yang kokoh untuk mematahkan argumentasi dan keyakinan hakim di balik putusan ringan dimaksud.

Kedua, kepada masyarakat hukum, terutama yang berbasis perguruan tinggi dan masyarakat sipil pemantau peradilan, agar melakukan eksaminasi publik atas putusan hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang mengadili perkara dimaksud.

Ketiga, Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia hendaknya melakukan penyelidikan atas kemungkinan adanya pelanggaran kode etik dan perilaku hakim di balik ringannya putusan tersebut. Langkah KY dan masyarakat hukum tersebut dibutuhkan untuk ikut menguji due process of law dalam perkara dimaksud.

“Selain itu, belajar dari penanganan perkara Saracen yang pada awalnya bombastis namun akhirnya divonis ringan, pihak kepolisian yang menangani kasus The MCA Family hendaknya melipatgandakan keseriusan dalam membongkar jaringan produsen hoaks dan ujaran kebencian berbasis sentimen SARA yang berpotensi merusak kohesi sosial kebinekaan Indonesia,” ujarnya.

Demikian halnya kejaksaan dan majelis hakim yang nantinya akan menangani kasus MCA hendaknya merefleksikan keseriusan negara dalam penegakan hukum terhadap dua kelompok kejahatan dunia maya yang mengancam keamanan negara tersebut.

“Hingga saat ini, melihat vonis yang dijatuhkan dalam perkara Saracen dan mencermati perkembangan kinerja kepolisian dalam membongkar sindikat MCA beserta para auktor intelektualis dan sponsornya, SETARA Institute memandang bahwa penegakan hukum yang dilakukan negara dalam isu ini jauh dari optimal,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait