Sosok

Mengungkap Sosok George Floyd, Nama yang Bikin AS Membara

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 03/06/2020 10:30 WIB

Beberapa aktivist mengambil foto di depan street painting George Floyd (Foto: Ist)

Mengungkap Sosok George Floyd, Nama yang Bikin AS Membara

Jakarta, INDONEWS.ID - Amerika Serikat (AS) kini dilanda protes keras dari masyarakat selama delapan hari terakhir. Bahkan di beberapa negara bagian, protes itu berujung kerusuhan, seperti bentrok dengan petugas, pembakaran hingga penjarahan.

Semua tak lepas dari kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd, di Minneapolis, pekan lalu. Floyd tewas secara mengenaskan di tangan petugas kepolisian berkulit putih.

Setidaknya, dikutip dari CNN International, pada pekan lalu ada tiga negara bagian sudah menyatakan status darurat. Sementara itu, 40 kota juga dikabarkan menerapkan jam malam.

Bahkan Presiden AS Donald Trump memerintahkan militer turun ke jalan-jalan. Setidaknya 17.000 Garda Nasional, unit militer Pentagon yang termasuk dalam tentara cadangan nasional, sudah diterjunkan di sejumlah titik di negeri itu.

Sosok George Floyd

Lalu mengapa kerusuhan muncul? Siapa George Floyd yang membuat AS membara? George Floyd adalah seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun. Ia tewas karena tindakan oknum polisi Minneapolis yang menahannya.

Seperti ditulis AFP, Ia meninggal saat hendak ditangkap. Kematiannya justru membuat semangat anti rasisme di AS menyebar. Tragedi ini, bermula saat Floyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu. Uang yang ia gunakan senilai US$ 20 (Rp 292 ribu).

Laporan itu disampaikan pada 25 Mei siang, ketika Floyd membeli sebungkus rokok dari sebuah toko kelontong, Cup Foods. Pegawai toko melapor ke polisi karena meyakini uang tersebut palsu.

Dalam laporan ke 911 sekitar pukul 20.00 itu, sang pegawai mengaku gerak-gerik Floyd mencurigakan. Dalam transkrip percakapan yang dirilis otoritas setempat, ia meminta Floyd mengembalikan rokok yang dibeli namun ditolak.

Ia bahkan menilai Floyd tengah mabuk dan tidak menguasai diri. Tak lama setelahnya, sekitar pukul 20.08, polisi datang ke tempat kejadian dan menghampiri Floyd yang duduk di ujung luar toko.

Dalam sebuah video yang menjadi viral, saat penangkapan terjadi, sang polisi bernama Derek Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya. Padahal ia dalam keadaan sedang diborgol dan menelungkup di pinggir jalan, selama kurang lebih tujuh menit.

Dalam video itu terlihat floyd berkali-kali merintih kesakitan dan mengaku sulit bernafas. Floyd bahkan sempat menangis dan memanggil ibunya sesaat sebelum tewas.

"Lututmu di leherku. Aku tidak bisa bernapas... Mama. Mama," ujar George diiringi dengan rintihan sebelum tewas.

Beberapa masyarakat yang berada di lokasi kejadian meminta Chauvin untuk melepaskan lututnya dari leher Floyd. Sayangnya permintaan tersebut tidak diindahkan.

Saat Floyd tidak lagi bergerak dan merintih, ia langsung dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulan. Sesampainya di rumah sakit Hennepin County Medical Center, ia dinyatakan meninggal dunia.

Belakangan diketahui, dikutip dari BBC, pemilik toko bernama Mike Abumayyaleh mengatakan sebenarnya Floyd adalah sosok yang ramah. Bahkan termasuk langganan toko tersebut.

"Ia pelanggan yang baik dan tidak pernah membuat masalah," tulis BBC melansir wawancaranya dengan NBC.

Tapi naas, saat itu Abumayyaleh memang tidak berada di toko. Pegawainya yang remaja dan baru, dikatakannya hanya melakukan prosedur ketika melihat sesuatu yang mencurigakan.

Kematian Floyd akibat oknum polisi ini memicu kemarahan publik, khususnya warga kulit hitam. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kasus pembunuhan tersebut.

Alhasil Derek Chauvin dipecat. Bukan hanya dirinya, tiga rekannya yang juga ada dalam penangkapan yakni Tou Thao, Thomas Lane, dab J. Alexander Kueng juga diberhentikan dari kepolisian.

Namun, hal ini belum membuat komunitas di sana tenang. Kematian Floyd di tangan polisi, akhirnya membangkitkan problem "rasisme" di AS.

Perlakuan polisi terhadap komunitas kulit hitam AS, memicu demonstrasi besar. Dalam catatan BBC, ada beberapa peristiwa kematian warga AS keturunan Afrika yang melibatkan polisi di Minnesota.

Pertama terjadi di 2015 melibatkan pria berusia 24 tahun bernama Jamar Clark. Tanpa dakwaan apapun, ia ditembak dalam keadaan diborgol, padahal tidak melawan petugas.

Kedua, Philando Castile pada tahun 2016 lalu. Ia ditembak mati oleh polisi saat mobilnya diminta untuk berhenti di pinggir jalan.

Kala itu, polisi meminta Castile menunjukkan dokumen kartu identitas dan SIM. Ia lalu ditembak karena diduga hendak mengambil senjata.

Dari survei di tahun 2018, yang dilakukan Politico dan Morning Consult, rasisme di AS memang makin buruk saat Trump menjadi pemimpin. Setidaknya 55% warga AS yang disurvei mengakui hal tersebut, sementara 18% tidak.*(Rikard Djegadut).

 

Artikel Terkait