Sosial Budaya

Kematian Bayi Debora, KSPI Desak Kaji Ulang Sistem BPJS Kesehatan

Oleh : very - Senin, 11/09/2017 09:02 WIB

Pasien BPJS Kesehatan antre mendapatkan pelayanan. (Foto: Harian Surya)

Jakarta, INDONEWS.ID - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengutuk keras Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres yang diduga mengabaikan hak pelayanan pasien sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Karena itu, KSPI meminta Pemerintah agar meninjau ulang izin Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres. Terlebih lagi, sebelumnya grup Rumah Sakit Mitra Keluarga juga pernah menolak pasien tidak mampu.

“Ini bukan pertama grup Mitra Keluarga menolak pasien. Masalahnya adalah, mayoritas RS Mitra Keluarga tidak masuk sebagai providernya BPJS Kesehatan,” kata Presiden KSPI, Said Iqbal, di Jakarta, Minggu (10/9/2017).

Menurut Said, pokok pangkal persoalan yang menyebabkan rumah sakit type A tidak mau menjadi provider BPJS Kesehatan adalah sistem INA CBGs yang diterapkan BPJS Kesehatan. Akibat sistem ini, klinik dan RS Swasta dibayar murah. 

Oleh karena itu, kata Said Iqbal, kasus kematian bayi Debora adalah pintu masuk untuk mencabut aturan INA CBGs dan menggantinya dengan Fee for Service Terukur (pembiayaan kepada klinik dan RS Swasta pada tingkat yang wajar).

“Dengan menghapuskan sistem INA CBGs, maka seluruh klinik dan RS Swasta di seluruh Indonesia tidak lagi keberatan apabila diwajibakan menjadi provider/jaringan yang melayani program BPJS Kesehatan (JKN/KIS) untuk seluruh masyarakat, termasuk buruh,” katanya.

Jika tidak segera diambil tindakan, Said Iqbal khawatir kasus bayi Debora ini akan terus terulang. Apalagi mayoritas RS Swasta terutama Type A (seperti RS Mitra Keluarga Kalideres) bukan jaringan pelayanan BPJS Kesehatan. Sehingga masyarakat atau buruh yang berpenghasilan rendah tidak akan dilayani kalau tidak sanggup membayar sesuai aturan Rumah Sakit tersebut.

“Lain halnya kalau RS Mitra Keluarga menjadi jaringan pelayanan BPJS Kesehatan, maka cukup dengan kartu BPJS Kesehatan, masalah biaya bukan lagi kendala,” ujar Said Iqbal.

Agar RS seperti Mitra Keluarga bersedia menjadi provider BPJS Kesehatan, maka INA CBGs harus dicabut. Karena dengan sistem INA CBGs, yang diterima pihak rumah sakit tergolong kecil.

“Kalaulauh RS Mitra Keluarga membuat surat rujukan ke RS terdekat yang menjadi provider BPJS Kesehatan, belum tentu bayi Debora akan dilayani. Karena untuk mendapatkan PICU harus mengantre, dan jika mengantre, maka risikonya adalah kematian,” jelasnya.

Karena dibayar murah, seringkali peserta BPJS Kesehatan mendapat diskriminasi dan harus mengantre. Menurut Said, banyak klinik dan rumah sakit provider BPJS Kesehatan harus mengantre saat melakukan tindakan operasi, cuci darah, PICU, dan menemui dokter spesialis.


“Pasien harus mengambil nomor urut jam 2 pagi, baru dilayani jam 2 siang. Bahkan kalau mau operasi menunggu 2 minggu hingga 1 bulan untuk menunggu giliran. Semua ini penyebannya adalah INA CBGs,” kata Said. 

Selain itu, Said juga meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan untuk tidak tutup mata terhadap kematian bayi Debora dan juga kematian-kematian pasien sebelumnya, maupun kematian-kematian yang mungkin akan terjadi pada masa mendatang.

Said menilai, INA CBGs yang diterapkan di BPJS Kesehatan adalah sebuah sistem yang kacau balau dan merugikan pelayanan terhadap pasien dan ancaman bangkrut bagi pegelola klinik dan Rumah Sakit yang menjadi provider BPJS Kesehatan.

“Karena itu KSPI mendesak agar INA CBGs dicabut, sebagaimana yang sudah disuarakan KSPI sejak awal disahkannya UU BPJS,” pungkas Said Iqbal. (Very)

Artikel Terkait