Nasional

100 Hari Jokowi-Amin, Potret Keserampangan Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 29/01/2020 10:30 WIB

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma`aruf amin (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Masa kerja Periode kedua pemerintahan Jokowi bersama Ma`aruf Amin telah memasuki 100 hari. Karut marut penegakan hukum dan demokrasi menjadi santapan utama dalam masa kerja 100 hari Jokowi-Amin.

Demikian disampaikan Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Rivanlee Anandar dalam keterangan tertulisnya, pada Selasa, 28 Januari 2020.

"Awal pemerintahan Jokowi periode kedua, ditandai dengan potret buram penegakan hukum dan pelemahan terhadap demokrasi serta pengabaian terhadap hak asasi manusia,” kata Rivanlee.

Penilaian KontraS tersebut didasarkan pada sejumlah kejadian sepanjang awal periode kedua ini. Misalnya, penunjukan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.

"Penunjukan kedua orang yang terduga pelaku pelanggar HAM itu, menurut Rivan, menunjukan keberpihakan pemerintahan Jokowi yang lemah terhadap isu HAM," ungkap Rivanlee.

Kebijakan yang tidak pro HAM ini, lanjut Rivanlee, semakin mengukuhkan dan memperkuat rantai impunitas, sekaligus mencerminkan pengingkaran terhadap semangat reformasi.

Selain itu, Jokowi tidak menjadikan agenda reformasi sektor keamanan sebagai agenda prioritas. Dalam kasus tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo dalam demonstrasi September 2019, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara tidak transparan.
"Dalam penanganan kasus itu, Polda Sulawesi Tenggara hanya memproses pidana seorang polisi, sedangkan 6 lainnya hanya kena sanksi etik," kritik Rivanlee.

Kontras turut mengkritik rencana pemerintah soal perumusan Undang-Undang sapu jagat alias Omnibus Law. Menurut KontraS, aturan ini akan mendorong aktor negara atau non negara untuk berlaku sewenang-wenang. Terlebih, satuan tugas yang menyusun aturan itu kebanyakan dari kalangan pengusaha.

“Omnibus Law hanya ingin memudahkan kelompok pebisnis semata demi sarana pelebaran investasi. namun, luput atas keterlibatan publik dan potensi dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan maupun hak asasi manusia,” kata Rivanlee.

Di lain sisi, menurut Rivanlee, mereka yang melakukan perlawanan demi menjaga lingkungan justru dikriminalisasi.

KontraS mencatat, ada pula upaya pengekangan terhadap kelompok yang melakukan penyampaian pendapat. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan stigma seperti menamakan kelompok tersebut sebagai anarko, komunis, makar bahkan radikal.

"Penyematan istilah itu, telah mengalihkan perhatian dari isu utama, yaitu tuntutan warga negara atas hak-hak masyarakat sipil," tambah Rivanlee.

Terakhir, Kontras juga melihat ada upaya delegitimasi hak asasi manusia melalui pernyataan pejabat dan sejumlah kebijakan. Salah satunya pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD bahwa tidak ada pelanggaran HAM era Jokowi. Ada pula pernyataan Jaksa Agung bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.

“Dalam 100 hari, negara tidak malu menunjukkan ketidakberpihakkannya pada publik, namun memilih untuk melawan rakyatnya sendiri,” ujar Rivanlee.*(Rikardo).

 

Artikel Terkait