Demokrasi Sebagai Sebuah Tanggung Jawab

Oleh : very - Minggu, 16/06/2019 12:48 WIB

Muhammad AS Hikam, adalah pengamat politik dari President University, dan mantan Menteri Ristek era Presiden Gus Dur.

Oleh: Muhammad AS Hikam*)

"Demokrasi bukanlah merupakan sesuatu yang kita warisi sebagai semacam HAK suci. Demokrasi adalah suatu privilese yang diberikan oleh para pendahulu kita dan mereka berjuang keras untuk mencapainya.

Mereka adalah orang-orang yang tahu persis bagaimana para tiran dan penindas kejam telah mengabaikan suara dan hak-hak dasar rakyat biasa, seperti hak berbicara dan berkumpul.

Sayangnya, kita suka lupa bahwa demokrasi juga menuntut keberadaan para warganegara yang mau terlibat aktif, memiliki informasi yang baik, dan bertujuan mencapai kebaikan bersama (common good). Bukan hanya berusaha agar kepentingan kelompok sendiri bisa berjaya." (DIANE KALEN-SUKRA, Aktivis Sosial dan Perburuhan asal Kanada).

**

Adalah sebuah distorsi atau penyelewengan makna yang berdampak buruk manakala demokrasi hanya direduksi menjadi sekadar "alat" saja. Sebab di dalam kata demokrasi, sejatinya ada nilai-nilai dasar, ada etika, dan bahkan ada etiket yang mesti diikuti. Memahami demokrasi hanya sebagai alat atau instrumen sangat beresiko menciptakan sebuah sistem dan praksis yang malah bertentangan dengan nilai dasar dari demokrasi tersebut.

Ambillah contoh Pilpres dan Pemilu. Benar bahwa sampai pada tingkat tertentu keduanya adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu: memilih anggota Parlemen dan Presiden (dan Wapres) sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem politik demokrasi. Namun jika kedua gawe tersebut hanya dianggap sebagai alat saja, maka praktik-praktik manipulatif akan dianggap sebagai suastu hal yang biasa atau normal, atau malah keniscayaan agar menang!

Maka kita lihat dalam Pemilu dan Pilpres kita yang terakhir (2019) sarat dengan praktik-praktik manipulatif, bahkan kegaduhan serta kekerasan yang belum pernah terjadi dalam sejarah demokrasi pasca-reformasi 1998. Bagi para pembenci demokrasi kejadian kerusuhan pasca-Pemilu, yang menelan korban jiwa dan hancurnya properti, akan dipakai sebagai contoh dan alat propaganda untuk menafikan dan melecehkan demokrasi. Mereka akan menggunakan kasus ini utk menunjukkan betapa tidak efektif dan berkualitasnya sistem demokrasi bagi bangsa Indonesia!

Padahal, jika kita mau menjadi warganegara yang aktif dan well informed, maka kita akan dengan mudah mengetahui dan menganalisa mengapa peristiwa tersebut terjadi. Bukan karena demokrasi yang jelek, tetapi para pelaku demokrasi khususnya para elite politik dan parpol telah melakukan pereduksian makna dan praksis demokrasi sedemikian rupa jauhnya sehingga Pemilu dan Pilpres justru menjadi olok-olok dan bahkan menelan korban!

Bukan hanya itu. Yang lebih berbahaya dari pereduksian makna dan praksis demokrasi adalah terbukanya pintu masuk bagi ideologi dan sistem bernegara yang bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi, UUD 1945, ke dalam batang tubuh warga negara dan bangsa kita. Dengan menggunakan contoh-contoh kekacauan praktik demokrasi, lalu ditawarkanlah alternatif-alternatif, termasuk ideologi dan sistem politik yang baik dalam nilai dasar maupun praktiknya akan membuyarkan demokrasi dan bahkan NKRI! Misalnya, dan yang kini sedang menjadi fenomen dunia, Khilafahisme dan ideolgi serta sistem politik totaliter yang menjadi dasarnya.

Karenanya, pemahaman distortif tentang demokrasi hanya sekadar sebagi alat sudah seharusnya kita tolak. Demokrasi memang punya pengertian sebagai instrumen atau alat, tetapi bukan satu-satunya dan bukan pula yang terpokok. Jangan kita biarkan para elit politik membohongi rakyat dengan cara berfikir instrumentalistik dan reduksionistik. Kita harus membuat demokrasi sebagai tujuan dan sekaligus tanggungjawab dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia yg berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945.

*) Muhammad AS Hikam, adalah pengamat politik dari President University, dan mantan Menteri Ristek era Presiden Gus Dur.

Artikel Terkait