Nasional

ICW Kecam Pengurangan Masa Hukuman Koruptor Oleh MA

Oleh : Ronald - Senin, 31/08/2020 14:59 WIB

Eks Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip. (Foto : ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Mahkamah Agung (MA) melakukan Peninjauan Kembali (PK) dengan mengurangi masa hukuman mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip. Sri Wahyuni awalnya dihukum selama empat tahun, tetapi kini dikurangi menjadi dua tahun.

Mengenai hal tersebut, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengecam adanya vonis PK tersebut. Menurutnya, keputusan tersebut sangat janggal.

"Sejak awal yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara, tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara," kata Kurnia Ramadhana kepada awak media, Jakarta (31/8/2020).

Dijelaskan Kurnia, bahwa jika melihat hukuman perantara suap dalam perkara tersebut yakni Benhur Lalenoh, mendapatkan hukuman lebih tinggi dibandingkan dengan hukuman Sri Wahyumi, yang merupakan penyelenggara negara yang jadi dalang dari tindak pidana korupsi.

"Sebagaimana diketahui, Benhur yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama empat tahun penjara," ungkapnya.

Maka itu, Kurnia membandingkan vonis PK yang dijatuhi MA dalam kasus Sri Wahyuni dengan hukuman yang menimpa Abdul Latif yang merupakan Kepala Desa di Kabupaten Cirebon yang dijatuhkan hukuman selama empat tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp354 juta.

Karena itu, ujar Kurnia, tak terkejut melihat hasil PK vonis tersebut. Sebab diungkapkannya adanya upaya pengurangan masa hukuman Sri Wahyumi itu, telah terlihat pada putusan-putusan MA terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.

"ICW tidak lagi kaget sebab sejak awal memang MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," paparnya.

Kurnia pun berharap tren `sunat hukuman` di tingkat PK ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi Ketua Mahkamah Agung. Kerena menurutnya, berdasar data ICW sejak Maret 2019 sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK.

Tak hanya itu, ICW juga meminta kepada MA untuk menolak 20 permohonan PK yang telah diajukan oleh para terpidana kasus korupsi. Sebab jika permohonan itu dikabulkan, maka pengajuan PK menjadi kesempatan bagi para korupsi untuk terbebas dari jeratan hukuman yang dapat mendegradasikan kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi.

"Jika ini terus menerus berlanjut maka publik tidak lagi percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi. Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum," pungkasnya. (rnl)

Artikel Terkait