Nasional

Implementasi, Titik Krusial Pelaksanaan HAM

Oleh : indonews - Selasa, 22/05/2018 18:46 WIB

Romo Dr. Andang L. Binawan SJ, dosen filsafat dan Hukum Gereja pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Sikap Gereja Katolik terhadap hak asasi manusia (HAM) sudah amat jelas dan pasti. Gereja  memandang prinsip-prinsip HAM sesuai dengan ajaran iman Katolik sebagaimana  terkandung  di dalam Kitab Suci, bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”, Imago Dei. Dengan akal budinya, manusia adalah tuan atas segala sesuatu yang diciptakan Allah. Tugas manusia selanjutnya adalah menjaga, merawat, dan mengembangkan ciptaan Allah  guna memenuhi kebutuhannya secara sungguh manusiawi.

Demikian diungkapkan Romo Dr. Andang L. Binawan SJ, dosen filsafat dan Hukum Gereja pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, di ISKA Center, Jakarta, Jumat pekan lalu. Pastor, yang  juga Vicaris Epicopalis (Vikep) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ)  itu, berbicara sebagai narasumber tunggal pada diskusi bertajuk “HAM dan Ajaran Sosial Gereja”  yang diselenggarakan Presidium Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Katolik (DPP ISKA). Diskusi tersebut dimoderatori  oleh Prasetyo Nurhardjanto dan dihadiri oleh lebih dari 50 peserta yang datang dari berbagai komunitas Katolik di Jakarta dan sekitarnya.

“HAM itu sesuatu yang sudah pasti dalam pandangan Gereja Katolik. Hanya saja, penerapannya masih terkendala kondisi-kondisi sosial kemasyarakatan dan situasi sosial-politik  kenegaraan,” kata Dr. Andang Binawan SJ.

Romo Andang  mengakui, sejak dicetuskannya Universal Declaration of  Human Right (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Sedunia) pada 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, hampir semua negara di dunia menerima itu sebagai sebuah fakta yang tak terelakkan. Sampai sekarang HAM masih dihormati, dilindungi dan ditegakkan di dunia internasional. Kesadaran akan pentingnya HAM pun disuarakan di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia.

Bahkan di Indonesia, tandas Romo Andang menambahkan, perkembangan HAM sudah sangat majunya. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari lahirnya 13 undang-undang nasional yang dengan jelas memuat segi-segi penghormatan dan perlindungan terhadap HAM: soal hak-hak dan perlindungan bagi pekerja, masalah gender (perempuan), kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan menjalankan agama, dan lain-lainnya.

“Namun, HAM bukan sekadar soal kesadaran akan indahnya penghargaan atau penghormatan atas harkat dan martabat manusia. Juga bukan soal amanatnya yang tertulis apik dalam rumusan undang-undang,  tapi bagamana impelementasinya di tengah masyarakat. Itulah masalah utama,” tandas Dr. Andang L Binawan.

 

Wajah Keadilan Sosial

Romo Dr. Andang L Binawan SJ lebih jauh mengatakan, perjuangan terhadap penegakan hak asasi manusia tak lepas dari perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial bagi manusia. Ini adalah persoalan mendasar, karena bagi seorang anak manusia, keadilan bukan sekadar memperoleh apa yang menjadi haknya, seperti upah pekerja, tapi apakah yang diperolehnya itu memenuhi kebutuhannya sebagai manusia.

“Bisa saja upah minimum regional atau UMR sudah memenuhi standar  sesuai ketentuan yang berlaku. Tapi, coba  dilihat, apakah UMR itu  cukup memenuhi kebutuhan dasar seorang manusia. Ingat, pekerja itu bukan hanya butuh makan dari pekerjaannya, tapi juga membutuhkan  tiga hal secara bersamaan, yakni penghargaan, pengakuan, dan perlakuan,” jelas Romo Andang.

Hal-hal esensial itulah yang menurut Andang telah menjadi perhatian utama Gereja Katolik sejak lama. Komitmen Gereja terhadap HAM, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat, berada dalam satu tarikan nafas. Itu pasti dan final, karena dari situlah manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara sungguh manusiawi: nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan bebas memilih status hidup, membentuk keluarga, memperoleh pekerjaan, nama baik, kehormatan, hak atas perlindungan hidup perorangannya, juga perihal beragama.

Dosen filsafat dan Hukum Gereja pada STF Driyarkara itu kemudian menceritakan peran-peran penting yang telah dijalankan oleh para memimpin tertinggi Gereja Katolik Roma untuk terus mengingatkan dunia bahwa  manusia adalah Imago Dei yang harus dihormati dan dijunjung tinggi martabatnya.

Paus Leo XIII, misalnya,  mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum, yang berisikan seruan untuk penghargaan dan penghormatan kepada kaum buruh yang adalah manusia. Sikap Gereja terhadap HAM, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat semakin sangat tegas dan jelas terlihat ketika Paus Yohanes XXIII menduduki jabatannya  di Tahta Suci Vatikan pada 1958. 

Sri Paus yang bernama asli Angelo Giuseppe Roncalli itu mengeluarkan ensikliknya yang terkenal, Pacem In Terris (Peace On Faith), yang mengingatkan  umat sedunia  bahwa  manusia adalah “gambar Allah” yang nyata. Kata-katanya yang terkenal dalam ensiklik itu adalah: “Tata Dunia harus dikembangkan didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam keadilan, dihidupkan dengan cinta kasih; dan harus menemukan keseimbangannya yang semakin manusiawi dalam kebebasan.”

Paus yang sudah digelar Santo pada 28 April 1914 itu bahkan kemudian  mengambil langkah yang uar biasa revolusioner bagi perkembangan gereja semesta, yakni penyelenggaraan  Konsili Vatikan II (1962-1965).  Dihadiri oleh sekitar 2.500 uskup dan kardinal dari seluruh dunia serta para cerdik-cendikia dari berbagai negara, Konsili Vatikan II berhasil mengeluarkan berbagai dokumen penting terkait keterlibatan gereja dalam dunia dewasa ini.

Salah satu dokumen paling bersejarah yakni Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja di Dalam Dunia Dewasa Ini,  Pesan penting dari dokumen tersebut adalah bagaimana awam Katolik harus berperan dalam kehidupan masyarakat. Dalam posisinya di masyarakat, awam harus bisa menjadi nabi, pembawa terang, keadilan, dan kebenaran di tengah masyarakat yang terus  berubah.

Posisi itulah, menurut Romo Dr. Andang L Binawan SJ,  yang justru harus diperankan para awam Katolik untuk membawa pesan serta ajaran gereja tentang HAM dan keadilan sosial.  Dia mengakai, Gereja tidak punya kewenangan untuk memaksa, tapi punya kewajiban moral dan etis untuk mendorong, mengimbau umatnya untuk memperjuangkan HAM dan keadilan bagi semua.

“HAM dan keadilan  bagi semua masih merupakan cita-cita, dan dalam praktiknya masih terjadi reduksi di sana sini, jauh dari realitas. Meski demikian, cita-cita itu harus terus kita kejar, dan kita harus berjuang untuk mendekatinya,” demikian Romo Dr. Andang L Binawan SJ. (Alex Dungkal)

Artikel Terkait