Nasional

Anatomi Dinasti Pers Indonesia

Oleh : hendro - Selasa, 24/12/2019 15:30 WIB

Christianto Wibisono

Jakarta, INDONEWS.ID - Akhir akhir ini majalah Tempo di-bully di medsos terutama dalam kaitan dengan pemberitaan yang condong seolah memihak KPK pra-Dewas dan bias mengritik Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK.  Setelah Syamsuddin Haris, profesor peneliti LIPI masuk Dewan Pengawas dan juga setelah Prabowo masuk koalisi KIM Jokowi  diharapkan Tempo  dapat kembali ke khittah sebagai majalah berita independen, dengan pelbagai varian manuver interaksi dan transaksi politik  era Reformasi. Menko Polhukam mengingatkan bahwa saat ini pelanggaran HAM justru bukan oleh aparatur negara. Tapi aktor nonstate, ormas yang secara horizontal mem-bully dan menzolimi masyarakat . 

Riwayat pers Indonesia dalam rezim pra reformasi adalah riwayat menghadapi ancaman breidel oleh penguasa baik di zaman Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru dengan bulan madu 1966-1974. Yang buyar karena Malari 1974  dan pembreidelan Kompas 1978 yang mengukuhkan  rezim Orba selama 20 tahun sampai digulingkan people power 21 Mei 1998.

Sebagai salah satu pendiri Tempo  saya mengharapkan TEMPO survive seperti Time, tetap eksis setelah Newsweek gulung tikar diterjang media digital. Ketika melahirkan Tempo 1970, saya berusia 25 tahun (lahir 1945), Goenawan Mohamad 29 tahun (lahir 1941) dan Fikri Jufri 34 tahun (lahir 1936). Ketika ide majalah “kloning Time” itu kita jajakan  kepada 3 ayatollah pers Mochtar Lubis (7 Maret 1922-2 Juli 2004), Rosihan Anwar (10 Mei 1922-14 April 2011) dan PK Oyong (Auw Yong Peng Koen 25 Juli 1920 – 31 Mei 1980), ketiganya agak  men-discourage bahwa ide itu terlalu utopia. Tapi memak lumi hanya sebagai  ambisi terobosan wartawan muda era 1970-an. Sebetulnya 25 tahun usia saya, tepat sama dengan ketika Rosihan Anwar sukses menerbitkan majalah Siasat  tahun 1947.  

Yang kemudian  percaya sebagai angel untuk venture capital (waktu itu istilah ini belum dikenal) berani investasi untuk mewujudkan majalah berita seperti Time adalah ayatollah pers ke-4 BM Diah, pendiri harian Merdeka tempat Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar merintis karir jurnalistik keduanya. BM Diah mengorbitkan putranya, yang sepantaran saya, berinvestasi untuk majalah bernama Ekspres.  GM- FJ- CW dikenal sebagai trio Ekspres bersama  Marzuki Arifin dan Usamah, berlima ikut kongsi dalam PT Aksi Press dengan saham 40 persen dan 60 persen. Merdeka (BM Diah) grup dan majalah Ekspres perdana muncul April 1970. Dalam 6 bulan sudah menarik pembaca dan oplahnya melampaui titik survival. 

Kongsi ini pecah Oktober 1970 karena Kongres PWI di Palembang pecah dalam dua kubu, PWI  Rosihan vs PWI Diah. Dampaknya trio Ekspres dipecat oleh BM Diah, dan Ekspres dilanjutkan oleh duet Marzuki Arifin -  Nurman Diah. Usamah akan bergabung setelah Trio Ekspres berkongsi dengan “Angel” kedua, Ir Ciputra yang oleh Gubernur Ali Sadikin diminta menyelamatkan majalah Jaya (kelanjutan Star Weekly)  pimpinan Oyong PK yang dibreidel oleh Bung Karno 1961. 

