Bisnis

Pemerintah Perlu Terapkan Upah Sektoral Bagi Awak Kapal Perikanan

Oleh : very - Minggu, 21/02/2021 10:45 WIB

Awak kapal perikanan. (Foto: Samudera.com)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Potensi ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia menyumbang 3,7 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun saat ini kerja layak dan hak nelayan sebagai pekerja belum terpenuhi secara khusus tentang kepastian upah minimum. 

Melalui SAFE Seas Project, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) menyelenggarakan diskusi nasional secara virtual bertajuk “Kepastian Upah Minimum Bagi Awak Kapal Perikanan Dalam Kacamata UU Cipta Kerja” pada Rabu (17/02).

Diskusi mengangkat peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan keadilan dan perlindungan awak kapal perikanan dengan memberikan kepastian upah minimum.

Profesi nelayan mengalami penurunan jumlah dari 2,7 juta orang di 2019, menjadi 2,2 juta orang di 2020. Meskipun Nilai Tukar Nelayan (NTN) mengalami peningkatan berkala setiap tahunnya namun, kenaikan tersebut tidak berbanding lurus dengan kenaikan kesejahteraan nelayan, terutama pada lingkup kondisi kerja layak dan pemenuhan hak sebagai pekerja.

Profesi nelayan merupakan salah satu profesi paling berbahaya di dunia, yaitu dangerous, difficult, dirty/berbahaya, sulit, kotor (3-D) dan berisiko tinggi terhadap eksploitasi kerja, di antaranya kerja paksa dan perdagangan orang.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Provinsi Sulawesi Utara, serta Dewan Pengupahan Nasional sepakat bahwa diskusi ini dapat mendorong kejelasan tentang peran Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menentukan dan memastikan adanya upah minimum bagi awak kapal perikanan, dan penyelarasan dengan kondisi kerja mereka.

“Kepastian Upah Minimum Awak Kapal Perikanan perlu mengikuti ketentuan yang ada baik yang bersifat umum dari sisi ketenagakerjaan maupun yang bersifat khusus yang diatur secara teknis, dengan tetap memperhatikan relevansi ketentuan terhadap implementasi di lapangan serta dengan mempertimbangkan kelangsungan bekerja dan keberlanjutan usaha,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam sambutannya seperti dikutip dari siaran pers Media and Communications Manager Yayasan Plan International Indonesia di Jakarta.

Sejalan dengan kebijakan tentang pengupahan dan memastikan kepatuhan dari pemberi kerja, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan melalui sambutannya, “Instrumen kontrol yang digunakan adalah melalui penerapan perjanjian kerja laut sebagai salah satu syarat dalam penerbitan izin berlayar bagi setiap kapal yang akan melakukan penangkapan ikan.”

Sementara itu, Fendiawan Tiskiantoro selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Daerah Jawa Tengah, juga mendorong penerapan Perjanjian Kerja Laut (PKL) sebagai upaya perlindungan awak kapal perikanan dengan mensosialisasikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan PKL di 11 pelabuhan perikanan di Jawa Tengah.

Terkait peran pemerintah daerah dalam memastikan perlindungan awak kapal perikanan yang dalam UU Cipta Kerja telah dihapuskan denda pelanggaran oleh pengusaha, Provinsi Daerah Sulawesi Utara telah membentuk Forum Daerah Perlindungan Awak Kapal Perikanan melalui SK Gubernur Sulawesi Utara Nomor 117 Tahun 2020. Menurut Elric Takanasanakeng selaku Kepala Seksi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Utara, forum tersebut merupakan wadah kolaborasi antara instansi terkait di sektor Ketenagakerjaan, Kelautan dan Perikanan, serta Perhubungan untuk memastikan kondisi kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), PKL, dan akomodasi di atas kapal melalui kegiatan inspeksi bersama.

Dosen Hukum Perburuhan Universitas Airlangga, Hadi Subhan menjelaskan bahwa filosofi dari upah minimum adalah proteksi hak pekerja, jaringan pengaman sosial, dan produktivitas.

“Mendorong upah minimum artinya mendorong perlindungan hak asasi pekerja di sektor perikanan dengan cara adanya penetapan upah berbasis sektor perikanan,” ujarnya.

Sedangkan Albert Bonasahat dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menjelaskan bahwa upah minimum untuk awak kapal perikanan juga diterapkan di negara lain seperti Thailand. Untuk itu penting bagi pemerintah Indonesia mulai memikirkan penetapan upah sektoral bagi awak kapal perikanan sebagai bagian dari perlindungan. 

Sementara itu, Direktur SAFE Seas Project, Nono Sumarsono, menambahkan, “Dengan berlakunya UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020, kami berharap ada kepastian hukum dan implementasi perbaikan kesejahteraan awak kapal perikanan dan nelayan buruh, yang dimulai dari upah yang layak.”

SAFE Seas Project yang didukung oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (USDOL) berupaya untuk memperkuat perlindungan awak kapal perikanan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong rantai pasokan yang adil dan transparan dalam industri perikanan di antara sektor swasta dan pemerintah. SAFE Seas Project bekerjasama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia sebagai mitra pelaksana.

Safe Seas Project
Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation at Sea (SAFE Seas) adalah proyek perlindungan awak kapal perikanan yang dikelola oleh Plan International dan sedang dilaksanakan di Indonesia dan Filipina. SAFE Seas bertujuan untuk memerangi kerja paksa dan perdagangan orang di kapal penangkapan ikan di kedua negara. Di Indonesia, SAFE Seas dilaksanakan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), bekerja sama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Pendanaan untuk proyek ini disediakan oleh Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (USDOL) berdasarkan perjanjian kerja sama IL-31472-18-75-K. Seratus persen dari total biaya proyek dibiayai dengan dana federal, dengan total lima juta dolar.Materi ini tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan USDOL, juga tidak menyebutkan nama dagang, produk komersial, atau organisasi yang menyiratkan dukungan oleh Pemerintah Amerika Serikat.

Plan Indonesia
Plan International telah bekerja di Indonesia sejak 1969 dan resmi menjadi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) pada 2017. Kami bekerja untuk memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Plan Indonesia mengimplementasikan aktivitasnya melalui empat program, yaitu Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak, Kesehatan dan Agensi Remaja, Ketenagakerjaan dan Kewirausahaan Kaum Muda, serta Kesiapsiagaan Bencana dan Respons Kemanusiaan. Kami bekerja di 7 provinsi, termasuk di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, dengan target untuk memberdayakan 1 juta anak perempuan. Selain itu, Plan Indonesia juga membina 36 ribu anak perempuan dan laki-laki di Nusa Tenggara Timur.


Plan International
Plan International adalah organisasi pengembangan masyarakat dan kemanusiaan internasional yang berfokus pada pemenuhan hak anak dan kesetaraan anak perempuan. Kami memperjuangkan sebuah dunia yang adil untuk pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan, bekerja bersama anak, kaum muda, masyarakat dan mitra. Plan International bekerja bersama anak-anak, kaum muda dan masyarakat untuk mengatasi akar masalah diskriminasi terhadap perempuan, eksklusi dan kerentanan. Dengan capaian, pengalaman dan pengetahuan, Plan International mendorong perubahan dalam praktek dan kebijakan tingkat lokal, nasional dan global. 

Plan International tidak berafiliasi dengan agama, organisasi politik atau pemerintahan tertentu. Lebih dari 80 tahun, Plan International membangun kemitraan yang kuat untuk hak anak. Saat ini kami bekerja di lebih dari 70 negara. (*)

Artikel Terkait