Opini

Polemik Pahlawan Nasional

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 16/06/2020 09:30 WIB

Mantan Kepala BIN Hendropriyono dan Sultan Hamid II (Foto:Ist)

Oleh: Christianto Wibisono, penulis buku Kencan Dinasti Menteng

Dekrit Presiden Sukarno No. 241 Tahun 1958 memberi gelar pertama Pahlawan Kemerdekaan Nasional  pada 30 Agustus 1959 kepada politisi cum penulis Abdul Muis, yang wafat pada bulan sebelumnya

Ketika Suharto berkuasa pada pertengahan 1960-an, gelar tersebut berganti nama menjadi Pahlawan Nasional. Gelar khusus Pahlawan Revolusi diberikan pada tahun 1965 kepada sepuluh korban peristiwa Gerakan 30 September. 

Sementara Sukarno dan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta diberikan gelar Pahlawan Proklamator pada 1988 karena peran sebaga  proklamator 
170 pria dan 15 wanita telah diangkat sebagai pahlawan nasional. 

Yang paling terbaru adalah Roehana Koeddoes, Himayatuddin Muhammad Saidi, Sardjito, Abdul Kahar Mudzakkir, Alexander Andries Maramis, dan Masjkur pada tahun 2019. 

Pahlawan-pahlawan tersebut berasal dari seluruh wilayah di kepulauan Indonesia, dari Aceh di bagian barat sampai Papua di bagian timur. 

Mereka berasal dari berbagai etnis, meliputi pribumi-Indonesia, peranakan Arab, Tionghoa, India, dan orang Eurasia. Mereka meliputi perdana menteri, gerilyawan, menteri-menteri pemerintahan, prajurit, bangsawan, jurnalis, ulama, dan seorang uskup.

Bung Karno mendadak muncul 15 Juni 2020 sambil memforward polemik sekitar usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Sultan Hamid II yang ditolak oleh mantan Kepala BIN Hendropriyono dan memicu protes dari keturunan Sultan Hamid elite ex Kesultaran Kalbar. 

BK :Bung Chris kita harus serius bahas ini secara once and for all dan sekaligus memakai untuk Omnibus Rekonsiliasi. 

CW: Ya silakan bapak akan invite 3 presiden lain untuk ikut bicara?
1. Abdoel Moeis Hassan
2. Abdurrahman Ambo Dalle
3..Abdurrahman Wahid
4. Ade Irma Suryani Nasution
5. Ali Sadikin
6. Andi Mattalata
7 Chairil Anwar
8. Gesang Martohartono
9. Muffreni Mu'min
10  Pakubuwana X dan Pakubuwana XI
11. Suharto
1 2. Syarif Hamid II dari Pontianak
13. .Usmar Ismail

BK: Ini supaya fair tiak ada konflik kepentingan saya hanya minta Habibie bicara, sebab dalam daftar calon penerima gelar Pahlawan Nasional,  Jendral Soeharto dan Gus Dur dicalonkan. Tentu mereka akan ewuh pakewuh kalau jual kecap untuk diri sendiri. 

Soeharto: Siap pak saya absen meski ingin bicara tuntas tapi kali ini absen atau setuju abstain, masak kita promosi diri sendiri. OK setuju ya Gus.

Gus Dur: Saya Cuma komentar itu no 4 itu bocah umur 5 tahun memang gugur ketembak pasukan penculik Jendral Nasution, tapi yang mengusulkan itu barangkali belum lahir tahun 1965 sehingga tidak paham masak anak balita diorbitkan jadi Pahlawan Nasional. 

Ini kan keteledoran sejarah pencitraan politik yang sangat keterlaluan. Next time saja kita bahas lebih nuchter.

BK: Nah tinggal Habibie yang boleh dan harus kasih komentar.
Habibie: Saya juga baru sadar bahwa panitia hanya boleh kerja setelah orang jadi almarhum, gelar Pahlawan Nasional itu anumerta, kalau masih hidup segar bugar tidak boleh dicalonkan, malah bisa “cepat mati” barangkali. 

Saya kan baru arrival di Nirwana Baqa ini 11 September 2019, jadi belum di nominasikan.  Saya rasa kita ini mesti dewasa, arif bijaksana dan jangan ke kanak kanakan atau malah keterlaluan politisasi, politicking dan kemunafikan kita.

Lebih baik kita zakelijk lugas, daripada bikin putusan kebijakan yang ambur adul, kriteria kacau balau dan sejarah politik bisa diubah gonta ganti sesuai selera elite yang berkuasa atau menang sesaat dan sejarah hilang obyektivitasnya. 

