Opini

Jepang, Islam dan Minoritas Muslim di Negeri Sakura

Oleh : luska - Senin, 25/01/2021 08:15 WIB

Oleh: Yuri O. Thamrin

Bagi masyarakat Jepang, Islam sejatinya masih terasa asing. Karenanya banyak salah pengertian, mispersepsi dan bahkan kecurigaan terhadap Islam dan muslim. Umumnya, media berperan penting dalam pembentukan persepsi publik. Sayangnya, pada media Jepang berita-berita bernarasi netral relatif lebih sedikit dari pada berita-berita negatif tentang Islam dan muslim (Atsushi Yamagata, 2019). Stereotip terhadap Islam dan muslim adalah keliru. Untuk itu, perlu upaya untuk mendapatkan pemahaman yg lebih baik, jernih dan objektif.

Jumlah minoritas muslim pada 2019 sekitar 0,2 persen (atau 230 ribu jiwa) dari total 127 juta penduduk Jepang. Sebagiannya adalah warga asli Jepang (perkiraan: sekitar 50 ribu) dan sebagian terbesar adalah para pendatang (the Economist, 9 Januari 2021). Jelas tidak mudah hidup sebagai minoritas --- banyak suka-duka yg harus dilalui. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, minoritas muslim mengenyam situasi yg lebih baik dari sebelumnya --- tercermin dari semakin banyaknya mesjid, adanya ruang sholat di bandara dan pusat-pusat pertokoan, juga ketersediaan makanan halal. Namun, toleransi sejatinya bukan hanya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dari kelompok minoritas. Toleransi bermakna lebih dalam lagi --- yaitu adanya respek nyata terhadap nilai (values), hak (rights) dan martabat (dignity) dari kelompok minoritas muslim di Jepang. 

Tulisan ini akan mengulas perkembangan pemahaman Jepang terhadap Islam, peran media dalam membentuk stereotip, kondisi umat Islam di Jepang dewasa ini serta prospek perlakuan terhadap minoritas muslim ke depannya. 

DOMINASI ORIENTALISME

Pemahaman Jepang tentang Islam bersumber dari Tiongkok dan Barat. Pada abad ke-8, sastrawan Jepang Hakuseki Arai memperkenalkan  hikayat rakyat Tiongkok tentang Saad bin Abi Waqqas -- sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyebarkan ajaran Islam di China pada tahun 651.  Kata "Islam" dalam bahasa Jepang adalah "Kaikyo" yang bermakna "agama etnis Uyghur" di Tiongkok --- ini sekali lagi indikasi bahwa Jepang melihat Islam dari "kaca mata" Tiongkok. Kata "Kaikyo" terus digunakan untuk merujuk "Islam" dalam arti umum. Barulah pada tahun 1970-an  kata "Isurumu" (Islam) mulai lazim digunakan, walaupun agak rancu karena mengacu sekaligus pada "Islam" dan "Muslim." Sesuai Akira Usuki (2006) dan Keiko Sakai (2012) publik Jepang sering terperangkap pada jebakan bias dan misunderstanding karena condong menyamakan Islam dengan perilaku pengikutnya, walaupun perilaku kaum muslimin sering bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

Selanjutnya, pada zaman Edo (1603-1868) dan juga Meiji (1868-1912), Jepang mulai berkiblat ke Barat (Westernisasi) dimana buku-buku pengetahuan dari Barat mulai banyak diterjemahkan ke bahasa Jepang, termasuk tentang Islam. Dengan kata lain, persepsi Barat yang berkerangka Orientalisme mulai mewarnai pandangan Jepang tentang Islam. Sebagai catatan, Orientalisme adalah upaya mengonstruksi "image" tentang "Dunia Timur" (Oriental) yang sejalan (self-serving) dengan imajinasi dan kepentingan Barat.  Barat merasa dirinya paling "unggul," lebih "rasional" dan "superior." Sementara, Dunia Timur dicitrakan "inferior", "barbaric," dan bahkan perlu diselamatkan dari "self-destruction." Narasi seperti ini kemudian menjustifikasi kolonialisme Barat terhadap Dunia Timur (Edward Said, 1978). Sementara itu, Orientalisme juga sering diasosiasikan dengan kajian dan penelitian sarjana-sarjana Barat untuk menyerang Islam dan menebar keraguan terhadap ajaran agama ini.