Setelah negosiasi melalui Yayasan Jaya Raya, Ir Ciputra sebagai investor mendrop Rp 25 juta yang waktu itu bisa bikin pabrik. Ciputra bertanya: “Bung Chris ini duit bisa bikin pabrik, apa jaminannya majalah anda sukses? “ Saya menjawab: ” Kan sudah ada track record majalah Ekspres 6 bulan itu seperti apa kinerjanya. Kalau gagal, ya Pak Ci kehilangan Rp25 juta, sedang saya mungkin mudik kembali ke Semarang, GM balik Pekalongan dan Fikri ya balik ke Pedoman.”  Rp 25 juta itu memang dicadangkan untuk terbit survive sampai 2 tahun tanpa perlu subsidi atau terancam “rugi dan tutup”. 

Syukur berkat kinerja Ekspres, saya yang menjadi Wakil Direktur menangani iklan, berhasil menjual dimuka iklan kulit belakang dibarter dengan dua mobil Daihatsu Minimax oleh Astra International dengan Oom William Suryajaya, yang memakai biro ilan Matari  pimpinan Kenneth Sudarto. Jadi, dalam setahun investasi Ciputra, bukan hanya survive tapi juga langsung menguntungkan menjadi majalah berita yang sukses. Tahun kedua pencetak Tempo, PT Dian Rakyat pimpinan Sofyan Alisyahbana malah sukses menerbitkan Femina.Yang secara komersial akan menyamai Tempo, dipimpin Widarti Gunawan , istri Goenawan Mohamad. 

Setelah 4 tahun, saya pribadi merasa feasible menerbitkan majalah bisnis gaya Fortune Forbes. Tepat pada 15 Januari 1974, saya mengajukan permohonan Surat Izin Terbit (SIT)  untuk majalah bisnis yang saya beri nama PARTNER. Tapi hari naas itu justru demo anti kunjungan PM Jepang Tanaka meledak di Jakarta. Ironi dan tragedi sejarah pembreidelan justru menimpa Ekspres yang dianggap menyuarakan  kelompok BM Diah, malah ikut terbreidel bersama Pedoman dan Indonesia Raya, dan The Jakarta Times. Sedang TEMPO yang lahir dari pecah kongsi malah survive meski akan mengalami pembreidelan era Habibie 21 Juni 1994, dan skorsing sementara 12 April 1982. Saya sendiri kembali ke kampus setelah gagal memperoleh SIT majalah PARTNER. Karir saya sebagai jurnalis saya awali sebagai anggota Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia di Harian KAMI yang dipimpin Nono Makarim dan Zulharmans sejak 18 Juni 1966. 

Nono Makarim masuk dalam kloter  14 pimpinan mahasiswa KAMI  yang diangkat menjadi anggota DPR untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR 1967. Yang akan mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan mengukuhkan Jendral Soeharto. Yang sudah memegang TAP MPRS pengemban Supersemar dari Sidang Umum IV MPRS 22 Juni – 5 Juli 1966.  

Zulharmans masuk DPRD DKI dan saya menjadi salah ssatu penulis editorial Harian KAMI serta meliput Merdeka Barat, Merdeka Utara dan Merdeka Selatan. Merdeka Barat adalah kantor pressdium kabinet di mana penulis pidato Pak Harto, Letkol Murdiono menginap seperti indekos. Merdeka Utara Istana Presiden  masih dihuni Bung Karno. Sampai Maret 1967, ketika Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden  Maka Bung Karno dihijrahkan ke Bogor. Kemudian menjelang wafatnya ke Wisma Yaso. Saya meliput wafatnya Bung Karno sudah sebagai wartawan Ekspres 21 Juni 1970. 

Terjadi suatu interaksi yang unik antara Harian KAMI dan Gubernur Ali Sadikin.  Pada jalur politik nasional Harian KAMI berada pada ekstrem oposisi menghadapi slogan yang dilontarkan Panglima KKO waktu itu, Letjen Hartono yang mengatakan “Hitam kata Bung Karno Hitam kata KKO, Putih kata Bung Karno putih kata KKO.” Yang dijawab oleh editorial Harian KAMI dengan “Hitam kata Rakyat hitam kata Kami, Putih kata Rakyat putih kata Kami.”  Tapi di DKI, Harian KAMI dan saya akrab dengan Gubenur Ali Sadikin yang NIP-nya lebih senior dari Hartono.

