Pilkada 2020

Tolak PKPU Larangan Napi Koruptor Nyaleg, Menkumham Berpolitik

Oleh : very - Rabu, 06/06/2018 11:23 WIB

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dan jajaran Kementrian Hukum dan HAM memberikan pernyataan kontroversial terkait penolakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang dalam  ketentuan Pasal 7 (h) PKPU mengaturan larangan Mantaran Narapidana kasus korupsi dan serious crime lainnya untuk menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg).

Dalam sejumlah pemberitaaan, disebutkan sejumlah ancaman Menkumham, Yasonna Laoly seperti tidak akan memproses dan menandatangani PKPU tersebut.

Aktivis ICW, Donal Fariz mengatakan, Menteri Hukum dan HAM harusnya memisahkan kepentingan partai dengan kepentingan pemerintah secara kelembagaan. Selama ini penolakan paling kencang atas PKPU larangan Koruptor Nyaleg berasal dari partai.

“Namun menjadi aneh ketika Menteri ikut-ikutan menolak karena Menteri bukanlah orang yang sama sekali dirugikan dengan aturan PKPU tersebut. Oleh karenanya, pernyataan penolakan PKPU tersebut sangat politis dan perlu dipertanyakan apakah suara Pemerintah atau mewakili suara partai,” ujarnnya di Jakarta, Rabu (6/5/2018).

Donal mengatakan, seharusnya, menteri bersikap netral dan tidak perlu berpolemik atas aturan tersebut. Jika ada pihak-pihak yang berkeberatan, seyogyanya menempuh jalur hukum melalui Judicial Review ke Mahkamah Agung.

Dia mengatakan, Menkumham tidak berwenang menolak PKPU. Dalam 3 (tiga) Ketentuan Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpres 87 tahun 2014 (Peraturan Pelaksana), hingga Permenkumham Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengundangan, tidak ada satupun pasal yang secara eksplisit mengatur kewenangan Menteri untuk menolak pengundangan sebuah aturan seperti PKPU.

Kewenangan pengundangan harus dilakukan apabila semua dokumen dan naskah sudah dilengkapi. “Sehingga penolakan Menkumham, Yasonna Laoly adalah sesuatu yang tidak berdasar. Apalagi substansi peraturan yang diundangkan adalah tanggung jawab instansi pemrakarsa, yakni KPU,” ujarnya.

Menurut Donal, pernyataan Menkumham itu memberikan kesan Pemerintah tidak setuju dengan upaya membangun demokrasi bersih. Demokrasi yang berkualitas turut ditentukan oleh peserta (kontestan) yang berintegritas dan berkualitas.

Maksud dari tujuan PKPU tersebut bisa dinilai sebagai upaya (effort) KPU dalam membangun demokrasi berintegritas dengan cara membatasi akses mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi Caleg. Hal ini sebenarnya merupakan tugas partai. Akan tetapi selalu diabaikan karena partai sangat pragmatis dengan kepentingannya.

“Manakala Menteri turut menolaknya, akan muncul kesan seolah pemerintah tidak setuju dengan gagasan mendorong demokrasi bersih dan berintegritas dengan membatasi orang yang memiliki masalah hukum masa lalu untuk maju menjadi wakil rakyat,” ujarnya. 

 Karena itu, kata Donal, pihaknya mendorong KPU terus tetap untuk mempertahankan PKPU larangan Napi Koruptor Nyaleg. “Langkah ini harus didukung dalam membangun demokrasi yang bersih dan berintegritas,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait