Nasional

SETARA Institute : Demo Reuni 212 Sudah Tidak Relevan Lagi Untuk Menjawab Tantangan Kebangsaan Dan Kenegaraan

Oleh : Ronald - Jum'at, 30/11/2018 15:20 WIB

Ketua SETARA Institute, Hendardi melihat bahwa aksi yang sudah dua tahun berlalu ini sudah mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.

Jakarta, INDONEWS.ID - Menyikapi akan adanya rencana demo reuni aksi 212 pada tanggal Minggu, (2/12/2018) mendatang, membuat Ketua SETARA Institute, Hendardi akhirnya mengeluarkan pernyataan pers pada Jumat,  (30/11/2018).

Dalam pernyataan tertulisnya, Hendardi menilai bahwa reuni aksi demo tersebut sangat kental dengan muatan politik. Apalagi menurutnya, menjelang tahun 2019 ini adalah tahun politik, yaitu pemilihan presiden 2019.

"Rencana reuni aksi 212  pada 2/12/2018 mendatang telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang awalnya digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 dan kemudian di repetisi pada 2/12/2017 adalah gerakan politik," sebutnya dalam pernyataan tertulisnya yang diterima tim INDONEWS.ID pada Jumat, (30/11/2018).

Menurut Hendardi, sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan (aksi reuni 212) ini menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan terutama jelang Pilpres 2019.

Selain sebagai gerakan politik, Hendardi juga menilai bahwa aksi ini memiliki target untuk menguasai ruang publik (public space) dimana target yang ingin dicapai oleh para elit 212 adalah untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah.

"Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi," ujarnya.

Maka dari itu, Hendardi pun menyesalkan bahwa gerakan 212 ini menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang mana sudah jelas oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia.

" Apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya," tegasnya.

Terakhir, Hendardi melihat bahwa aksi yang sudah dua tahun berlalu ini sudah mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.

Menurutnya, masyarakat saat ini sudah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk.

"Jadi, kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," tandasnya. (ronald)





 

Artikel Terkait