Nasional

Cacat Logika Putusan MA Terhadap Edhy Prabowo

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 14/03/2022 16:30 WIB

Paralegal, Rian Agung, S.H (Foto: Ist)

Oleh Rian Agung, S.H* (Paralegal, Alumni Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta)

Opini, INDONEWS.ID - Mahkamah Agung (MA) baru saja membuat keputusan yang sangat kontroversial terhadap terdakwa kasus suap ekspor benih lobster, Edhy Prabowo. Selain kontroversial, putusan ini merupakan bentuk penghinaan terbuka terhadap konstitusi karena mencederai logika dasar prinsip penegakan hukum.

Padahal, dalam ilmu hukum, logika merupakan instrumen penting yang membantu proses penalaran hukum sehingga dapat menghasilkan argumentasi dan keputusan hukum yang logis, sahih dan tidak membingungkan.

Dalam hukum positif, logika mengacu pada legitimasi penyusunan dan penerapan Undang-Undang (UU) dan peraturan-peraturan tertulis yang berbasis pada metode-metode berpikir logis, sistemik dan berkepastian.

Di dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, dapat ditemukan logika dasar prinsip penegakan hukum dengan menekankan pentingnya asas legalitas.

"Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali", yang kurang lebih memiliki arti: seseorang tidak dapat dipidana kecuali kalau ada UU yang mengaturnya.

Logika ini kurang lebih menjelaskan hal paling elementer dalam setiap proses penegakan hukum bahwa, seseorang hanya boleh dihukum kalau dia bersalah dan ada UU yg mengaturnya.

Dalam putusan a quo, ada semacam ketidakjelasan alur berfikir yang menyimpangi asas dan prinsip-prinsip dasar hukum, sehingga putusan yang dihasilkan sangat tidak masuk akal.

Ketidakmasukakalan itu tampak dalam pertimbangan hakim yang menganulir rekam jejak Edhy yang dinilai "baik" selama menjabat menteri sebagai hal yang meringankan dalam putusannya.

Lantas, hukuman yang awalnya 9 tahun menjadi hanya 5 tahun di tingkat kasasi. Selain itu hak politik Edhy yang awalnya dipangkas 3 tahun dikurangi menjadi 2 tahun.

Di Indonesia, ini merupakan putusan paling aneh dan langka karena baru pertama kali terjadi hakim membuat distingsi antara kejahatan terdakwa dan perbuatan baiknya. Perbuatan baik ini selanjutnya diproyeksi untuk mengurangi hukuman yang sepantasnya harus diterima terdakwa.

Di sini tampak ada kengawuran logika karena orang terbukti korupsi pada saat yang sama dinilai berjasa dan punya rekam jejak terpuji. Lebih-lebih masa jabatan Edhy sebagai menteri hanya berlangsung selama 1 tahun.

Sementara, korupsi adalah kejahatan luar biasa dengan cara kerja yang rumit dan panjang. Adalah sebuah kemustahilan apabila dalam waktu yang singkat (1 tahun), untuk satu kasus yang sama, orang yang secara terang-terangan korupsi masih diakui sebagai pahlawan.

Bukan bermaksud menampik sisi baik koruptor sebagai manusia, tetapi mengekplorasi itu secara berlebihan untuk menyeludupi keserakahan, dalam periode waktu yang tidak memungkinkan, sangatlah tendensius dan menyinggung akal sehat.

Di samping itu, dalam hukum, hal-hal yang meringankan biasanya hanya terbatas pada poin-poin penting yang berkaitan langsung dengan proses persidangan, seperti: terdakwa berlaku sopan, berterus terang, tidak punya niat untuk melarikan diri dan menyembunyikan alat bukti, serta bisa diajak bekerja sama (justice Collaborator) untuk mengungkap terang-benerang sebuah peristiwa hukum.

Di luar itu, pertimbangan meringankan hukuman hanya berlaku untuk anak di bawah umur (di bawah 18 tahun) dan untuk orang-orang yang bukan residivis (orang yang tidak pernah dihukum karena mengulangi suatu tindak pidana).

Edhy tentu bukan resividis, tetapi menonjolkan sisi baik Edhy saat menjabat tidak serta-merta mengkonfirmasi status Edhy "bukan resividis" dengan membenarkan pengurangan masa hukuman. Ini jelas dua hal yang berbeda.

Status bukan residivis lebih pada syarat formil pidana dengan standarisasi yang jelas sebagai alat ukur pengurangan masa hukuman (hal yang meringankan), sementara apa yang dipertimbangkan hakim dalam putusan a quo sudah menyentuh aspek materil. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena akan menjadi preseden buruk sekaligus menciptakan ketidakadilan hukum.

Maka bagi saya, putusan a quo lebih pada ambigiusitas penalaran hukum dan upaya terencana untuk menyembunyikan kesalahan terdakwa. Aparat dengan itu tidak boleh menutup mata.

Komisi Yudisial harus sesegera mungkin memeriksa hakim MA yang memutus perkara Edhy, dan kalau memungkinkan, Upaya Peninjauan Kembali (PK) harus dilakukan.

Ini semata-mata dilakukan untuk mengembalikan kewarasan, independensi dan keadilan hukum. Bila perlu untuk kasus korupsi keringanan hukuman harus dipersulit atau ditiadakan sama sekali.*

Artikel Terkait