Nasional

Merestorasi Kampanye Politik

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 26/11/2021 20:47 WIB

Rian Agung, S.H, Paralegal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta

Oleh Rian Agung, S.H

Paralegal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta

Opini, INDONEWS.ID - Kampanye politik menjelang Pemilu dan Pilkada selalu saja berkutat pada hal-hal yang sifatnya isidentil (sesaat), tidak substantif dan minim edukasi politik.

Kita bisa melihatnya pada setiap kali pergelaran kampanye, baik di tingkat lokal (Kabupaten/Kota dan Provinsi) maupun secara nasional. Dan sekalipun masa kampanye pemilu/pemilukada telah berlalu, diskursus publik harus tetap hidup, bila perlu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan dengan memaksimalkan saluran-saluran demokrasi yang ada.

Dua Alasan

Kurang lebih ada dua alasan mendasar mengapa kampanye politik menjadi tema penting untuk dibicarakan tanpa membatasi diri pada ruang dan waktu tertentu. Pertama, kampanye politik berimplikasi pada kebijakan-kebijakan publik pelaku politik di berbagai level.

Saya termasuk orang yang sedari awal menyadari, road map kampanye politik kita tidak bersandar pada demokrasi substansial melainkan lebih pada kepentingan jangka pendek, pragmatis dan dipengaruhi tekanan massa yang memiliki ikatan psikologis tertentu dalam suatu kelompok masyarakat.

Akibat langsungnya dapat kita rasakan saat ini. Banyak kebijakan publik yang tidak berdaya guna, mubazir dan tidak menyentuh aspek esensial kebutuhan masyarakat. Kalaupun ada aktor politik (Gubernur, Bupati, DPRD dan pejabat publik) yang sering mengidentifikasikan diri sebagai pelayan dan wakil rakyat, kehadiran mereka sebenarnya lebih menonjolkan diri sebagai "pesulap" ketimbang sebagai pelayan publik yang dengan kesadaran penuh melaksanakan tugas-tugas pokoknya.

Sebagai pesulap, yang bersangkutan menyeret pikiran publik ke arah kedangkalan, seolah-olah pembangunan terbatas pada pembagian sembako saat kunjungan kerja (Kunker) seorang Bupati dan saat reses anggota DPR/DPRD.

Pada bagian lain, glorifikasi yang berlebihan pada pembangunan infrastuktur saat kampanye membentuk persepsi yang sempit di tengah-tengah masyarakat terkait tugas-tugas pokok pejabat publik. Hari-hari ini misalnya, masyarakat mengukur kinerja anggota dewan (DPR/DPRD) berdasarkan tolok ukur yang pragmatis, operasional dan sensasional.

Konsekuensinya jelas, sebagai anggota dewan, Anda siap dicaci maki dan tidak akan diperhitungkan apabila lalai menjalankan proyek infrastruktur yang disertai kalkulasi untung-ruginya dengan pemodal-pemodal besar yang mendanai seluruh biaya kampanye politik.

Anda juga tidak akan pernah diperhitungkan apabila tidak melibatkan diri secara penuh dalam setiap hajatan besar (nikahan, syukuran dan upacara-upacara lainya) di daerah pemilihan (dapil).

Sepintas, tuntutan masyarakat di atas tampak biasa-biasa saja, lumrah dan wajar. Tetapi mengaitkan hal-hal sensasional semacam ini dengan prestasi dan kinerja pejabat publik adalah sebuah kekeliruan besar yang sewaktu-waktu dapat menciptakan kebudayaan politik dan demokrasi baru yang semberono.

Kedua, menciptakan kesadaran dan pemahaman baru. Orientasi jangka panjang dari diskursus seputar kampanye politik adalah menciptakan pemahaman dan kesadaran politik yang berlandaskan ruh-ruh demokrasi.

Langkah paling awal untuk menumbuhkan semangat baru ini adalah merestorasi Kampanye politik. Muatan materi kampanye dengan itu harus berorientasi pada perbaikan kualitas demokrasi dengan mempublikasi secara masif narasi-narasi yang lebih substansial.

Hal-hal sensasional sebagai rujukan materi kampanye yang selama ini lazim dilakukan, harus segera disingkirkan sehingga dapat tercipta nilai-nilai demokrasi yang otentik dan berkeadaban.

Selain itu, restorasi kampanye politik juga harus menghadirkan pertarungan politik yang sehat dengan ide-ide dan konsep pembangunan yang cerdas.

Kecerdasan argumentatif untuk menuangkan ide-ide cemerlang saat kampanye merupakan tuntutan etis yang harus dipenuhi pelaku politik sehingga masyarakat mendapatkan edukasi politik yang baik serta gambaran yang jelas tentang program-program yang harus dikerjakan oleh pejabat publik.

Saya yakin jika ini dilakukan secara konsisten, gejala munculnya kebudayaan politik semberono yang ditandai dengan menguatnya tuntutan masyarakat yang tidak relevan dengan tugas dan fungsi pejabat publik akan mampu diredam.

Digitalisasi Kampanye

Kampanye politik sebagai bagian penting dari proyek penataan demokrasi harus selalu mengalami pembaharuan. Pembaharuan itu harus terencana dan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat.

Dalam rangka itulah digitalisasi kampanye politik harus mendapat perhatian penuh dari seluruh lapisan masyarakat, Partai politik dan pejabat publik.

Secara sederhana, konsep digitalisasi dapat dipahami sebagai proses pemakaian atau penggunaan sistem-sitem digital (internet) atas semua kegiatan-kegiatan manusia tak terkecuali untuk aktivitas-aktivitas yang berkaitan langsung dengan politik dan demokrasi.

Dalam kaitannya dengan kampanye politik, digitalisasi merupakan langkah strategis untuk mencapai digitalisasi demokrasi. Keunggulan digitalisasi demokrasi tentu saja terletak pada pertukaran ide dan gagasan lewat penyebaran informasi dengan karakteristik yang tidak terbatas, menjangkau semua golongan, multiarah dan interaktif.

Kemudahan-kemudahan inilah yang harus dimaksimalkan sedemikian rupa untuk menunjang pendidikan politik dan demokrasi lewat kampanye yang terencana, sistemik dan terukur.

Melalui digitalisasi demokrasi pula, kampanye diharapkan semakin berorientasi mendekati nilai-nilai ideal (moralitas) dari pada sekedar menonjolkan gejala-gejala absurd sebagaimana fakta empirik yang terjadi selama ini. Partai politik dengan itu harus menjadi ujung tombak untuk memperkuat digitalisasi demokrasi.

Sebelum terjun ke medan politk, kader-kadernya harus dibekali dengan literasi digital yang memadai, yang tentu saja berangkat dari kegamangan situasi sosial politik selama masa kampanye yang minim edukasi politik. Di level akar rumput, pesan-pesan politik harus dikemas sesuai kebutuhan rill masyarakat sambil menghindari personifikasi politik.

Salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk mencapai cita-cita tersebut di atas adalah memaksimalkan jejaring media sosial. Media sosial harus menjadi semacam ruang interaksi yang aman dan nyaman, ruang pertukaran ide dan gagasan untuk mencapai kematangan demokrasi tanpa kontrol yang berlebihan oleh sebuah rezim tertentu.

Pada akhirnya mengubah kultur kampanye politik dari sekadar perayaan seremonial dan sensasional ke dalam sebuah tatanan yang lebih ideal merupakan ikhtiar bersama seluruh elemen bangsa yang tidak terbatas pada wacana tetapi nyata dalam setiap kebijakan publik, visi-misi dan garis ideologi partai.*

Artikel Terkait