Opini

Keseimbangan Energi Bumi, Sebagai Analogi Dalam Menyikapi Pandemi Covid-19

Oleh : Mancik - Jum'at, 29/05/2020 09:30 WIB

Guru Besar Energi Listrik dan Terbarukan pada Universitas Kristen Indonesia, Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D.(Foto:Ist)

Oleh: Prof. Atmonobudi Soebagio Ph.D.*)


INDONEWS.ID - Pemanasan Global Sebagai Penyebab Perubahan Iklim.

Matahari meradiasikan sejumlah besar energinya ke segala arah. Meskipun hanya sebagian kecil yang sampai ke bumi, tetapi sudah cukup untuk menerangi bumi setiap hari,menghangatkan atmosfir dan permukaan bumi, serta membentuk sistem cuaca/ iklim yangteratur di bumi.

Keseimbangan energi bumi adalah keseimbangan antara energi yang dipancarkan matahari menuju bumi dan energi yang dipantulkan kembali oleh bumi ke ruang angkasa.Besaran yang menggambarkan perbandingan antara energi matahari yang sampai di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali ke ruang angkasa disebut Albedo.

Bila energi yang datang ke bumi dan yang dikembalikan ke ruang angkasa berlangsung seimbang, maka suhu bumi akan relatif konstan dan nyaman. Dengan cara inilah bumi mengalami suhu atmosfir yang nyaman dan iklim yang teratur. Tiga faktor, yaitu: pemusnahan hutan (deforestasi) yang sangat luas, jarak antara bumi dan matahari, dan jumlah partikel debu di atmosfir, telah menghalangi jumlah energi yang dikembalikan ke ruang angkasa.

Faktor-faktor tersebut semakin menguat ketika emisi gas karbon dioksida yang ditimbulkan oleh kegiatan sektor industri, transportasi, dan pembangkitan listrik (berbahan bakar fosil) semakin meningkat jumlahnya. Sebagai gambaran, sebuah PLTU Batubara akan mengemisikan gas CO2 sebanyak 960 kg untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1 megawatt setiap jamnya (MWh). Padahal, jumlah PLTU Batubara di negara ini memasok 42,34% kebutuhan listrik nasional, atau sebesar 27.489,16 MW.

Jika kita hitung jumlah total emisi CO2 tersebut selama setahun (8760 jam), maka seluruh PLTU Batubara akan mengemisikan gas CO2 sebesar 231,17 juta ton di atmosfir setiap tahunnya. Jumlah tersebut belum termasuk emisi CO2 yang ditimbulkan oleh kendaraan pribadi, transportasi umum darat, laut dan udara yang menggunakan bahan bakar fosil cair maupun gas.

Gas CO2 bersama gas-gas rumah kaca lainnya, menyelimuti atmosfir bumi sehingga menghalangi energi yang dipantulkan kembali oleh bumi ke ruang angkasa. Kondisi tersebut telah menjadi penyebab utama pemanasan global yang berdampak pada terjadinya perubahan iklim. Akibatnya adalah berupa kenaikan rerata suhu bumi sehingga menyebabkan lumernya salju/es abadi di kedua kutub, maupun yang ada di puncakpuncak gunung tinggi di beberapa bagian dari bumi kita.

Hujan yang sangat lebat disertai banjir yang menggenangi lahan secara luas, maupun kemarau yang sangat panas dan kering adalah indikator dari terjadinya perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim yang kita rasakan saat ini merupakan bagian dari proses bergesernya keseimbangan energi bumi ke titik kestabilannya yang baru, yaitu stabil pada rerata suhu atmosfir yang baru; yang tentunya lebih panas dari pada suhu sebelum terjadinya perubahan iklim.

Upaya untuk mengembalikan keseimbangan energi bumi telah dilakukan oleh para aktivis lingkungan hidup di banyak negara, tetapi tidak sepenuhnya berhasil karena tidak diikuti oleh seluruh warga bumi. Mereka yang tidak percaya akan fenomena tersebut menganggap bahwa suhu bumi tidak berubah. Mungkin hal itu karena perubahan suhu tersebut hanya satu digit saja, sehingga tidak terasa.

Dalam konteks nasional, kebijakan ekspor batubara yang pembentukannya memerlukan waktu ratusan juta tahun, masih terus berlangsung. Padahal potensi batubara maupun minyak bumi dan gas alam di Indonesia, juga sangat diperlukan dan menjadi hak puluhan generasi mendatang bangsa ini selama mereka belum berhasil memanfaatkan energi penggantinya secara penuh dan berkelanjutan.

Sayangnya, kenaikan ekspor batubara dalam jumlah besar tersebut malah dianggap sebagai prestasi yang membanggakan. Sudah saatnya dikeluarkan larangan ekspor tersebut dan digantikan dengan kebijakan berupa insentif bagi penemuan dan pemanfaatan energi primer lainnya yang lebih ramah lingkungan dan ketersediaannya tidak terbatas di bumi kita.

Normal Baru Sebagai Cara Hidup Pasca Pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 dapat kita analogikan dengan pemanasan global, sebagai akibat perilaku manusia yang tidak peduli dengan lingkungan hidupnya. PSBB merupakan salah satu upaya kita untuk menghambat atau meminimalkan korban pandemi tersebut. Dalam menyikapi PSBB, sebagian masyarakat sangat patuh pada anjuran Pemerintah dan melakukannya dengan disiplin.

Masyarakat tersebut dapat kita analogikan dengan manusia yang sadar tentang risiko pemanasan global dan berusaha untuk untuk menghambat
peningkatannya dengan mengubah cara hidupnya. Sebaliknya, mereka yang tidak patuh dapat kita samakan dengan orang-orang yang tidak peduli terhadap risiko pemanasan tersebut dan tetap melakukan aktifitasnya yang menimbulkan lonjakan jumlah karbon dioksida di atmosfir.

Cara hidup normal baru pasca pandemi, dapat dianalogikan dengan budaya yang hemat energi, bersih lingkungan, dan peduli terhadap kebutuhan energi dari generasi yang akan datang dengan cara menghemat pemakaian listrik, maupun bahan bakar fosil lainnya.

Cadangan bahan bakar tersebut di negara ini akan habis dalam hitungan kurang dari 50 tahun ke depan apabila diekspor dalam jumlah besar.

Semua perilaku dalam mematuhi PSBB, hidup sehat, makanan bergizi, bersih lingkungan, dan kepedulian dalam membantu sesama yang tidak bisa mengubah cara hidupnya karena rendahnya penghasilan, merupakan cara hidup normal baru yang akan membuat Covid-19 melemah dan akhirnya menjadi virus biasa yang penderitanya dapat diobati dengan mudah dan murah; sebagaimana virus-virus lainnya yang sudah ada sebelumnya.

Kiranya budaya normal baru serta budaya responsif terhadap perubahan iklim akan mengubah cara hidup kita sejak sekarang dan di tahun-tahun berikutnya. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk melakukannya. Amin.

*) Penulis adalah Guru Besar Energi Listrik dan Terbarukan pada Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Artikel Terkait