Nasional

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot, Begini Tanggapan KSP

Oleh : Ronald - Kamis, 28/01/2021 23:59 WIB

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. (Foto : istimewa)

Jakarta, INDONEWS.ID - Transparansi Internasional Indonesia (TII) menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun lalu turun. Saat ini secara global, Indonesia berada di peringkat 102 dengan skor 37.

Menanggapi indeks tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak akan berkurang. Komitmen itu ditunjukkan dengan membangun sistem pencegahan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Sistem pencegahan korupsi dari hulu ke hilir bernama Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) bisa membentuk sistem yang menutup celah korupsi,” ujar Moeldoko di Jakarta, seperti dikutip dari keterangan pers pada Kamis (28/1/2021).

Komitmen itu juga ditunjukan melalui arahan Presiden saat rapat terbatas. Presiden berulangkali meminta agar tidak ada sekali pun korupsi dana bantuan sosial (bansos) dan pemotongan hak rakyat. 

"Jangan korupsi dana kesehatan, jangan memburu rente pengadaan barang jasa,” ujar Moeldoko.

Rapat Koordinasi (Rakor) Stranas PK sebelumnya telah menetapkan rencana aksi 2021-2022 dengan fokus pada sektor terdampak. Di antaranya ialah pengawalan ketepatan subsidi dan bansos, pencegahan pungli dalam layanan dasar, pencegahan rente dalam ekspor impor komoditas strategis.

Ada juga akuntabilitas pengadaan barang jasa, percepatan layanan perizinan, penyederhanaan birokrasi dan digitalisasi pemerintahan, serta peningkatan integritas aparat penegak hukum.

Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, KSP memperhatikan masukan, riset, dan kajian seperti Global Corruption Barometer dan Indeks Persepsi Korupsi pada perumusan strategi perbaikan aksi Stranas PK 2021-2022. Menurutnya, pelaksanaan aksi Stranas PK 2021-2022 akan diikuti dengan peningkatan sinergi dan kolaborasi.

"Tidak hanya di instansi pemerintah tetapi juga swasta, dan masyarakat sipil seperti CSO, akademisi, dan media massa," tandas Jaleswari. (rnl)

Artikel Terkait