Opini

Food Estate Bukanlah Solusi

Oleh : Mancik - Sabtu, 31/10/2020 16:30 WIB

Pengurus Pusat PMKRI, Alboin Cristoveri Samosir.(Foto:Istimewa)

Oleh: Alboin Cristoveri Samosir*)

INDONEWS.ID - Di periodenya yang kedua Presiden Joko Widodo tampaknya begitu ambisus untuk menuntaskan program kerja yang ia canangkan. Dimulai dari disahkannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan yang teranyar proyek food estate sebagai bentuk impelementasi ketahanan pangan (dibaca:Swasembada pangan) yang termaktub di Nawacita di periode pertamanya dan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19.

Oktober, manjadi bulan yang sibuk bagi rezim ini, pasca disahkanya Omnibus Law Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo berturut-turut melakukan kunjungan kerja ke daerah dimana proyek food esatate sedang digarap.

Pertama, 8 oktober Jokowi mengunjungi Pulang Pisua, Kalimantan Tengah hari dimana terjadi aksi besar-besaran di beberapa daerah termaksud Jakarta melakukan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kedua, beberapa minggu kemudian Joko Widodo bertolak ke Humbang Hasundutan, Sumatera Utara untuk meninjau proyek yang sama.

Berbicara tentang food estate sesunguhnya bukanlah yang baru di Indonesia. Proyek ambisius ini pernah dilakukan di rezim orde baru Soeharto yang ditandai dengan diterbitkanya Keputusan Presiden Nomor 82 tahun 1995, hal yang sama diulang kembali di era Susilo Bambang Yudhoyono. Dan kini Joko Widodo akan mencoba mengulangi proyek ambisius ini.

Lantas apa sebenarnya food estate itu? Benarkah dengan cara ini mampu menjawab ketahanan pangan bangsa ini? Dan mampukah proyek ini menjawab tantangan para petani, sekaligus meningkatkan kesejahteran petani?

Food estate secara padanan kata belum ditemukan di Indonesia tetapi secara harfiah food estate adalah perusahaan perkebunan, pertanian pangan. Dilansir dari Indonesia.go.id , Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di satu Kawasan yang sama.

Program Food Estate ini merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Luas lahan yang akan digarap dalam proyek ini adalah 164.598 Hektar dengan rincian lahan intensifikasi seluas 85. 456 Hektar dan lahan ekstensifikasi seluas 79. 142 Hektar.

Untuk pengerjaan tahap awal dimulai dengan 10.000 Hektar di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas 20.000 Hektar, dan 30.000 Hektar di Humbang Hasundutan. Dan tidak menutup kemungkinan untuk daerah-daerah lain, termaksud di Papua yang sudah memulai proyek yang sama.

Joko Widodo dalam kunjungannya ke Pulang Pisau, Kalimantan Tengah mengatakan,” pengembangan Kawasan lumbung pangan digarap berskala besar sehingga mekanisasi alat-alat modern sangat diperlukan dan kombinasi kombinasi model bisnis akan diterapkan di kawasa food estate ini.”

Hal senada disampaikan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian, “pengembangan Kawasan food estate dilakukan dengan optimalisasi lahan rawa secara intensif guna meningkatkan produksi dan indeks pertanaman (IP), ia juga menambahkan upaya ini dapat menciptakan lapangan kerja di pedasaan, pemberian perlindungan sosial, meningkatkan pendapatan keluarga petani, serta memastikan ketahanan pangan nasional.”

Benarkah demikian? Penulis akan coba mengulas problema dari proyek ambisius ini dan mengapa kita harus menolaknya.

Pertama, Philip Mcmichael dalam bukunya yang berjudul, Rezim Pangan dan Masalah Agaria” mengkategorikan food estate sebagai salah satu bentuk pengusaan lahan yang besifat liberal dan kapitalistik. Artinya, program ini akan membuka keran seluas-luasnya kepada para pemodal untuk dating menguasai lahan-lahan pertanian yang ada di Indonesia termaksud mengekspansi hutan yang hari ini sudah diijinkan oleh Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Artinya, program ini akan turut serta melegegalkan perampasan lahan (land grabbing)

Masukknya pemodal bukanlah isapan jempol belaka hal ini bisa dlihat dari terdapatnya enam swasta nasional yang sudah siap mengucurkan dananya untuk menggarap agribisnis di Merauke Integred Food and Energy Estate (MIFEE) diantaranya, Bangun Tjipta, Medco Grup, Comeindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agra Makmur. Tentu saja, daerah-daerah food estate dibuat, bukan tidak mungkin dijajaki oleh para pemodal.

Pengelolan pangan secara kapitalistik ini saja akan melahirkan permasalahan baru kedepannya akan menatah ulang struktur pertanian-pangan telah melancarkan kedigdayaan yang mengintegrasikan rantai pangan dengan melakukan standarisasi proses di banyak tempat atau membentuk ulang relasi spasial sebagai serentetan elemen yang dianekaragamkan dalam sebuah proses global bersama (McMichael 1994:3).