Pada Agustus 1967, saya menulis usulan merespon Sayembara Mengarang 440 tahun DKI dengan tema bagaimana mengatasi ketiadaan dana untuk pembangunan SD di Jakarta. Dari lobby situasi waktu itu saya mengusulkan terobosan konkret, pembukaan kasino memajaki perjudian untuk membangun gedung SD bagi 600,000 anak usia sekolah.  Esei itu memenangkan hadiah scooter Lambretta untuk penulis dan media yang memuat Harian KAMI. 

Usulan itu sendiri langsung dilaksanakan oleh Pemda DKI dengan pelaksana kasino pengusaha pemilik Tropicana Pasar Baru, Yauw Foet Sen alias Dadi Darma, ayahanda Jan Darmadi. Dengan direktur di lapangan Atang Latief. Saya sendiri terus berkarir di jurnalistik dan belum tergoda atau belum mengalami era euforia hijrahnya aktivis dan relawan politik, masuk dalam jajaran komisaris BUMN atau konglomerat. Tapi seandainya waktu itu saya bergabung jadi salah satu komisaris kasino mungkin tidak akan lahir Ekspres dan Tempo. Takdir saya harus  menjadi salah satu pendiri  majalah Ekspres dan Tempo. 

Setelah terhambat pembekuan SIT majalah Partner saya kembali ke kampus. 10 November 1975 saya menang lomba  esei 30 tahun Kemerdekaan RI usulan UU Anti Monopoli dan Small Business Act.   Saya menjadi salah satu Staf Pribadi Wapres Adam Malik 1978-1983, khusus menangani Dialog Utara Selatan, karena Pak Adam menjadi anggota Dialogue Utara Selatan, yang dipimpin kanselir Jerman Barat Willi Brand. 

Adam Malik lahir 22 Juli 1917, mengawali karir politik sebagai salah satu pendiri kantor berita Antara pada 1937 pada usia baru 20 tahun. Pernah menjadi Ketua KNIP awal Republik, kemudian melejit jadi Dubes RI untuk Uni Soviet, mencapai Persetujuan New York 1962 , Menteri Perdagangan, Menlu dan Ketua Majelis Umum PBB 1971, yang memulihkan hak RRT sebagai anggota tetap DK PBB. Ironis bahwa di saat hubungan diplomatik RI-RRT beku, malah Menlu RI yang memimpin sidang pemulihan hak pendiri dan Permanen 5 RRT di PBB. Suatu nomenklatur bergilir yang menunggu 193 tahun karena rotasi bergilir bagi seluruh anggota PBB. 

Indonesia pernah mengalami masa sulit relasi pers dan pemerintah dengan pembreidelan yang terkadang mematikan. Meskipun sempat terbit kembali di era Orde Baru, 2 ayatollah pers Indonesia, Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dibreidel dua kali, oleh Bung karno dan Pak Harto. Kompas sempat dibreidel 1978, yang ikut berdampak pada  pembreidelan buku saya Wawancara Imajinerdengan Bung Karno.  Dalam istilah Oyong PK waktu itu, ia mempersilakan Jakob Oetama menulis surat permintaan maaf yang berjanji tidak mengulangi kritik terhadap Soeharto. Sebagai imbalan Kompas boleh terbit kembali.  Keduanya konsensus bahwa samangat “berani mati” harus diganti “berani hidup”. Kalau sekadar berani kritik sebagai oposisi, terus dibreidel mati beneran, kan juga tidak berfungsi lagi. Lebih baik memilih “Berani hidup” dengan meminta maaf dan terbit  kembali segar bugar sampai hari ini. 

