Internasional

Pendekatan Multi Track Untuk Mencari Solusi Konflik di Rakhine

Oleh : very - Rabu, 06/09/2017 12:07 WIB

Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute. (Foto: Media Indonesia)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kemarahan publik Indonesia terhadap tragedi yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar bisa dimengerti sebagai perwujudan solidaritas kemanusiaan. Apa yang terjadi di negara itu sangat menyentak hati nurani sebagai bagian dari warga dunia.

“Sebagaimana yang ditekankan Sukarno, nasionalisme kita hendaknya tumbuh dalam taman sari internasionalisme. Karenanya solidaritas kita  tidak hanya tertuju pada sesama warga negara Indonesia tetapi juga terhadap individu dan komunitas lain meski berbeda nasionalitas,” ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos melalui pernyataan pers, Rabu (6/9/2017).

Bonar mengapresiasi langkah yang telah ditempu pemerintah Indonesia selama ini.

“Sejauh ini apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dan sejumlah lembaga kemanusiaan asal Indonesia turut berusaha membantu meringankan penderitaan etnis Rohingya dan mendorong pemerintah Myanmar untuk mencari solusi yang adil dan bisa diterima semua pihak yang bertikai, patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun, dia meminta Pemerintah Indonesia agar tidak terpaku pada prinsip non interference yang selama ini menjadi kesepakatan antar negara ASEAN.

Bonar mengusulkan pendekatan keterlibatan konstruktif (constructive engagement) tanpa berusaha mendikte dan bersikap menggurui. “Sebuah pendekatan yang lebih merefleksikan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif,” jelasnya.

Menurutnya, upaya pemerintah Indonesia dan sejumlah lembaga kemanusiaan asal Indonesia bukan baru ini saja, tetapi sudah dimulai beberapa tahun yang lalu, sejak kekerasan yang memuncak pada tahun 2012.

Karena itu, Bonar menyayangkan upaya kelompok-kelompok tertentu di masyarakat Indonesia yang mencoba memanipulasi penderitaan etnis Rohingya untuk agenda politik domestik. Mereka bahkan menyebarkan hoax yang mendiskreditkan pemerintah Indonesia dan memupuk sentimen yang bisa menimbulkan konflik antar umat beragama.

“Pemerintah perlu mewaspadai kelompok-kelompok ini dan mengambil langkah terukur demi menjaga stabilitas keamanan dan hubungan harmonis antar umat beragama. Solidaritas kemanusiaan tentu perlu, tapi sangat penting mengetahui sedikit kondisi sosio historis di Myanmar dan memahami bahwa transisi demokrasi di Myanmar pelik dan rentan,” katanya.

 

Kondisi di Myanmar

Dijelaskan Bonar, meskipun NLD, partai politik pimpinan DASSK menang telak pada pemilihan yang lalu, tetapi kekuasaan militer Myanmar masih sangat kuat dan dominan.

Dilain pihak, di negara itu bangkit kelompok ekstrim Budha yang nasionalistiknya sempit. DASSK terjepit ditengah dan harus bernegosiasi dengan kedua kekuatan itu, bukan hanya untuk masalah etnis Rohingya tetapi juga problem sosial politik lainnya di Myanmar.

Bonar mengatakan, apa yang dilakukan militer Burma dan ekstrim keagamaan terhadap etnis Rohingya bisa dikategorikan sebagai genosida dan pembersihan etnis (etnic cleansing). Tetapi menyalahkan semua pada DASSK akan berakibat fatal dan kontra produktif bagi demokrasi yang sedang tumbuh di Myanmar.

Karena itu, Bonar mengusulkan agar dalam membantu mencari solusi perdamaian di Rakhine, Myanmar, pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan multi-track, selain pendekatan bilateral dan bekerja dalam kerangka mekanisme internasional PBB dan ASEAN.

“Patut dipertimbangkan melibatkan militer Indonesia dalam mendorong perubahan counter partnya yakni militer Myanmar. Militer Myanmar telah lama respek terhadap militer Indonesia, bahkan mencoba meniru praktek dwi fungsi sebagai upaya mempertahankan kekuasaan. Meski reformasi dalam militer Indonesia belum tuntas, tapi patut dirintis dialog dan kerjasama antara militer Indonesia dan Myanmar,” katanya.

Selain itu, yang tidak kalah penting yaitu mendorong tokoh-tokoh agama Budha dari Indonesia untuk berdialog dengan tokoh-tokoh Budha Myanmar.

“Pendekatan people to people semacam ini sangat baik dikembangkan, bukan hanya  dibidang agama tetapi juga sektor masyarakat sipil lainnya. Terobosan pemerintah Indonesia dibutuhkan untuk membantu pencarian solusi bagi perdamaian di Rakhine, Myanmar,” pungkas  Bonar yang ejak akhir 90-an aktif berkampanye bagi demokrasi di Burma dan menjadi bagian dari Altsean Burma, sebuah organisasi regional ditingkat ASEAN. (Very)

 

Artikel Terkait