Opini

Pilkada Mabar, Gusti Dula dan Kedaulatan Pariwisata

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 07/07/2020 15:30 WIB

Rian Agung adalah warga Manggarai Barat. Rian merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta (Foto: Ist)

Oleh: Rian Agung*)

Opini, INDONEWS.ID - Sempat mengalami tarik-ulur, pemerintah akhirnya memutuskan penyelenggaraan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 akan diselenggarakan pada 9 Desember tahun ini.

Semula, Pilkada dijadwalkan pada 23 September, tetapi oleh beberapa pertimbangan - terutama mengingat gamangnya pemutusan rantai penyebaran pandemi Covid-19, hajatan lima tahunan itu terpaksa ditagguhkan.

Penangguhan itu menyusul diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Perpu Pilkada).

Secara garis besar, undang-undang ini mengamanatkan, Pilkada tetap bisa dilangsungkan pada tanggal 9 Desember tahun ini tetapi semua peraturan teknis terkait itu harus tetap merujuk pada kebijakan preventif penyebaran virus korona, salah satunya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Manggarai Barat (Mabar), Kabupaten yang terletak di ujung barat pula Flores merupakan satu dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengambil bagian dari hajatan bergensi itu.

Untuk Mabar sendiri, peristiwa monumental ini bakal menyedot atensi publik karena ada begitu banyak kepentingan yang akan dipertaruhkan. Kedaulatan Pariwisata merupakan satu dari sekian banyak proposal penting yang harus dielaborasi dengan baik oleh masing-masing kandidat sebagai daya tawar untuk memantik animo pemilih.

Hal ini cukup beralasan mengingat Mabar memiliki banyak potensi wisata yang menjanjikan apabila dikelola dengan baik. Keinginan rakyat Mabar sebenarnya sangat sederhana, yakni: pemimpin mesti memiliki terobosan baru untuk menata kedaulatan pariwisata.

Menegakkan kedaulatan pariwisata, harus selalu merujuk pada tata-kelola pariwisata yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal, dan outputnya harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat bukan terobsesi pada kepentingan investor dan pemilik modal.

Dalam dua periode kepemimpinan Bupati Gusti Dula, kita tidak menemukan tata-kelola pariwisata semacam itu. Gusti Dula gagal mengelaborasi pembagunan pariwisata yang berkedaulatan dan tidak memiliki komitmen kuat untuk mengelola semua spot wisata di Mabar sebagai daerah dengan destinasi wisata bertaraf premium. Track record kurang memuaskan Gusti dalam mengelola pariwisata Mabar bisa dilacak dari beberapa catatan berikut.

Pertama, privatisasi pantai pede. Polemik sekitar privatisasi Pantai Pede membuka mata publik Mabar bahwa Gusti tidak memiliki keberpihakan pada pengelolaan pariwisata yang berkedaulatan.

Jamak diketahui, semula, Gusti abai mengakomodasi aspirasi masyarakat yang meminta agar pengelolaan pantai pede tidak diserahkan kepada pihak ketiga, yakni PT. Sarana Investama Manggabar (SIM).

Kala itu, sang Bupati bermanuver, pantai Pede berada di bawah kekuasaan Gubernur. Karena keterbatasan wewenang, lantas, beliau berdalih tidak memiliki legitimasi sama sekali untuk mengambil alih kekuasaan atas Pantai Pede sebagai satu-satunya ruang wisata terbuka untuk publik Mabar di saat tempat wisata lain telah terkapitalisasi dan berada di bawah genggaman pemilik modal.

Namun manuver sang Bupati tidak lebih dari tameng untuk mempertahankan status quo. Pasalnya, argumen orang nomor satu di Mabar itu cenderung kebablasan karena berbenturan dengan jejak yuridis tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat sendiri. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2003, utamanya pasal 13 b ayat (1) tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat tegas menyatakan:

"Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Manggarai Barat, Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Bupati Manggarai sesuai dengan perundang-undangan menginventarisasi, mengatur, dan melaksanakan penyerahan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat hal-hal sebagai berikut: … (b) barang milik kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan, barang bergerak dan barang tidak bergerak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Manggarai yang berada dalam wilayah Kabupaten Manggarai Barat”.

Fakta yuridis ini seharusnya cukup menjadi landasan yang kuat agar Gusti tampil berani dan lebih tegas untuk membela hak-hak masyarakat yang berpotensi ditindas oleh sebuah kekuasaan. Ia harus memiliki otonomi diri yang kuat sehingga bisa menangkal segala godaan yang melukai kemashlatan publik.

Hari ini, sekalipun pantai pede berhasil diambil alih dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi, ingatan publik Mabar tetap membekas, Bupati Gusti punya jejak "merah" dalam tata-kelola pariwisata. Ia tampil memunggungi tangisan masyarakat kecil korban privatisasi dan saat bersamaan tidak menunjukan disposisi moral yang kuat untuk membela kepentingan rakyat.

