Nasional

Stop Politk Akal Bulus Pasca Revolusi Lebak Bulus

Oleh : hendro - Sabtu, 13/07/2019 21:01 WIB

Pengamat sosial dan politik Christanto Wibisono

Jakarta, INDONEWS.ID - Presiden Soekarno memberi judul pidato 17 Agustus 1959 “The Year of Rediscovery of Our Revolution”. Tahun Penemuan Kembali Revoluasi Kita.

Pidato itu akan dikenal sebagai Manifesto Politik dan oleh MPRS akan ditetapkan sebagai GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang di barengi dengan dokumen Rencana Pembangunan Nasional Semestai Berencana (PNSB) 1961-1969.

Nasib baik mempercepat laju "revolusi pembangunan ekonomi tersebut" yang diawali dengan sukses kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. Belanda rela menyerahkan kembali Irian (Papua) kepada RI atas mediasi Presiden AS Kennedy dalam Persetujuan New York 17 Agustus 1962.
Maka pidato Bung Karno pada 17 Agustus itu berjudul “Tahun Kemenangan, A Year of Victory”. Indonesia juga berhasil menyelenggarakan Asian Games IV dengan sukses di tahun 1962.

Meskipun berbuntut konflik antara RI dengan IOC yang menskors RI tidak boleh ikut Olimpade Tokyo 1964, karena RI menolak Israel dan Taiwan ikut AG IV, malah menyelenggarakan Olimpiade tandingan bernama Ganefo atau Games of the New Emerging Forces, 10 Nov 1963.

Meskipun pada Maret 1963 Bung Karno mencanangkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) suatu revisi rencana pembangunan ekonomi yang lebih realistis disusun oleh Sujatmoko dan Prof Sarbini Sumawinata. Tetapi angkaramurka Bung Karno terhadap Tengku Abdulrahman, berbuntut konfrontasi dengan Malaysia yang semakin memperburuk ekonomi RI.

Budget tersedot ke persenjataan tapi Bung Karno malah semakin nekad keluar dari PBB dan hendak mendirikan PBB tandingan “Conefo”.

Tetapi di dalam negeri terjadi konflik dan kontrontasi antara TNI AD dan PKI yang meledak dalam “G30S” dan ekonomi terpuruk, maka lengserlah Bung Karno diganti Soeharto 1966.

Orde Baru menggantikan Orde Lama harus mengembalikan perusahaan asing yang diambil alih untuk mengundang modal asing baru masuk ke Indonesia dengan UUPMA 1967. Freeport masuk Indonesia disusul perusahaan MNC AS Eropa dan Jepang yang berbondong bondong kembali ke RI. Sebagian sudah pernah beroperasi di Indonesia bahkan sejak zaman Hindia Belanda seperti General Motors, BPM Shell, Dunlop.

Setelah 30 tahun atau ketika habisnya masa berlaku UU PMA 1967-1997 ternyata Indonesia malah masuk lagi dalam keterpurukan ekonomi yan g melengserkan Soeharto 21 Mei 1998.

Bila ditelusuri jawabnya gampang. Menurut peribahasa budi pekerti mata ajaran anak SD SMP SMP tahun 1950. Ekonomi itu jer basuki mawa bea. Anda harus hemat produktif dan menghasilkan benda atau jasa yang bersaing dengan saingan anda.

Kalau barang atau jasa yang anda jual lebih buruk tapi malah lebih mahal dari pesaing anda, maka anda pasti tidak akan bisa menjual barang anda ke pasar lokal, nasional, regional maupun global. Jadi kata kuncinya adalah ICOR kita tidak boleh lebih tinggi dari negara tetangga dan pesaing. Kalau tidak, ya pasti anda tidak punya produk barang dan jasa yang bisa diekspor secara kompetitif.

Nah, sekarang biaya birokrasi, biaya politik, pungli dan dana kampanye partai politik yang dibebankan kepada pengusaha dan atau masyarakat itu apakah bisa ditekan oleh partai politik dan birokrasi kita.

Kalau birokrat maupun legislator, semua minta bea dari masyarakat (baca : pengusaha) maka pada ujungnya barang dan jasa kita harganya lebih tinggi dari pesaing. Maka kita pasti akan terpuruk tidak bisa bersaing. Just as simple as that.

Sekarang dua lawan politik sudah rujuk, biarlah seluruh komponen bangsa bersatu padu, menurunkan ICOR kita kalau bisa ke 2,3. 

Lalu semua potensi dikerahkan dengan semangat revolusioner untuk mengejar pertumbuhan 7 persen sehingga dalam tempo 5 tahun kedepan kalau sekarang pendapatan per kapita kita 5000 dolar AS, maka tahun 2025 bisa mencapai 10.000 dolar AS per kapita dan selanjutnya kita akan bebas dari bahaya jebakan Middle Income Trap, macet di 5.000-10.000 dolar AS tidak bisa melejit melampaui 10.000 dolar AS sampai beberapa generasi seperti nasib Amerika Latin.

Malah Argentina itu pernah negara kaya turun kelas jadi “Dunia Ketiga”. Efisiensi tentu harus mencakup juga jumlah menteri kabinet.
Belajar dari G20, maukah kita meniru yang efisien dengan sekitar 17an menteri kabinet (AS, Jerman, Jepang, Perancis), 22-26 Menteri (Rusia, RRT), atau kabinet tambun bengkak 60-an (India).

Bung Karno juga pernah punya 100 menteri tahun 1966 yang digulingkan Soeharto dengan menangkap 15 menterinya pada 18 Maret 1966. Kabinet Soeharto ke 07 juga ditinggalkan oleh 15 menteri nya. Suatu hukum karma yang ajaib dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sekarang setelah rekonsiliasi di MRT pada 13 Juli 2019 atau sehari sebelum peringatan Revolusi Perancis 14 Juli, semoga Indonesia kali ini betul betul menemukan kembali jiwa dan watak ksatria dalam karakter manusia Indonesia, sehingga semuanya sadar bahwa kalau kita tidak efisien dan tidak lebih lincah, produksi, dan lebih efisien dari negara lain maka kita tidak akan kemana mana meski tumbuh 5 persen sebab negara lain tumbuh 7 persen atau bahkan double digit.

Semoga show rekonsiliasi Prabowo-Jokowi di MRT 13 Juli benar benar melahirkan watak ksatria pada segenap patriot Indonesia, sehingga Indonesia Inc. benar benar bisa lahir di sisa 25 tahun menjelang usia se abad RI. Agar benar benar RI bisa jadi nomor 4 se dunia dalam kualitas pada 2045.

Tepat satu generasi setelah Rekonsiliasi MRT mengubah watak bangsa Indonesia dari kecebong-kampret dan akal bulus, bisa dikubur di Lebak Bulus dan kita melejit dengan kecepatan shinkansen menuju negara kelas menengah pada 2045.

Stop politik akal bulus setelah rekonsiliasi Lebak Bulus. 

 

Artikel Terkait