Nasional

Menyoal Bencana Banjir dan Tanah Longsor Awal Tahun 2021

Oleh : Mancik - Rabu, 20/01/2021 17:01 WIB

Rumah warga terendam banjir di Kalimantan Selatan.(Foto:Dokumen BNPB)

Jakarta, INDONEWS.ID - Memasuki bulan Januari tahun 2021, masyarakat Indonesia kembali diperhadapkan dengan masalah bencana alam, banjir dan tanah longsor. Bencana ini seakan datang beriringan di tengah upaya masyarakat Indonesia keluar dari Covid-19 beserta dampak ikutan pandemi yang mendunia saat ini.

Salah satu bencana banjir paling parah terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Ribuan masyarakat terpaksa harus mengungsi karena rumah tempat tinggal mereka terendam banjir yang terjadi selama berhari-hari di wilayah tersebut.

Selain di wilayah Kalimantan Selatan, bencana tanah longsor terjadi di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor, bencana banjir terjadi di Nunukan Kalimantan Utara, Kabupaten Pidie dan Kota Menado, Kota Malang, dan Kabupaten Pekalongan. Laporan BMKG untuk sementara, bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di beberapa wilayah terjadi karena peningkatan curah hujan sejak awal Januari tahun 2021.

Data terakhir, Rabu,(17/01) dari Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan, sebanyak 10 Kabupaten/Kota terdampak banjir di Provinsi Kalimantan Selatan, antara lain Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kota Banjarmasin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupataen Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Batola . Hal ini berdasarkan data terakhir yang dihimpun pada 17 Januari 2021 pukul 14.00 WIB.

Hujan dengan intensitas sedang menyebabkan banjir yang terjadi pada Selasa (12/1) lalu di Provinsi Kalimantan Selatan. Tercatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir dan 39.549 warga mengungsi dengan rincian antara lain, Kabupaten Tapin sebanyak 582 rumah terdampak dan 382 jiwa mengungsi, Kabupaten Banjar 6.670 rumah terdampak dan 11.269 jiwa mengungsi, Kota Banjar Baru 2.156 terdampak dan 3.690 jiwa mengungsi, serta Kota Tanah Laut 8.506 rumah terdampak dengan 13.062 jiwa mengungsi.

Selanjutnya Kabupaten Balangan sebanyak 1.154 rumah terdampak dengan 17.501 jiwa mengungsi, Kabupaten Tabalong 407 rumah dengan 770 jiwa terdampak dan mengungsi, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 11.200 jiwa mengungsi dan 64.400 jiwa terdampak, Kabupaten Hulu Sungai Selatan 387 rumah terdampak dan 6.690 jiwa mengungsi, Kota Banjarmasin dengan 716 jiwa terdampak, Kabupaten Batola 517 rumah dan 28.400 jiwa terdampak.

Selain itu, terdapat korban meninggal dunia total sebanyak 15 orang dengan rincian, Kabupaten Tanah Laut 7 orang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 3 orang, Kota Banjar Baru 1 orang, Kabupaten Tapin 1 orang, dan Kabupaten Banjar 3 orang.

Penyebab Utama Bencana Banjir

Dalam keteranga pers kepada media (19/01), Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, RM Karliansyah mengatakan, secara umum penyebab masalah banjir di Kalimantan Selatan adalah karena masalah anomali cuaca. Selain itu, tinggi curah hujan menyebabkan air sungai di sekitar wilayah tersebut naik dan menyebabkan banjir.

Pada kesempatan tersebut, ia juga menerangkan, sistem drainase menjadi salah satu penyebab meluapnya air sungai ke perkampungan warga. Drainase sudah tidak berfungsi dengan baik sehingga memudahkan air sungai meluap ke atas pada waktu terjadi hujan dengan intensitas tinggi.

"Lokasi banjir berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito di mana kondisi infrastrusktur ekologis - atau jasa lingkungan pengatur air - sudah tidak memadai, sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk," kata Karliansyah.

Pendapat berbeda dari Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin mengatakan, curah hujan tinggi bukan merupakan faktor tunggal terjadinya bencana banjir yang menyebabkan ribuan warga mengungsi di Kalimantan Selatan.

Menurut Rokhis Khomarudin, menurunnya jumlah hutan primer akibat izin perkebunan di Kalimantan Selatan menjadi faktor dominan terjadinya banjir paling parah di Kalimantan Selatan pada awal tahun 2021. Terjadi penurunan secara signifikan luas hutan yang diperuntukan untuk perkenbunan maupun persawahan.

"Ya itu analisis kami, makanya disebutkan kemungkinan. Kalau dari hujan berhari-hari dan curah hujan yang besar sehingga perlu analisis pemodelan yang memperlihatkan apakah pengaruh penutup lahan berpengaruh signifikan," kata Rokhis seperti dilansir bbc Indonesia.

Adapun data yang dimiliki LAPAN, total area perkebunan yang ada wilayah sepanjang Daerah Sungai (DAS) Barito saat ini mencapai 650.000 hektare. Apabila dibandingkan dengan luasan hutan sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, denga demikian perkebunan sudah menghabiskan 12 sampai 14% dari keseluruhan area hutan.

"Kita paham bahwa perkebunan itu berhubungan dengan ekonomi, tapi harus diperhatikan unsur lingkungannya," katanya.

Evaluasi Izin Perkebunan dan Tambang Cegah Banjir

Menanggapi terjadinya bencana banjir di Kalsel, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, penyebab utama masalah banjir ini bukan semata karena anomali cuaca.

Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, sebanyak 50 persen lahan Provinsi Kalimantan Selatan telah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara sehingga daerah resapan air semakin sedikit dan memudahkan terjadinya banjir.

"Tambang 33%, sawit 17%," kata Kisworo Dwi Cahyono seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Kisworo Dwi Cahyono lebih lanjut menjelaskan, banjir yang terjadi pada awal tahun 2021 di Kalsel, merupakan banjir yang paling parah. Ribuan masyarakat dipaksa harus meninggalkan rumah mereka banjir yang merendam tempat tinggal selama berhari-hari.

"Banjir besar pernah terjadi tahun 2006 tapi tidak sampai merendam 13 kabupaten dan kota. Ini yang terbesar. Kalau hujan, banjir setiap tahun kalau kemarau kebakaran lahan," ungkapnya.

Dalam rangka mencegah masalah banjir di kemudian hari, ia menegaskan, pemerintah perlu melakukan evaluasi secara terhadap izin perkebunan yang ada wilayah tersebut. Termasuk izin usaha pertambangan yang menyumbangkan daya rusak terhadap lingkungan hidup di wilayah Kalsel.

"Misalnya izin ini dicabut, yang ini digugat, ini izin masih diperlukan. Meskipun kalau Walhi minta cabut semua. Tapi kebijakan pemerintah kan tidak bisa sampai ke sana. Nah evaluasi itu inginnya melibatkan masyarakat sipil jangan hanya konsultan," tutupnya.*

 

 

 

Artikel Terkait