Nasional

Menggugat TGPF Kasus Novel Baswedan

Oleh : very - Kamis, 18/07/2019 16:50 WIB

Muhammad AS Hikam, adalah pengamat politik dari President University. (Foto: Ist)

Oleh: Muhammad AS Hikam*)

Laporan yang disampaikan kepada publik tentang hasil investigasi TGPF kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan sungguh mengecewakan. Bagi saya pribadi, malah memunculkan pertanyaan, "Apa sebenarnya fungsi TGPF itu, dan bagaimana nasib KPK"?

Mengecewakan, karena TGPF telah gagal dalam mencapai tujuan formal pembentukannya, yakni menemukan pelaku aksi kriminal setelah 6 bulan melaksanakan tugas dengan begitu banyak anggota (65 orang) dan biaya yang entah berapa besar (karena belum pernah ada laporan tentang ini).

Mengecewakan karena hasil akhir TGPF adalah rekomendasi kepada Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian agar Polri membentuk Tim Teknis guna menemukan pelaku. Adalah sah jika publik bertanya "Buat apa sebuah Tim dibikin hanya untuk menghasilkan rekomendasi agar dibikin Tim yang lain, yang personelnya sebagian juga sama dengan sebelumnya?"

Mengecewakan karena laporan TGPF ini justru telah melahirkan masalah baru. Yaitu adanya "temuan" bahwa ada probabilitas bahwa aksi kriminalitas terhadap Novel Baswedan disebabkan balas dendam  karena yang bersangkutan mungkin telah melakukan tindakan berlebihan dalam melaksanakan tugasnya zebagai penyelidik!  Namun aneh bin ajaib bahwa TGPF tidak mampu atau mau menjawab pertanyaan dari publik, "apa saja dan bagaimana serta kapan tindakan berlebihan tersebut dilakulan Novel?"

Karena itu tak terlaku keliru jika muncul kecurigaan "Apakah ini merupakan sebuah rekayasa untuk mengkambinghitamkan atau minimal mempersalahkan Novel?" Faktanya selama dua tahun terakhir ini, belum pernah ada indikasi bahwa Novel pernah melakukan tugas berlebihan, dan hal dikuatkan kesaksian KPK tentang kinerja penyelidik utama tersebut.

Beberapa hal di atas membuat saya berpandangan bahwa TGPF hanya berhasil berfungsi menjadi semacam public relations alias humas yang tugasnya membuat publik bisa ditenangkan dan tidak terlalu marah dengan kegagalan dalam penuntasan kasus Novel yang berlarut-larut itu. TGPF hanya berhasil menjadi semacam alat penghibur yang meninabobokan publik dan, syukur-syukur, bisa bikin mereka melupakan kasus yang berdampak serius terhadap KPK dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia itu.

Kegagalan TGPF punya dampak yang lebih jauh; menambah keyakinan publik bahwa upaya pelemahan dan bahkan penghancuran KPK adalah nyata dan cenderung semakin brutal. Setelah  berbagai cara "lunak", mulai dari drama 3 episode "Cicak vs Buaya" sampai Pansus E-KTP, ternyata tak mempan, maka kini dilakukan upaya yang "keras". Yaitu mengancam keselamatan personil KPK dengan aksi intimidasi terhadap penyelidik andalannya!

Ketika publik menuntut agar kasus ini dibongkar, dan dengan sabar menunggu dua tahun lamanya, hasilnya adalah laporan TGPF yang malah terkesan menyalahkan sang korban! Sungguh di luar akal sehat bahwa Polri yang kita banggakan dan diakui kemampuannya oleh dunia ternyata masih belum mampu membuka misteri siapa pelaku lapangan dalam aksi kriminal ini.

TGPF saya kira bukan saja gagal mencapai tujuan formalnya tetapi juga gagal bahkan kalau hanya sebagai humas belaka. Sebab alih-alih akan membuat publik terhibur atau terlena, apalagi lupa, justru akan bertambah tambah kecurigaannya. Bahwa upaya penghancuran KPK akan makin kuat dan meningkat karena tak akan ada lagi yang bisa diharapkan melindungi lembaga anti rasuah ini dari ancaman fisik terhadap para personilnya!

Tinggal rakyat Indonesia saja satu-satunya yang bisa melindungi dan menyelamatkan KPK dari upaya busuk para pembenci dan lawan-lawannya.

*) Muhammad AS Hikam, adalah pengamat politik dari President University

Artikel Terkait