Penataan ulang sturktur pertanian pangan ini secara tidak langsung menjerat negara yang harus tunduk kepada kepentingan pemodal. Pola kapitalisme yang bersifat akumulasi, dan keuntungan yang seluas-luasnya akan melibatkan proses-proses pemiskinan reproduksi sehingga klaim-klaim mengenai kemajuan atau pembangunan atau keamanan pangan, sunguh perlu dipertanyakan.

Selain itu jebakan kapitalisme ini juga akan berdampak terhadap perubahan corak petani. Dari yang sebelumnya peasant based atau family based agriculture menjadi corporate based food andagriculture production.Perubahan tentu akan menjadi semacam shock culture seperti yang dikatakan oleh Moyuend, wakil ketua masyarakat adat “penerapan food estate di papua kurang tepat karena pemerintah akan membuat suatu loncatan dari masyarakat yang sampai saat ini masih meramu sendiri makanannya ke arah yang lebih tinggi.

Masyarakat papua yang masih tradisional akan terpinggirkan jika pengelolaan tanah beralih ke sistem yang lebih modern.” Tentu akan terjadi hal yang sama di beberapa daearah di Indonesia yang sampai saat ini masi mempertahankan pola tradisional.

Perubahan pola pertanian-pangan ini akan mempercepat proses transformasi petani menjadi buruh tani. Tentu saja perubahan ini akan bersinggungan dengan tingkat kesejahteraan para petani. Apabila terjadi pengabaian maka akan terjadi ironi rezim pangan dimana, sebagian besar orang yang menderita adalah para pekerja penghasil pangan.

Seorang pekerja karibia pernah mengatakan,”di banyak kesempatan, kami memakan apa yang kami tanam, kami memproduksi makanan, tetapi kami tidak sanggup membeli makanan untuk memberi makan diri kami sendiri.”

Kedua, sebagian besar lahan food estate terutama yang ada di Pulau Kalimantan merupakan eks Pengembangan Lahang Gambut (PLG) yang terbukti gagal di era Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Seharusnya pemerintah dapat belajar dan mengevaluasi kembali program ini. Dampak dari kegagagalan ini justru melahirkan bencana ekologis, banjir, dan langganan kebakaran hutan ketika fenomena el-nino datang.

Pun program food estate ini akan mengancam keberlangsungan lahan gambut. Dikutip dari berbagai sumber, lahan gambut merupakan ekosistem unik dan penting bagi keseimbangan iklim, perlindungan biodiversitas lahan basah dan untuk menghindari pinyakit zoonis dari perusakan alam. Maka, dapat ditarik kesimpulan proyek food estate ini tidak mengedepankan keadilan ekologi.

Ketiga, proyek ambisius program ini rawan menyingkirkan masyarakat adat. Resiko ini masih sejalan dengan penolakan pada poin pertama. Kebijakan food estate yang sedari awal minim proteksi akan serta merta menyingkirkan masyarakat adat yang berada dalam Kawasan food estate. Pola pendekatan modern dalam food estate akan membuat masyarakat adat mengungsi dari tanahnya sendiri.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah?

Permasalahan yang paling klasik di Indonesia yaitu penguasaan lahan yang sangat timpang. Ketimpangan distribusi penguasaan tanah terlihat jelas di sektor pertanian. Sensus pertanian pada 2013 menunjukkan bahwa 1,5 juta petani kaya (6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia) menguasai lahan seluas 8,63 juta hektar atau rata-rata 5,37 hektar per petani. Bandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55, 30) persen yang hanya menguasai 2,67 juta hektar atau rata-rata 0,18 hektar per petani (dikutip dari tempo.co)

Maka, seharusnya pemerintah bisa fokus pada kerja-kerja menunutaskan reforma agraria yang sampai hari ini masih berjalan stagnan. Jalankan reforma agraria sejati, tidak hanya legalisasi (bagi-bagi sertifikat) tetapi juga pada redistribusi lahan kepada meraka yang berada di grass root (akar rumput) seperti buruh tani, petani gurem, petani landless, dan orang yang membutuhkan.

Mengambalikan fungsi sosial tanah seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Dan perlunya political wil untuk mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Via Campesina, ia mengatakan, “pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan untuk memulihkan kondisi ekonomi petani kecil dengan membagi secara adil sumberdaya-sumberdaya untuk produksi (air,hutan, gen lokal, dan wilayah pesisir) kepada petani mengakui hak mereka sebagai kekuatan yang berperan membentuk masyarakat, dan mengakui hak komunitas dalam mengelola sumber daya lokal.

Satu hal yang perlu diingat oleh Presiden Joko Widodo adalah kebijakan ambisius ini bisa saja mempercepat pembangunan, bisa saja menghasilkan pendapatan yang luar biasa, tetapi akan berapa banyak hutan yang akan mengalami deforestasi, berapa banyak masyarakat adat yang akan tergusur, berapa banyak kerusakan lingkungan yang akan terjadi? Dan berapa banyak angka kemiskinan yang semakin meningkat? Dimana proyek tidak lebih dari menguntungkan segelintir orang saja di negeri ini.

Terakhir, penulis ingin mengutip pendapat Addeke Boerma yang mengatakan, “pangan tidak seperti komoditas lain. Jika umat manusia sungguh punya hak atas hidup, maka mereka punya ha katas pangan.”.*

*)Penulis adalah Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia.(PP PMKRI).

 

 

Artikel Terkait