Nasional

Potret Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan di Sektor Kehutanan

Oleh : indonews - Senin, 07/10/2019 10:20 WIB

Advokat HAM Greg R. Daeng. (Foto:IST)

Oleh : Greg R Daeng *)

PERMASALAHAN perusakan hutan akibat legal logging dan illegal logging di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak awal reformasi isu di sektor kehutanan itu telah menjadi kejahatan yang sedemikian marak.

Kondisi ini kemudian mendorong pemerintah untuk membentuk berbagai aturan hukum guna pencegahan dan penindakannya. Salah satu yang paling mengemuka adalah lahirnya UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Meski demikian, dari laporan kasus-kasus yang muncul illegal logging menjadi isu yang paling menonjol karena eskalasinya terus meningkat. Aceh, misalnya, adalah salah satu provinsi yang banyak disoroti terkait konversi hutan karena merupakan lokasi ekosistem Leuser, tempat perlindungan terbesar dari hutan hujan Malesian.

Mongabay dan Koran Nasional seperti Kompas dan Tempo kerap mengekspos pemberitaan mengenai kasus illegal loging dan kerusakan ekosistem Leuser. Kompas (24 Juli 2018) melaporkan bahwa pada bulan Januari-Juni 2018, kerusakan kawasan ekosistem Leuser mencapai luas 3.290 hektar.

Kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Nagan Raya seluas 627 hektar, disusul Aceh Timur seluas 559 hektar, dan Gayo Lues 507 hektar. Penebangan liar dan perambahan menjadi pemicu utama kerusakan.

Salah satu upaya untuk menekan laju kasusnya, yakni ditempuh dengan mekanisme penegakan hukum (law enforcement) melalui pengadilan.

Cara ini dipakai setidaknya untuk 3 (tiga) hal, pertama, menciptakan iklim kepastian hukum pidana di bidang kehutanan, kedua, memberikan efek jerah kepada para pelaku dan ketiga, memberikan pembelajaran kepada publik agar tidak melakukan pembalakan atas hutan.

Artikel ini hendak memeriksa sejauh mana penegakan hukum telah menjangkau kasus-kasus yang terkait illegal logging.

Caranya adalah sederhana yakni memeriksa kuantitas kasus yang masuk ke pengadilan, melakukan analisis karakter putusan, kemudian membandingkan jumlah kasus tersebut dengan laporan yang dipantau oleh sejumlah media massa.

Sumber utama kasus yang diperiksa adalah catatan Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI). Data pada Direktori ini menyebutkan, sejak tahun 2007-2018 ada 202 kasus illegal logging yang sudah diputus oleh majelis hakim di berbagai tingkatan pengadilan.

Namun, dari publikasi yang ada tidak semua data putusan tentang kasus-kasus illegal logging tersaji secara komprehensif. Dalam tulisan ini spesifik hanya akan menelaah 55 kasus illegal logging dengan data putusan yang lengkap.

Tipologi Penjeratan Pidana

Berdasarkan pencermatan yang mendalam atas putusan-putusan tersebut, setidaknya terdapat varian vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim, diantaranya 3 (tiga) perkara diputus bebas, 1 (satu) perkara diputus lepas, 51 (lima puluh satu) perkara diputus pidana penjara, dan 47 (empat puluh tujuh) perkara dikenakan pidana denda.

Khusus untuk perkara yang diputus pidana kurungan badan (penjara), paling tinggi vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim adalah tiga tahun dan paling rendah tiga bulan.

Fakta ini tentu tidak lepas dari kehadiran Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang cukup maksimal dalam memainkan perannya sebagai pengendali perkara (dominus litis). Peran sentral tersebut antara lain dalam 3 (tiga) hal.

Pertama, membangun konstruksi hukum berbasis teoritikal-faktual dalam dakwaannya untuk menjerat pelaku/terdakwa, kedua, menjalankan strategi dalam pembuktian perkara seperti pengajuan alat bukti, saksi dan keterangan ahli untuk meyakinkan majelis hakim tentang sifat melawan hukum pelaku/terdakwa dan ketiga, mengajukan nota tuntutan perihal vonis pidana apa saja yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim kepada pelaku/terdakwa.