Banyak pejabat Jepang pada akhir abad ke-19 mengunjungi Eropa melalui Terusan Suez. Umumnya mereka singgah di Mesir dan melihat kemunduran kaum muslimin akibat penjajahan Barat. Pengalaman ini berdampak pada semakin kuatnya stereotip dan sikap merendahkan (pejorative attitude) elit-elit Jepang terhadap Islam dan muslim, serta meningkatkan pula kesadaran mereka bahwa Jepang harus segera menguasai teknologi moderen via westernisasi agar Jepang dapat terhindar dari  penjajahan Barat seperti dialami Dunia Islam.  

Pada masa menjelang Perang Dunia II, Jepang telah menjelma menjadi negara industri dengan kemampuan militer yg kuat. Jepang melihat peluang untuk "menggandeng" Dunia Islam untuk menyingkirkan Barat dari Asia. Dalam kaitan ini, Jepang membentuk Institut kajian Islam (Kaikyoken Kenkuijo) dan mendorong para ilmuwannya untuk mendalami Islam agar Jepang dapat merebut dukungan dan simpati dari kaum muslimin. Pada masa inilah, Shumei Okawa (1886-1957) menerjemahkan Al-Qur`an ke dalam bahasa Jepang dan menulis "Kaikyo Gairon" tentang sejarah Islam dan info dasar mengenai Dunia Islam. Pemerintah pun membangun sebuah Mesjid di Tokyo serta membentuk "Liga Dai Nippon-Dunia Islam" (Dai Nippon Kaikyo Kiokai). Sementara itu, agen-agen Jepang pun mendekati pemuka-pemuka Islam di Hindia Belanda dan Semenanjung Malaya  untuk mendapatkan simpati dan dukungan  mereka. 

Sejatinya, pada masa pre-war period ini Jepang menempatkan Islam dalam konteks ambisi imperialisme-nya. Namun demikian, setelah kalah Perang Dunia II Jepang tidak lagi melanjutkan pendekatan ini dan kembali menggunakan "lensa Barat" untuk  memahami Islam. Dengan demikian, tantangan bagi Jepang adalah bagaimana mendapatkan pemahaman otentik tentang Islam tanpa  terjebak dalam "bias" Orientalisme Barat. 

MEDIA DAN STEREOTIP

Dalam psikologi sosial, "stereotip" mengacu pada keyakinan bahwa suatu kelompok individu memiliki atribut personal yg sama. Contoh dari stereotip adalah pandangan bahwa Islam dan muslim identik dengan kekerasan, intoleran dan terorisme. Jelas pandangan ini keliru dan merupakan "sweeping generalization" karena Islam adalah agama yang damai dan kaum muslimin pun mengutuk terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis yg mengatas-namakan Islam.

Di Jepang, beberapa studi pernah dilakukan tentang persepsi terhadap Islam dan muslim. Dalam survei yg dilakukan Miura (2005) dan Matsumoto (2006) dengan responden para mahasiswa dan murid-murid SMP, Islam dianggap "terbelakang," "intoleran," "aneh," "mengekang," dan "agresif" oleh mayoritas responden. Selanjutnya, Universitas Waseda pun melakukan survei di kota Gifu, Imizu dan Fukuoka pada 2012-2015, hasilnya: 60 persen responden di sekitar mesjid di tiga kota itu menganggap Islam sebagai agama radikal dan mereka setuju jika akses  masuk bagi warga muslim ke Jepang ditutup.

Mengomentari hasil berbagai survey ini, Atsushi Yamagata (2019) mencatat bahwa 90 persen responden dalam survey-survey termaksud ternyata tidak memiliki kenalan muslim, tidak pernah berdiskusi interaktif tentang Islam, tidak pernah mengikuti "tour kunjungan" ke mesjid dan tidak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial-kultural yang diselenggarakan asosiasi muslim untuk masyarakat setempat. Dengan kata lain, informasi tentang Islam dan muslim yang mereka peroleh terutama berasal dari "narasi seram" di media cetak, media elektronik dan juga sosmed. Fakta ini menunjukkan besarnya peran media dalam membentuk stereorip.