BK: Konkretnya bagaimana kok jadi ruwet kayakilmu termodinamika pesawat.

Habibie: Pak Bung Besar Bung Karno, saya adalah honest broker, pendamai Presiden Soeharto dengan musuh bebuyutan Jendral Nasution dan Ali Sadikin cs. Sejak keduanya bikin Petisi 50 1978 maka mereka di jotake (bahasa Jawa) : tidak diacak bicara dan di persona non gratakan dari daftar undangan. 

Jadi Petisi 50 itu kayak virus Covid tidak boleh datang karena Soeharto tidak mau datang. Kalau ada oknum Petisi 50. Itu berlaku hampir 20  tahun sampai 1993 ketika Jendral Nasution sakit saya bezoek dan coba pertemukan dgn Presiden Soeharto. Makan waktu lama sampai 1997 baru berdamai dengan penganugerahan pangkat Jendral Besar Bintang Lima kepada Nasution dan Soeharto sekaligus. 

Tapi ibu Tien Soeharto sudah diberi gelar Pahlawan Nasional langsung pada 1996. Saya pelajari daftar penerima, ada 49 menteri kabinet termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, yang gelarnya Proklamator.

BK: Ya saya malah tersinggung ketika Ali Murtopo omong pokrol bambu bahwa buat Bung Karno itu gelar Proklamator berdua Hatta, tidak ada orang lain, dan ratusan pahlawan nasonal itu juga tidak setara dengan Proklamator. 

Pokrol bambu  model Ali Murtopo itu jelas mau menjilat saya dan saya salut bahwa tidak ada keluarga atau orang atau panitia atau yayasan yang sibuk berpromosi mencari alibi untuk mencalonkan saya jadi Pahlawan Nasional. 

Ini birokrasi pemberian gelar benar benar harus di reformasi. Dulu saya sesuai selera saya memberi gelar, Lalu banyak yang karena dianggap kiri dan komunis, seperti Alimin dan Tan Malaka,  mau dicoba dihapuskan dari daftar oleh Orde Baru. 

Pahlawan itu ya rekam jejak kinerja profesionalnya sebagai figur publik konsisten dan terasa, berpengaruh pada masyarakat dan tidak terlibat dalam konflik politik yang menjurus kriminal dan pemberontakan. Nah  dalam soal Pahlawan Nasional tahun ini heboh polemik yang disulut oleh stateen Hendropriyono tentang Sultan Hamid, kita maju ke Agenda Rekonsiliasi Omnibus. 

Sudah seluruh elite kita saling dimaafkan dan dipertobatkan serta diterima penyesalan dan pertobatannya. Mulai dari Tan Malaka yang pernah “mengakali” saya keluarkan Surat Wasiat mewariskan kepemim[pinan revolusi kepada Tan Malaka, bila saya dan Hatta berhalangan. 

Lho ini negara apa inventaris mebel kok diwariskan kayak milik pribadi. Lalu ada banyak pemberontakan APRA , RMS, Andi Azis, DI/TII, PRRI/Permesta dan G30/S. Itu kita tutup buku semua karena mantan Presiden/PM dan menteri PRRI semua juga sudah jadi Pahlawan Nasional. 

Saya heran ya orang masih mengharapkan gelar Pahlawan “politik”. Padahal yang diperlukan Indonesia sekarang ini pahlawan tehnologi seperti Habibie yang harus berinovasi dan inventor masa depan bukan jualan biografi masa lalu yang penuh konflik kemunafikan.

Kalau menurut saya, Kementerian Sosial harus meninjau ulang dan menyusun kriteria baru Pahlawan agar tidak berorientasi ke “mumi Mesir”masalalu tapi pahlawan inovator masa depan. Kalau gelar Pahlawan Nasional diobral untuk keluarga, kerabat, hopeng, wah lebih baik tidak usah bikin Pahlawan yang dipaksakan secara tidak lucu. 

CW: Jadi kita tutup diskusi ini untuk dibahas lebih konkret tanpa konflik kepentingan sehingga Pak Harto dan Gus Dur bisa aktif ikut memberikan evaluasi kritis obyektif tentang gelar Pahlawan Nasional tanpa ewuh pakewuh membicarakan diri sendiri. Terima kasih bapak-bapak semoga ini dibaca pak Hendropriyono dan Menteri Sosial. *

Artikel Terkait