Sementara itu, dari aspek pasal pidana yang digunakan, baik JPU maupun majelis hakim, mengambil rujukan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU khusus (lex specialis) yang terkait dengan kejahatan di sektor kehutanan itu.

Sebagai misal, untuk kepentingan menjerat pelaku penyerta dalam kejahatan illegal logging, hakim dan JPU menggunakan pasal 55 dan pasal 56 KUHP sebagai pasal pamungkasnya.

Sedangkan untuk unsur pokok kejahatannya, menggunakan pasal-pasal yang tercantum dalam aturan khusus seperti, UU No.41/1999 tentang Kehutanan (2 pasal), UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (8 pasal) dan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan (1 pasal).

Lebih lanjut berkenaan dengan rumusan delik pidananya, paling banyak digunakan JPU dan hakim adalah rumusan yang tercantum dalam Pasal 12 huruf c jo Pasal 82 huruf (c) UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan UU PPPH).

Dari 55 putusan yang ada, 35 diantaranya menggunakan dua rumusan delik pidana tersebut. Berikut bunyi rumusan kedua pasal tersebut : Pasal 12 huruf c - “Setiap orang dilarang : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah”.

Pasal 82 huruf c - “Orang perseorangan yang dengan sengaja : melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).”

Sedangkan untuk kategori pelakunnya, dari data yang dianalisis terdapat jenis pelaku utama, pelaku pembantu dan pelaku intelektual (intelectual dader). Fakta ini apabila lebih diperjelas dari latar belakang pekerjaan, maka terbanyak berasal dari kalangan buruh/tani yang berjumlah 57 orang.

Mereka ini rata-rata adalah warga desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Di tempat kedua datang dari sektor swasta perseorangan dengan jumlah 15 orang dan terakhir berasal dari kalangan birokrasi (PNS/TNI/Polri) dengan jumlah 3 orang.

Lalu bagaiamana dengan persebaran kasusnya?. Kasus illegal logging yang di data dan dianalsis ini, dari aspek kewilayahan, banyak terjadi di daerah-daerah yang memiliki basis kawasan hutan seperti Sumatera, Jawa, Kalimatan, Sulawesi, dan Bali-Nusra.

Pulau Jawa memiliki data kasus terbanyak dengan 28 putusan, kemudian disusul pulau Sumatera dengan 11 putusan, pulau Kalimantan dengan 7 putusan, pulau Sulawesi dengan 6 putusan dan kepulauan Bali-Nusra sebanyak 3 kasus.

Situasi Empirik dan Catatan Kritis Pemidanaan

Dalam level mikro, jika mengambil contoh kasus yang terdata di Direktori Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh, dari 213 putusan perdata yang tercatat dari periode 2009 s.d. 2017, hanya ada satu kasus lingkungan.

Sementara pada pengadilan Tata Usaha Negara, dari 197 Putusan yang tercatat sejak 2009 hingga 2019, hanya empat kasus yang terkait gugatan terhadap izin konversi hutan. Semuanya berupa legal standing dari organisasi linkungan hidup.

Sementara laporan-laporan media menunjukan sebaliknya. Menurut Mongabay (12 Maret 2019) setiap tahun, Taman Nasional Gunung Leuser kehilangan tutupan hutan akibat perambahan dan berbagai kegiatan ilegal lainnya terus meningkat.

Hasil perhitungan HAKA (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) yang dikutip Mongabay, pada tahun 2016 luas tutupan hutan TNGL yang hilang mencapai 460 hektar, pada tahun 2017 naik menjadi 624 hektar, lalu pada tahun 2018, TNGL kehilangan tutupan hutan mencapai 807 hektar.

Dalam laporan 18 November 2015, Mongabay menyebutkan bahwa sejak Januari hingga Oktober 2015, KPHA memantau aktivitas ilegal di 19 kabupaten/kota.

Ditemukan 345 kegiatan illegal logging seperti penebangan kayu, pembukaan lahan dalam kawasan hutan, pengangkutan kayu dari hutan ke industri pengolahan tanpa dokumen yang sah. Dari 345 kasus tersebut, 245 pembalakan liar terjadi di areal penggunaan lain (APL) dan 95 titik berada di hutan lindung dan hutan produksi. 