Untuk dimaklumi,  sejalan dengan stereotip tersebut, di tataran kebijakan Polisi pun melakukan pengawasan (surveillance) terhadap kaum muslimin di Jepang. Pada tahun 2010, terdapat bocoran dokumen rahasia bahwa polisi melakukan "profiling" atau investigasi illegal terhadap 72 ribu muslimin di Jepang. Hal ini menimbulkan kehebohan karena tindakan polisi tersebut berpotensi melanggar HAM khususnya "rights to privacy, equality and freedom of religion." Namun, dalam proses pengadilan, tuntutan perwakilan muslim agar "illegal profiling" dihentikan ternyata ditolak oleh pengadilan dengan alasan bahwa tindakan itu "perlu" dan "tidak dapat dihindari" serta dilakukan bukan atas dasar diskriminasi agama tetapi karena pertimbangan keamanan.

KONDISI MINORITAS MUSLIM DI JEPANG

Hidup sebagai kelompok minoritas di mana pun tidaklah mudah apalagi jika ada stereotip. Namun, sesuai observasi Asia-Pacific Human Rights Information Center, dewasa ini kondisi kaum muslimin di Jepang relatif baik dalam arti semakin turunnya "gangguan" (harassment) yang mereka alami. Namun demikian, ditekankan pula bahwa minoritas muslim yang praktis telah menjadi bagian masyarakat Jepang tetap mempertahankan identitas religius dan kultural mereka. Dengan demikian, kesediaan masyarakat Jepang menerima adanya perbedaan kultural dan agama ini menjadi kunci bagi terciptanya masyarakat fungsional dimana setiap orang terlindungi hak-haknya. 

Dalam konteks upaya memperbaiki pemahaman tentang Islam dan mengurangi kecurigaan masyarakat lokal terhadap minoritas muslim, banyak inisiatif menarik telah dilakukan (Yulita dan Ong, 2019). Misalnya, penyelenggaraan program dialog inter-aktif (difasilitasi berbagai kuil Budha) dimana pengurus mesjid melakukan diskusi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Islam; atau program "makan malam bulanan" di mesjid bersama masyarakat lokal;  juga penyelenggaraan program  "tour/kunjungan ke mesjid"; pembinaan komunikasi erat dan terbuka antara pengurus mesjid dan kantor polisi setempat;  atau penyelengaraan studi group bersama para peneliti Jepang untuk memahami berbagai fenomena di kawasan Timur Tengah yg sering didistorsi oleh pemberitaan media.

DUA FAKTOR PENDORONG

Dewasa ini terdapat pula dua faktor pendorong masyarakat Jepang memperkuat toleransi dan menerima perbedaan. Pertama, berkat terpilihnya Jepang sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Panas 2020, pemerintah mengintensifkan "program tuan rumah yang baik" (omotenashi) melalui kampanye publik yang effektif. Masyarakat luas menyambut hangat program ini yang didukung pula oleh berbagai perusahaan multi-nasional Jepang. Sebagai contoh, Toyota City (Prefetur Aichi) mengembangkan mesjid keliling (mobile mosque) bagi atlit dan penonton muslim pada Olimpiade 2020 (catatan: olimpiade digeser ke tahun 2021 akibat pandemi Covid-19).

Kedua, alasan  ekonomi yakni upaya Jepang menjaring turis muslim. Untuk informasi, sesuai Global Muslim Travel Index 2019, pangsa turis muslim di dunia sekitar 140 juta pelancong dan membelanjakan US$ 189 milyar. Oleh karena itu, Jepang berusaha menjadikan dirinya sebagai moslem-friendly country bagi pelancong, dengan berbagai fasilitas seperti hotel syariah, restoran halal, tempat shalat di berbagai lokasi dan program-program IT untuk kenyamanan para turis muslim. Di samping itu, Jepang pun memberikan fasilitas bebas visa untuk negara-negara muslim, termasuk Indonesia.

