Nasional

Penangkapan Edhy Prabowo, Usainya Kemarau Panjang di KPK

Oleh : very - Selasa, 01/12/2020 15:01 WIB

LP3ES membuka ruang kajian ilmiah untuk mengulik kinerja lembaga anti-rasuah di Indonesia dengan mengundang tiga pegiat anti-korupsi. Mereka adalah Wijayanto, Oce Madril dan Malik Ruslan. Dialog berlangsung secara virtual di Jakarta, Minggu (29/11). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Berbicara tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak akhir tahun 2019 dipenuhi berbagai kritik. Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi.

Menanggapi hal tersebut, LP3ES membuka ruang kajian ilmiah untuk mengulik kinerja lembaga anti-rasuah di Indonesia dengan mengundang tiga pegiat anti-korupsi. Mereka adalah Wijayanto, Oce Madril dan Malik Ruslan. Dialog berlangsung secara virtual di Jakarta, Minggu (29/11).

Wijayanto, Director Center of Media and Democracy LP3ES, membuka diskusi dengan membahas kabar penangkapan Menteri KKP oleh KPK. Dia mengibaratkan penangkapan tersebut dengan usainya kemarau panjang, mengingat sudah lama KPK tidak melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Ia memberikan apresiasi atas kinerja KPK tersebut. Namun dia juga menambahkan bahwa penangkapan itu saja belum cukup.

“Jika melihat pola operasi tangkap tangan (OTT) KPK di masa lalu, banyak kasus OTT kepala daerah terjadi menjelang pemilu atau pilkadal,” ujarnya.

Kasus tertinggi adalah pada Pilkada tahun 2018 yakni sebanyak terdapat 29 orang. Diikuti Pilpres 2014 di mana ada 14 OTT.

Hal ini terjadi karena menjelang pemilu, elit parpol bergerilya untuk mengumpulkan pundi-pundi demi membiayai pemenangan pemilu yang semakin mahal lantaran maraknya politik uang.

“Mengingat praktik politik uang tidak tampak berkurang pada Pilkada kali ini, maka tahun ini sebenarnya kita berharap akan ada lebih banyak OTT KPK ketimbang kasus menteri dan Wali Kota Cimahi belum lama ini,” ujarnya.

PUKAT UGM, Oce Madril menerangkan bahwa hampir satu tahun tidak banyak perkara yang bisa diungkap KPK yang menarik perhatian publik. Walaupun begitu masih ada beberapa yang sebenarnya sisa dari pimpinan sebelumnya. Salah satunya kasus mantan Sekretaris Makamah Agung, Nurhadi, yang terlibat dalam mafia peradilan.

Oce mengatakan, munculnya tanda tanya di masyarakat terkait kinerja KPK disebabkan oleh kritik atas revisi UU KPK yang dipandang tidak efektif dan dilihat dari kritik pemilihan pimpinan KPK di mana ada persoalan etik dan latar belakang yang diragukan publik.

Selain itu, masyarakat juga semakin ragu ketika OTT tidak lagi menjadi fokus KPK. Hal tersebut dapat dilihat melalui penekanan penyadapan dan aksi tangkap tangan yang menangkap tokoh-tokoh penting.

“Tetapi, ada dinamika yang sedang bergerak di KPK. Hal itu bisa dimaknai sebagai usaha KPK untuk dapat memperbaiki citra mereka sebagai lembaga yang kuat dalam penindakan,” ujar Oce.

Dia mengatakan, ada variabel menarik ketika membahas KPK, yaitu variabel penyidik yang sepertinya punya peran sangat signifikan dalam menentukan arah penindakan KPK ke depan. Lalu, lima pimpinan yang tidak setara dalam perspektif/sudut pandang dalam beberapa hal, misalnya tentang penindakan.

Oce Madril juga menjelaskan bahwa problem revisi UU KPK itu adalah masalah kelembagaan, termaksud bicara tentang kewenangan yang berubah konstruksi-nya. Terutama ketika bicara tentang OTT, termaksud penyadapan dan penyitaan yang membutuhkan izin.

Lalu, ada dewan pengawasan dan perubahan status kepegawaian yang menyebabkan satu per satu pegawai KPK mengundurkan diri.

“Secara struktur, KPK dinarasikan sebagai bagian dari eksekutif. Seolah-olah presiden punya kewenangan lebih atas KPK. Hal tersebut menyebabkan publik meragukan independensi KPK sebagai lembaga anti-rasuah. Terlebih ketika sebenarnya penyadapan-penyadapan masih dilakukan oleh KPK sesuai dengan izin dari dewan pengawas tanpa membuahkan hasil yang memberikan kelegaan bagi public,” ujar Oce.

Malik Ramlan mengamini argumentasi Oce Madril tersebut. Dia menekankan bahwa memang pencegahan bermasalah, karena adanya pasal 3 UU No. 19 tahun 2019 yang menegaskan KPK berada dalam rumpun eksekutif. Lalu ada pergeseran visi menjadi institusi yang membuat publik bertanya-tanya siapa gerangan yang memimpin lembaga tersebut, lalu juga KPK yang dikuasai unsur Polri. 

Ia menjelaskan beberapa langkah penyelamatan KPK yang dapat menjadi alternatif solusi, yang meliputi: posisi strategis KPK harus diisi oleh masyarakat sipil; tindakan penindakan dan pencegahan harus berjalan simultan, bukannya memprioritaskan salah satu di antaranya; kembalikan jati diri KPK sebagai produk reformasi dengan melakukan revisi atas UU No.19 tahun 2019, karena jika tidak KPK akan terus dibawa untuk memuaskan selera elite.

Penindakan yang dilakukan KPK atas Menteri KKP Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi yang secara mengejutkan muncul di tengah keraguan masyarakat sipil terkait kinerja lembaga anti-rasuah tersebut berhasil diurai secara kritis oleh para pembicara. Karena, bagaimana pun, KPK penting bagi hidup negara dan demokrasi bangsa ini ke depan. (Very)

Artikel Terkait