Berbagai laporan ini nampaknya tidak selalu diikuti dengan penegakan hukum.Demikian banyak kejahatan yang lolos atau diabaikan karena berbagai alasan.

Sebut saja mental korup di lingkungan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) yang begitu gampang disuap oleh pelaku illegal logging, lalu keseriusan (tidak maksimal) polisi dalam mencari dan menggali bukti kejahatan.

Politik mutasi birokrasi yang menempatkan aparat penegak hukum (APH) tidak sesuai ruang lingkup kemampuannya, serta kompetensi jaksa dan hakim yang tidak maksimal mendakwa dan menjatunkan vonis kepada pelaku adalah sederatan alasan yang dapat dijumpai dalam problem penegkan hukum di sektor kehutanan.

Kondisi yang ada ini sejatinya perlu masukan dan catatan kritis untuk perbaikan pada sistem penegakan hukum yang dijalankan.

Pertama, mengedepankan prinsip right man on the right palace dalam sistem mutasi birokrasi. Prinsip ini tepat untuk diterapakan dalam model birokrasi di internal APH.

Sebab, langkah ini akan menempatkan penegak-penegak hukum terbaik di lokasi-lokasi yang memang banyak terjadi kasus kejahatan illegal logging.

Sebagai contoh, hakim, jaksa ataupun polisi yang telah memiliki lisensi khusus untuk penanganan kejahatan kehutanan akan akan ditempatkan di wilayah-wilayah yang secara fakta dan potensial memiliki banyak kasus kejahatan illegal logging.

Kedua, pemberlakuan mekanisme rigid dalam penyidikan dan penuntutan. Pola ini penting untuk diterapakan, karena acap kali APH “gemar” mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dalam kasus-kasus illegal logging.

Hal ini makin parah apabila tersangka/terdakwanya adalah korporasi atau orang yang punya backingan kuat dari elite pemerintahan. Dan jika ini dijadiakan acuan, maka APH tentu akan lebih giat untuk mencari bukti kesalahan para pelaku serta terhindar dari praktek suap dan manipulasi kasus yang berujung SP3.

Ketiga, upaya maksimal pemidanaan. Jika dilihat dari vonis-vonis yang dijatukan oleh majelis hakim, maka presentase paling tinggi pidana kurungan yang diterima oleh para pelaku/terdakwa adalah 3 (tiga) tahun. Padahal ancaman pidana penjara paling tinggi di sektor kejahatan kehutanan itu adalah lima belas tahun (lihat Pasal 94 Ayat (1) huruf a UU PPPH).

Hal ini tentu menjadi catatan kritis tersendiri bagi jaksa penuntut umum dan majelis hakim yang menyidangkan perkara terkait untuk harus lebih jeli menyajikan bukti-bukti dan fakta hukum yang lebih kuat sehingga para pelaku dapat divonis maksimal.

Selain itu upaya peningkatan kapasitas dari kedua unsur penegak hukum ini juga menjadi masukan penting agar perspektif tentang illegal logging sebagai bentuk Graviora Delicta (kejahatan yang serius) lebih meningkat.

Keempat, perbaikan sistem informasi putusan perkara/kasus. Pasca lahirnya UU No.14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), termaktub bahwa putusan pengadilan masuk sebagai kategori dari informasi publik yang tidak dikecualikan.

Artinya ketersediaannya harus bisa diakses atau dijangkau oleh publik kapanpun. Spirit mudah akses, transparansi dan data yang komplit setidaknya wajib jadi pegangan evaluasi bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) di level ini agar dapat menyediakan layanan informasi tentang putusan-putusan perkara illegal logging secara lebih lengkap.

Sebagai kejahatan yang terkategori khusus, illegal logging cukup erat kaitaanya dengan illegal deforestasi, sebab keduannya berdampak langsung terhadap eksistensi hutan dan beban ekologi yang tinggi.

Selain reformasi penegakan hukum di sektor kehutanan yang harus terus didorong, hal lain yang juga mesti menjadi atensi adalah sistem pencegahan berbasis partisipatif yang mana melibatkan masyarakat, terkhususnya mereka yang tinggal di sekitaran kawasan hutan untuk terlibat dalam penjagaan hutan sebagai aset masa depan.*

 *) Greg R. Daeng adalah Advokat HAM

 

 

 

 

 

Artikel Terkait