Kedua, Manajemen Pengelolaan Sampah. Sebagai daerah wisata kelas premium, manajemen pengelolaan sampah di Kota Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat sangat buruk.

Yang memalukan, akibat keteledoran ini, Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus turun tangan. KLHK bekerja sama dengan PT. Pupuk Indonesia hanya untuk mengurus sampah di wilayah administrasi pimpinan Bupati Agustinus Dula dan Wakil Bupati Maria Geong.

Pertanyaannya, di mana posisi Gusti dan Maria yang memegang kendali penuh jalannya roda pemerintahan di Kabupaten Mabar? Tak ada yang salah ketika pemerintah pusat terlibat dalam membenahi masalah sampah di Labuan Bajo, tetapi disadari atau tidak ini akan menjadi predesen buruk di tubuh Pemerintah Mabar.

Lebih parah, secara gamblang, fakta ini sebenarnya mau menegaskan Pemerintah Mabar lemah dan tak berdaulat untuk mengurus sampah di wilayah administrasinya demi menunjang pembangunan pariwisata yang berkedaulatan.

Pintu Masuk Menata Kedaulatan Pariwisata

Kedaulatan Pariwisata dibutuhkan publik Mabar. Karena itu, dibutuhkan semacam pintu masuk atau titik star agar kedaulatan pariwisata benar-benar terwujud.

Momentum pilkada bisa dijadikan pisau bedah untuk memotong tangan-tangan oligarkis yang sering menyusup-masuk dalam sebuah organisasi kekuasaan formal-independen. Kenapa Pilkada? Tesisnya sederhana. Pilkada merupakan ajang memilih pemimpin yang menahkodai Mabar lima tahun ke depan.

Di tangan seorang pemimpin, segala kebijakan publik yang menunjang kesejahteraan bersama akan dipertaruhkan, termasuk terciptanya kedaulatan pariwisata. Dari pada itu, Pilkada esok harus benar-benar dimaknai untuk menggapai tujuan mulia itu. Cita-cita bersama itu hanya akan terwujud apabila:

Pertama, setiap kandidat beserta tim suksesnya harus berani meninggalkan habitus politik lama, di mana visi-misi pemenangan harus dirancang oleh basis legitimasi moral dan etika berdemokrasi bukan semata-mata oleh kalkulasi ekonomi dengan menggunakan beragam cara dan pendekatan yang pragmatis-transaksional.

Selain itu, semaksimal mungkin materi kampanye yang diusung setiap kandidat harus dititikberatkan pada edukasi politik dan demokrasi. Untuk menunjang kedaulatan pariwisata misalnya, kandidat dan tim sukses harus mampu mengadvokasi masyarakat agar terlibat aktif dalam setiap pembangunan pariwisata dengan memaksimalkan seluruh potensi dan peluang yang ada, baik dari sisi Sumber daya manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA) dan kreasi kebudayaan.

Kandidat sendiri juga harus memiliki konsep pembangunan pariwisata yang berkedaulatan dan harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa tujuan pembangunan pariwisata pertama dan terutama adalah menunjang kesejahteraan masyarakat bukan untuk mengisi dompet pemimpin, pemodal dan birokrat.

Kedua, Masyarakat sendiri harus punya standar dan privelensi dalam memilih. Untuk menunjang kedaulatan pariwisata, sebaiknya jangan beri ruang untuk mereka yang punya track rekord buruk. Jatuhkan pilihan pada kandidat yang punya track record jelas dan punya terobosan baru untuk menunjang pembangunan pariwisata.

Usahakan, titik lemah pemimpin terdahulu bisa membantu kita untuk menentukan pilihan. Bahwa seorang pemimpin harus punya keberanian dan sikap yang tegas untuk menentang kekuatan yang menindas hak-hak masyarakatnya.

Salah satu cara agar pilkada kali ini bisa membawa terobosan baru dalam dunia pariwisata adalah dengan memberi tinta merah pada kandidat yang tidak memiliki keberpihakan pada kedaulatan pariwisata. Mereka-mereka ini akan dengan mudah dilacak, ada yang pernah masuk dalam kekuasaan, ada yang seolah-olah diam tapi menitipkan kepentingannya pada penguasa.

Makanya masyarakat harus jeli. Ingat, salah memilih bisa mendatangkan petaka. Kita akhirnya berharap, Pilkada Mabar kali ini, di tengah guncangan badai kemanusiaan Covid 19 - kelak harapan akan dituai, pariwisata Mabar semakin bersinar dan masyarakat semakin sejahtera.*

*) Rian Agung adalah warga Manggarai Barat. Rian merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta.

Artikel Terkait