Nasib Tempo juga mengalami pembreidelan karena memberitakan kasus korupsi pembelian kapal selam eks Jerman Timur, yang terkait Menristek Habibie. Pembreidelan 1994 itu oleh hukum karma sudah dituntaskan oleh Presiden Habibie. Menpen Junus Josfiah menghapuskan SIT dan Tempo bisa terbit kembali setelah rezim berganti tanpa melalui proses “berani hidup” ala Kompas 1978.

Pada 2020  generasi penerus Tempo yang tidak merupakan “dinasti biologis” GM, harus menghadapi situasi dan kondisi persaingan dengan medsos dan generasi milenial era digital yang sulit “dijinakkan” dengan “falsafah canggih” catatan pinggir Tempo. Terutama karena di era Reformasi orang bisa langsung tunjuk hidung, bongkar ungkap kasus tanpa tepo seliro atau basa basi tradisi Orde Baru.  Catatan Pinggir sukses bermetamorfose jadi kritik halus, terselubung, tersirat tanpa harus menjadi “muckraker ala Indonesia Raya”.Tapi medsos setiap hari sudah disuguhi konflik internal bahkan di lingkaran istana secara sangat “telanjang, transparan dan terbuka”. Jadi kalau Tempo masih memakai gaya filsafat kelas Albert Camus generasi milenial akan semakin teralienasi dengan Tempo, termasuk generasi XYZ yang seumur Republik 75 tahun ini. TEMPO HARUS BERANI HIDUP DI ERA MILENIAL. 

Segera harus dicatat bahwa persekusi terhadap pers, justru di zaman Reformasi, ketika “petahana dan pemerintahan” menahan diri , masyarakat termasuk Tempo malah terganggu oleh “kekuatan masyarakat pelanggar HAM” yang mengganggu “Kelompok masyarakat lain”. Kalau ini sudah terjadi memang risikonya konflik horizontal terbuka, anarki kekuatan non negara, impotensi negara terdesak anarkis. GM bisa melobby pada dataran filosofi, tapi pada dataran implementasi politik kebijakan, yang diperlukan oleh nation state Indonesia sekarang adalah terobosan implementasi dan eksekusi program obyektif petahana dalam mendeliver agenda KIM. 

Yang paling mengkawatirkan adalah bila koalisi Jokowi Prabowo gagal men-deliver ideologi Pancasila in action. Dan yang mengambil alih adalah “ideologi Kalifah Balkan ISIS”, maka nasib kita terancam jadi Yugoslavia. Wapres Milovn Jilas menulis buku Kelas Baru, mengingatkan Presiden Tito bahwa korupsi di rezim sosialis akan membahayakan eksistensi Yugoshavia yang akan terjadi pada 1990, pasca runtuhnya Tembok Berlin.

Semoga Tempo dan Indonesia selamat dari bahaya desintegrasi ala Yugoslavia, sebab berdasarkan sejarah setelah pers dibreidel akan timbul musibah karena kritik diabaikan. Pembreidelan koran 1974 karena berita anti korupsi Pertamina oleh Mochtar Lubis terbukti benar ketika 1976 Ibnu Sutowo dipecat karena mewariskan utang 10 miliar dolar AS. Walaupun Ibnu Sutowo membantah bahwa rencana utang konversi Pertamina disabot oleh Wijoyo. 

Pembreidelan Tempo 1994 karena memberitakan korupsi bermuatan pada krismon bangkrutnya ekonomi RI karena praktik KKN. Sekarang 2020 tidak ada ancaman breidel oleh negara dan pemerintah, yang ada ialah ketidakpercayaan masyarakat kepada pers, yang bisa berdampak anarkis atau memicu konflik horizontal ala Yugoslavia, tapi lebih peka karena terkait “agama”.  

Semoga seluruh komponen bangsa menghayati sejarah gonta-ganti rezim dan peranan pers dalam memberi “early waning system”, agar rezim politik Indonesia tidak bubar seperti Yugoslavia dan ISIS Timur Tengah. ( penulis Christianto Wibisono salah satu pendiri Majalah TEMPO)

TAGS : Anatomi pers

Artikel Terkait