Sesuai banyak pengamat, kedua faktor di atas berdampak positif dalam arti masyarakat Jepang khususnya di kota-kota besar dan di berbagai kawasan turis condong ingin menambah informasi mereka mengenai Islam, bersikap ramah terhadap turis muslim dan juga positif terhadap minoritas muslim di Jepang.  

ISU LAHAN KUBURAN MUSLIM

Beberapa waktu belakangan ini, majalah the Economist (9 Januari 2021) mengangkat kurangnya lahan kuburan untuk minoritas muslim di Jepang.  Pada dasarnya,  Ini adalah isu lama, sudah lebih dari satu dekade. Sesuai Asia Pacific Human Rights  Information Center, di seluruh Jepang hingga 2008 hanya ada 2 lahan kuburan muslim, yakni di Tokyo dan Kobe. Saat ini, ada beberapa tambahan lagi antara lain di Hokaido, Kanto dan di prefektur Yamanashi. Namun, mengingat semakin besarnya jumlah minoritas muslim, beberapa lahan kuburan yang tersedia tidak lagi memadai.

Di pulau Kyushu (ujung selatan Jepang) tidak ada lahan kuburan muslim. Pernah ada seorang ayah yang harus menguburkan anaknya (usia 10 tahun) di prefektur Yamanashi, 15 jam berkendara dari Kota Beppu di prefektur Oita (Kyushu). Ini jelas kurang praktis dan mahal. Oleh karena itu, Asosiasi Muslim Beppu bekerja sama dengan komunitas Budha setempat telah mengusahakan lahan kuburan. Namun, proyek itu ditolak oleh masyarakat lokal.

Sebagian anggota DPRD lokal mendukung proyek kuburan ini dengan argumen bahwa sebagian muslim adalah warga Jepang asli dan mereka berhak untuk punya kuburan sendiri termasuk warga berstatus permanent residents. Namun, sebagian anggota DPRD menolak dengan alasan bahwa warga muslim yg telah menjadi warga negara Jepang (naturalisasi) atau berstatus permanent residents harus menerima tradisi Jepang, termasuk kremasi.

Sesuai the Economist, debat ini pada dasarnya menunjukkan ketakutan warga lokal akan keberadaan warga muslim yg condong membesar. Juga dikarenakan dugaan bahwa setelah lahan kuburan bisa jadi warga muslim meminta fasilItas lain seperti sekolah muslim. Dengan demikian, penyelesaiannya harus via komunikasi yang lebih erat antara minoritas muslim dan warga lokal agar ketakutan warga setempat  dapat dijernihkan. 

Ke depan, tidak terelakan bahwa aging society dan shrinking population di Jepang mengharuskan pemerintah mengundang pekerja dan mahasiswa asing. Dengan sendirinya, pendatang muslim akan bertambah banyak di masa mendatang.

PROSPEK KE DEPAN

Tentu tidak ada yg sempurna dalam hidup ini, termasuk kondisi minoritas muslim di Japang. Namun, sejatinya telah banyak kemajuan dicapai terutama ketersediaan berbagai sarana fisik seperti bertambahnya mesjid, tersedianya ruang shalat di berbagai tempat dan makanan halal. Walaupun ada tantangan seperti kurangnya lahan kuburan yang tengah dialami saat ini, namun minoritas muslim pada dasarnya tetap dapat hidup aman dan tentram di Jepang. Media pun saat ini condong melihat Islam dan muslim dari perspektif potensi bagi industri wisata. Media mendorong publik untuk menambah pemahaman terhadap Islam, memperkuat interaksi positif serta keramahtamahan pada turis asing.
Dalam pada itu, Komunitas muslim juga makin efektif menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka. Di samping itu, berbagai kiat dan  langkah simpatik pun  dilakukan untuk mengurangi kekuatiran masyarakat Jepang. 

Sambil mencermati bagaimana perkembangannya ke depan, namun satu hal bisa dipastikan: bagaimana Jepang menjamin perlakuan layak, adil dan bermartabat pada minoritas muslim akan memiliki dampak positif (atau sebaliknya negatif) bagi reputasi Jepang sebagai negara maju, demokatis dan toleran.

                         

Artikel Terkait